Home
More About Us
Our Inspirations
Gallery
Ekonomika
Gravity

DAFTAR ISI

  • Arus Investasi ke Probolinggo

  • Sistem Ekonomi: Antara Ayunan dan Keterbumian

  • Membangun Kultur Baru PNS

  • Mencari Jejaring antara Zakat dan Pajak 

  • Pembangunan Manusia di Era Otonomi Daerah

  • Eksistensi Koperasi

  • Memerdekakan Koperasi Pedesaan

  • Koperasi: Antara Sanjungan dan Keterpurukan

  • Ada apa dengan €uro?

  • Darimana Memulai Jatim Inc.?

  • Mencari Relevansi Ekonomi Pancasila
    dan Ekonomi Kerakyatan

  • Pelaksanaan Otonomi Daerah:
    Antara Harapan dan Kekhawatiran

  • Antara Ekonomi dan Korupsi

  • Peran Municipal Bond  dalam Pembangunan Daerah 

  • Pemkot Jember: feasible atau doa’ble?   

  • Koperasi (masih) Berbisik    

     


     


     

   ..konomika

:: menuju ekonomi beretika ::

 

  

 
   
 

 

Arus Investasi ke Probolinggo: sekedar angin segar untuk pertumbuhan ekonomi daerah?
oleh: Ciplis Gema Qori'ah

Rupanya angin segar bidang investasi mulai berhembus juga menuju Probolinggo dan paling tidak terlihat dari “buah tangan” Bupati Probolinggo, Bapak Hasan Aminuddin saat berkunjung ke Malaysia, dimana PT Malindo dapat diyakinkan untuk berinvestasi pada perusahaan peternakan di Kabupaten Probolinggo dengan proyeksi area seluas 30 hektare untuk lahan peternakan, seperti yang diberitakan oleh harian ini (Radar Bromo, 9 Mei 2006). Dalam bahasa lain ini juga berarti bahwa masalah investasi, adalah masalah yang erat dengan akumulasi suatu bentuk modal (untuk produksi) dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan, salah satu keuntungan itu adalah adanya pertumbuhan ekonomi yang dapat diartikan sebagai meningkatnya pendapatan perkapita (per tahun) penduduk di suatu daerah.

Sebagai warga Probolinggo, mencermati berita tersebut menjadikan perasaan salut karena Probolinggo mulai memperlihatkan posisi tawar dan kekuatan tawar (bargaining position and bargaining power) yang cukup strategis yang tentunya melalui negosiasi yang dapat dibilang “tidak mudah” dengan investor PT Malindo. Karena investor juga mempertimbangkan banyak hal untuk berinvestasi, seperti keuntungan (benefit), keberlanjutan (sustainability) dan keamanan (security). Oleh karena itu, keberlanjutan sistem investasi itu akan tercapai apabila kedua belah pihak saling memahami posisi masing-masing, saling menguntungkan dan tidak ada tekanan sepihak yang berakibat buruk pada kondisi sosial,ekonomi dan politik saat ini maupun yang akan datang.

Harapan ikutan suatu investasi

Probolinggo dengan potensi besar di bidang pertanian dan peternakan serta sumber daya manusia yang dekat dengan kehidupan agraris maka dengan dibukanya aliran investasi disektor peternakan, tentunya diharapkan dapat memunculkan efek ikutan (positif), yang secara langsung dan dalam jangka pendek akan dirasakan oleh masyarakat luas. Harapan keuntungan yang mungkin teraih adalah membuka kesempatan kerja paling tidak pada level blue color worker dalam jumlah yang significant sehingga mengurangi pengganguran daerah, pengoptimalan potensi daerah misalnya melalui pengalian sub sektor pendukung investasi peternakan baik ikutan kebelakang (backward linked) misal, bahan makan ternak) maupun forward linked misalnya memunculkan pabrik-pabrik ikutan baru dari investasi di sektor ternak sapi perah misalnya kemungkinan mencoba keanekaragaman produk susu perah seperti keju dan yogurt yang notabene sumber makanan bergizi tinggi. Jika peternakan di fokuskan pada peternakan pengemukan sapi, maka value added tidak harus diberikan ke daerah lain. Industri pengolahan daging sapi bisa dicoba untuk dikembangkan.

Mengelola efek ikutan ini menjadi sangat urgent untuk diperhatikan, sehinga tidak hanya terfokus pada satu titik an sich sehingga dinamisasi ekonomi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Rangkaian efek positif diharapkan dapat meningkatkan dinamika ekonomi daerah dengan melibatkan peran serta masyarakat secara luas dan bagi pemerintah daerah diharapkan dapat merupakan salah satu sumber penopang pendapatan asli daerah (PAD) seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah yang menuntut porsi pembiayaan dari daerah lebih tinggi dibanding dari pusat untuk pembangunan. Jika hal ini dapat dikelola dengan optimal maka ancangan awal ini akan dapat menjadi potret awal kota Probolinggo pada dunia internasional, meski saat ini masih Malaysia yang melirik (baca:berinvestasi), namun dalam jangka panjang dapat dimungkinkan investor asing dari negara lain juga berinvestasi pada bidang lain yang berpotensi untuk dikembangkan di Probolinggo.

Dalam website resminya pemerintah daerah Probolinggo (www. kabprobolinggo.go.id), menegaskan bahwa pemerintah daerah berusaha melakukan pembangunan sub sektor peternakan dengan menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat, pengadaan sarana prasarana peternakan dan peningkatan sumber daya manusia khususnya petani ternak. Melalui investasi bidang peternakan, diharapkan pemberdayaan petani ternak dapat dilaksanakan melalui transfer teknologi dan ilmu pengetahuan bidang peternakan yang selama ini kemungkinan belum tersentuh, karena keterbatasan bidang pendidikan dan informasi.

Hal ini sejurus dengan dogma salah satu mashab teori ekonomi yang sering terdengar dibangku kuliah, yang menyatakan bahwa, “Neo classical theory maintains that economic growth is caused by: increase in the labour quantity (population growth), improvements in the quality of labour through training and education , increase in capital (through higher savings and investment) and improvements in technology. Jadi pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui peningkatan jumlah tenaga kerja, memperbaiki kualitas tenaga kerja melalui kegiatan pelatihan dan pendidikan, peningkatan modal kerja melalui investasi dan peningkatan bidang teknologi. Keempat faktor tersebut merupakan elemen penting untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Sementara jika merujuk data statistik daerah Probolinggo yang berhubungan dengan bidang peternakan yang menunjukkan perbandingan jumlah produksi tahun 2002 dan 2003 terlihat bahwa pada tahun 2003, daging 3.957,317 ton (meningkat 6,72%), telur 833,417 ton (meningkat 13,93%), susu 3.619,912 ton (menurun 5,79%) bila dibandingkan tahun 2002. Dengan sedikit penekanan kita dapat mengatakan bahwa ternyata ada ketidakseimbangan antara jumlah produksi dengan jumlah kebutuhan masyarakat yang terus meningkat dari tahun ke tahun (daging 5,96 %, susu 3,32 % dan telur 0,77 13,24% per tahun). Dengan begitu strategi cerdas dan hadap masalah perlu dilakukan, dengan terobosan investasi tersebut diatas paling tidak menunjukkan kepada kita ada harapan, jika variabel investasi dikelola dengan cermat dan cerdas maka dapat menjadi motor penggerak laju perekonomian daerah untuk peningkatan jumlah produksi (kuantitas) hasil peternakan dan peningkatan kualitas makanan yang aman untuk dikonsumsi masyarakat.

Catatan Penutup

Pembenahan iklim investasi daerah yang kondusif merupakan langkah awal yang harus mendapat prioritas agar kegiatan investasi dapat terus berlanjut (sustainability investment). Karena itu, investor yang menanamkan modal sangat mendambakan regulasi yang memberikan kepastian (stabilitas ekonomi) dan konsistensi (good will), khususnya regulasi yang mendukung tata kelola ekonomi investasi yang komprehensif dan tidak mengedepankan ego sektoral. Pemerintah daerah sebaiknya membuang jauh-jauh fanatisme sempit berbisnis yang sering terbalut dengan rasa nasionalisme. Karena tindakan seperti itu hanya membuahkan ”kekhawatiran” investor asing untuk melanjutkan kerja samanya.

Beberapa hal kasat mata penghambat arus investasi perlu digerus segera.Misalnya melalui evaluasi diri terhadap kinerja sumber daya manusia daerah di pemerintahan daerah dulu paling tidak. Misalnya evaluasi terhadap lambatnya birokrasi karena ketidak mampuan sumber daya manusia setempat, misalnya sudahkah di-update kemampuan penguasaan soft skill standart (seperti kemampuan penguasaan bahasa Inggris, tehnologi komunikasi lewat ruang maya, pemahaman budaya bisnis internasional, ataupun memahami perangkat undang-undang dll). Dan yang mungkin perlu menjadi perhatian adalah menggerus budaya korupsi secara simultan.

Jika kondisi ini telah mendapat pemahaman yang memadai maka peluang menarik investasi dari luar negeri bukan menjadi harapan belaka. Sebuah langkah berbisnis dengan pihak luar taruhannya adalah ‘wajah’ kita sendiri. Seberapa besar jiwa kita melihat kekurangan yang ada untuk segera berbenah mengurangi kelemahan yang ada. Karena semua akan bermuara pada profesionalitas kita sendiri untuk mendapat kepercayaan dari pihak luar. Semoga kedepan Kabupaten Probolinggo menjadi pelopor dalam hal menarik investasi luar negeri, paling tidak di wilayah tapal kuda Jawa Timur.


 

Sistem Ekonomi: Antara Ayunan dan Keterbumian

oleh: Adhitya Wardhono dan Ciplis Gema Qori’ah

 

“…The historian of science may be tempted to exclaim that when paradigms

change, the world itself changes with them. Led by a new paradigm, scientists adopt

new instruments and look in new places. Even more important, during revolutions

scientists see new and different things when looking with familiar instruments in places

they have looked before. It is rather as if the professional community had been

suddenly transported to another planet where familiar objects are seen in a different

light and are joined by unfamiliar ones as well”.

~ Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions.

 

 

Diskursus ekonomi yang tidak pernah kering dari pembicaraan adalah masalah keberpihakan ‘penggunaan’ sistem ekonomi yang berkembang di dunia. Sistem ekonomi adalah persoalan besar dalam ilmu ekonomi. Tinjauan subyektif mainstream ilmu ekonomi masih saja disemarakkan oleh debat panjang antara ekonomi pasar dengan segala varian-variannya dan ekonomi non pasar dengan fenomena perubahan-perubahannya atau biasa kita kenal dengan sistem ekonomi yang bercirikan kapitalisme dan sosialisme.

 

Tulisan ini berusaha untuk melakukan jelajah ‘kiprah’ sistem ekonomi secara ringkas dengan titik tekan pada gerakan ayunan pendulum ke kanan atau ke kiri dan keterbumian sebagai reaksi atas ketidakmapanan sistem tersebut bekerja atau sebaliknya sebagai tombak menanamkan hegomoninya. Meski penulis sadar seperti yang ditekankan oleh Fredic Pryor bahwa “the concept of an economic system is almost impossible to define exactly.” Konsep sistem ekonomi bersifat dinamis, variabel yang dijelaskannya makin kompleks dan karenanya tidak dapat didefinisikan dengan tepat. Namun demikian beberapa pengertian mendasar sebagai ciri umum tetap diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang jelas paling tidak berangkat dari definisi yang dikontruksi sejak awal. Suatu sistem ekonomi itu terdiri dari berbagai himpunan konsep dan teori yang terus dikembangkan sesuai dengan keadaan jaman, sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh untuk menjawab berbagai problematika ekonomi yang juga terus berkembang sesuai dengan dinamika masyarakatnya.  Tujuan utama hampir semua sistem ekonomi yang ada adalah mensejahterakan masyarakat dalam sistem tersebut. Dalam arti kesejahteraan sosial yang menjadi tujuan utama. Sistem ekonomi1) dapat dipandang sebagai mekanisme yang digunakan dalam melakukan aktivitas ekonomi. Dari mulai produksi, distribusi, dan konsumsi. Sistem ekonomi mempengaruhi kinerja perekonomian yang dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif.

 

I. Ekonomi Pasar: Jargon Moral dan Globalisasi-Imperialisme

Adalah Adam Smith yang pertama kali memperkenalkan bagaimana ilmu ekonomi bergulir, meskipun terlebih dulunya lebih dikenal sebagai filosof ketimbang ahli ekonomi. Hal ini terlihat dari karya-karya yang muncul sebelum Wealth of Nations (1776), yang secara eksplisit telah mendekonstruksikan Etika-Protestan yang secara lugas menentang self-interest dan penumpukan materi secara tamak (Weber, 1958). Theory of Moral Statements (1759) adalah karya yang mendahului sebagai fondasi ilmu ekonomi, yang berpijak pada suatu moral science yang disusun dan dikembangkan untuk peka kepada masalah keadilan khususnya "keadilan sosial". Bahkan Smith mengatakan bahwa human conduct diaktualisasikan dalam 6 motiv yaitu: self-love, sympathy, the desire to be free, sense of propriety, a habit of labor, and the propensity to barter and exchange one thing for another. Ahli-ahli ekonomi yang menganut pandangan Adam Smith ini kemudian dikenal dengan kelompok Klasik.

 

Sistem Ekonomi Kapitalisme yang menjadikan paradigma ekonomi pasar sebagai cara pandangnya dengan basis fondasi mikro melihat manusia sebagai manusia ekonomi (homo economicus) dimana dasar filososfisnya bersumber pada paham Utilitarianisme, Individualisme dengan Laissezfaire. Perkembangan paham klasik - pengusung sistem ekonomi kapitalisme ini diyakini menjadi landasan tumbuh kembangnya ideologi  kapitalisme-kolonialisme-imperialisme, yang jika ditilik dalam praktiknya telah melakukan penghisapan terhadap bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin bertahun-tahun sebagai implikasi dari penerapan teori ekonomi klasik yang menyatakan  bahwa proses produksi dan akumulasi akan stagnan bila pasar menjadi terbatas (Dillard, 1979). Hal ini dipertegas dengan statement John Stuart Mill yang   mendukung kolonialisme ekonomi dengan tujuan akumulasi kapital (Mill, 1936).

 

Kejayaan sistem kapitalis ditandai dengan mengejalanya arus globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang ada seperti sekarang ini 2). Pendukung kapitalisme dengan ponggah memproklamirkan bahwa ideologi ekonomi liberalisme dan kapitalisme mampu membawa kejayaan masyarakat ekonomi. Meski mereka menutup rapat-rapat praktek-praktek imperialisme dan kolonialisme yang mereka lakukan. Dengan jargon globalisasi mereka mengurita di negara-negara sedang berkembang melalui korporasi-korporasinya. Ada ungkapan sinisme yang harus kita mencermati yaitu istilah dari ekonom Jerman Friedrich List (1789-1846) yakni istilah ‘menendang tangga’ dimana merefleksikan siasat proteksi ‘industri bayi’ (infant industry) yang dipakai Inggris dan AS dalam membangun ekonomi mereka. Setelah mencapai puncak, mereka melarang negara-negara lain menerapkan strategi yang dahulu mereka pakai untuk maju 3) (Priyono, 2004). Kapitalisme cenderung memberi ruang istimewa kepada pemilik modal berskala besar. Kelompok ini berusaha mencari lahan investasi yang paling menguntungkan di seluruh penjuru dunia.  Meski sebenarnya dalam mengembangkan usahanya sebagian besar mendasarkan usahanya pada kegiatan yang bersifat spekulasi.

 

Perkembangan peradaban membuat paradigma paham liberalisme bermutasi dalam rupa lain yaitu sering disebut sebagai Neoliberalisme. Konsep Neoliberalisme adalah satu gerakan yang ingin mengusung ideologi kapitalisme-liberalisme klasik yang mendambakan kebebasan penuh. Kalangan korporasi mengalami penurunan keuntungan setelah Keynes4) mendorong pemerintah campur tangan dalam ekonomi dan di sisi yang lebih tegas lagi muncul sosialisme demokrasi di Eropa. Penurunan keuntungan kaum kapitalis mendorong mereka untuk kembali kepada liberalisme lama yang menjamin kebebasan untuk berkompetisi dan membangun imperium bisnisnya5).

 

II. Sistem Ekonomi Sosialis

Kutub sistem ekonomi non pasar yang eksistensinya masih dalam perdebatan adalah sistem ekonomi sosialis (komunis)6). Meski dalam prakteknya mengalami penurunan ‘minat’, namun dalam diskursus ilmu dan filosofi menarik untuk dipelajari.  Merujuk pada historis pemikiran aliran ini tidak dapat dilepaskan dari  pemikiran Karl Marx (1818-1883) dalam bukunya, Das Capital (1867).   Konsep ekonomi sosialis ada prinsipnya adalah kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis. Karl Mark membahas dengan lugas berdasar dialitika Hegelian bahwa di dalam kapitalisme ada pertentangan kepentingan antara kaum pemilik modal dengan kaum buruh yang terus di eksploitasi. Sistem ekonomi Sosialisme berpedoman pada paradigma Marxisme dengan dasar filosofis Dialektika-Materialistik memberikan basis fondasi mikro bahwa tidak ada kepemilikan pribadi dalam hal produksi.

 

Kaum pengusung paham sosialis seperti Marx, Engels, Lenin mempercayai bahwa kapitalisme membangkitkan material preconditions melalui pola produksi dan arah pembangunannya untuk transisi revolusioner kapitalisme ke arah sistem sosialis komunis.

 

Dibawah kepemimpinan Lenin, Uni Soviet mengalami kejayaan ekonominya. Mekanisme ekonomi sentralistik berupaya menuju kemakmuran dengan melakukan pengendalian pada satu penguasa pusat yang merencanakan,  mengatur dan memerintahkan pelaksanaan rencana sesuai dengan sasaran dan tahapan prioritas yang dibuat. Jelas bahwa dibawah Lenin, Uni soviet waktu itu berupaya untuk menerapkan sistem sosialis ala Marx dan Engles.

 

Berbeda dengan penerapan system ekonomi sosialis ala Lenin, negara-negara skandinavia termasuk yang berhasil memakmurkan rakyatnya dengan system sosialis ala mereka. Negara-negara di dataran Skandinavia, adalah contoh unik keberhasilan sistem sosialistis ala mereka yang dimana  gerakan sosialisme dan partai-partai buruh berhasil menciptakan suatu system pemerintahan kenegaraan yang mampu mengendalikan kapitalisme dengan langkah tamaknya. Dengan tetap mengakomodasi hak kepemilikan dan tanpa pertentangan kelas. Disamping itu keberhasilan penerapan sistem ekonomi sosialis damai ditunjang oleh proses demokratisasi dengan sukungan sistem perundang-undangan, misalnya penerapan sistem pajak secara progresif, yang melindungi rakyat lemah dengan demikian ada pola ‚hidup bareng’ yaitu tercapainya secara praktis cita-cita kaum sosialis tanpa mengusir kaum kapitalis.

 

III. Ekonomi Pasar Sosial Jerman: Sistem ekonomi tengah?

Secara konseptual ekonomi pasar sosial (Soziale Marktwirtschaft) mengadopsi pemikiran klasik liberal dengan beberapa perubahan mendasar. Pengembang utama dalam pemikiran ekonomi pasar sosial ini adalah Walter Eucken dan Andreas Müller-Armack yang mulai diperkenalkan pada sejak tahun 1940an (Müller-Armack , 1947).

 

Ekonomi pasar sosial pada galibnya adalah gabungan antara aliran pemikiran liberal klasik dengan pemikiran sosial, terutama  elemen-elemen yang dikelola oleh negara. Sebenarnya yang dikandung dalam pemikiran ekonomi pasar sosial ini tidak saja masalah ekonomi semata namun demikian juga masalah kebebasan dan keadilan sosial sebagai tujuan utama dari ekonomi pasar sosial. Secara moral konsep ekonomi pasar sosial  mengandung tiga prinsip dasar yaitu (Rösch, 1998):

  • the principle of individuality, dimana menghargai kebebasan individu,

  • the principle of solidarity, dimana cederung pada  ide bahwa setiap individu yang bermasyarakat dan saling tergantung satu sama lain untuk mendapat keadilan,

  • the principle of subsidiary, dimana sebuah aturan institusional mempertajam hubungan antara individualitas dan solidaritas. Solidaritas antara individu dan masyarakat. Regulasi akan menyakinkan hak individu dan memberikan mereka prioritas, yang berarti bahwa apapun yang dapat dilakukan oleh individu seharusnya dapat dilakukan olehnya dan tidak oleh negara.

 

Hak individu dan kebebasan ekonomi dapat terlihat sebagai kondisi yang terbingkai didalam implementasi keadilan sosial dan solidaritas. Ekonomi Pasar Sosial bertujuan menyeimbangkan prinsip-prinsip pasar dan prinsip-prinsip sosial. Oleh karenanya terbingkai dalam program ekonomi, sosial dan politik. Ekonomi pasar sosial  memberikan harapan sebuah tipikal keyakinan kebebasan didalam pasar yang sedang bekerja yang secara kontras memberikan perlawanan terhadap kepercayaan paham neoliberal. Kaum ordo liberal ini percaya bahwa hal ini merupakan syarat penting untuk menginstal mekanisme ketahanan masyarakat disamping kekuatan pasar yang dikontrol oleh negara. Tujuan yang lain dari ekonomi pasar sosial adalah menciptakan dan mengembangan suatu ordo perekonomian yang dapat diterima oleh semua ideologi, sehingga semua kekuatan didalam masyarakat dapat difokuskan untuk mengerakkan semua kondisi dasar kehidupan dan membangun kembali perekonomian. Ekonomi pasar sosial didasarkan pada kesepakan diatas suply dan demand dengan konsep moral yang kuat.

 

Tantangan ekonomi pasar sosial terlihat dari kemampuannya untuk mengatasi krisis pada pertengahan tahun 1960-an dimana dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Hal yang mirip juga terjadi dimana ekonomi pasar sosial mampu melewati kondisi krisis pada tahun 1980-an. Dilain hal krisis dan problem berhubungan dengan reunifikasi masih membekas dalam waktu lama dan permintaan untuk perubahan yang bersifat prinsip seperti halnya ekonomi pasar liberal seperti Amerika Serikat atau menuju kondisi baru yang lebih berbentuk sosialis meningkat dalam tahun-tahun terakhir. Pemanasan dunia terhadap isu ekonomi pasar sosial berbasis ekologi menjadi lebih populer di tahun 1990-an. Dalam proses integrasi eropa dan asimilasi diantara model negara sosial eropa adalah satu point yang menarik untuk masa depan (Rösch, 1998).

 

IV. Sistem Ekonomi: diantara ayunan pendulum dan keterbumian

Ayunan pendulum. Mencermati kerangka kerja sistem ekonomi diatas maka kerangka pemikiran kita dapat dipersempit kedalam bilik analisis ekonomi dasar yaitu: pertama, pergeseran diantara dua kutub sistem ekonomi besar yang berlaku, laksana ayunan pendulum yang dapat bergeser  ke kanan maupun ke kiri. Kedua, adalah tidak dapat dipungkiri paradigma penerapan sistem ekonomi  juga mengarah pada proses keterbumian atau ketertanaman paham tersebut dalam suatu masyarakat sebagai penerimaan proses perekonomian dalam suatu masa tertentu.

 

Dalam wacana sistem ekonomi terkini, salah satu ekonom Jepang, Naniwada (1990) mengatakan, sekarang dunia telah terjadi pergeseran yaitu ekonomi pasar yang merupakan ciri dari sistem kapitalistik menuju sistem ekonomi sosialis. Sistem ekonomi sosialis menyesesuaikan diri terhadap perubahan dunia yang ada menuju sistem kapitalisme. Namun demikian sistem kapitalisme sendiri juga terjadi paradigma ke arah sistem sosialisme.  Allelonomy, begitu Naniwada menyebut (dari bahasa Yunani: allelon=saling tergantung; nomos=aturan), dimana pergeseran mainstream sistem ekonomi besar menuju satu arah yang mengakibatkan mix economic. Disinilah pranata pasar dan pemerintah saling berperan besar. Hal ini senada dengan yang gagas oleh Lester Thurow,  bahwasanya  kapitalisme pun mengalami perubahan. Paling tidak merenungkan perkataan Lester Thurow yaitu:

 

“It’s still going to be capitalism, but it’s going to be a very different capitalism. In oher words,

we know the forces that are going to determine the future of capitalism. But we don’t know is

the exact shape of the future, because that’s not determined by stars; it’s determined by what

we do”.

 

Masih masalah ayunan di pendulum sistem ekonomi, apabila lebih dalam kita cermati apa yang dikemukan oleh Yoshihara Kanio, yang dengan jelas menuding apa yang berkembang di Asia Tenggara selama ini, termasuk Indonesia, bisa dirasa sebagai kapitalisme malu-malu atau ersatz capitalism.  Mengatakan bukan kapitalisme, tapi kepemilikan pribadi sangat diagungagungkan, persaingan bebas pada akhirnya dibiarkan karena tuntutan liberalisasi, juga dibiarkannya korporasi yang main meraksasa dari penumpukan modal yang dilakukan tidak peduli secara bersih maupun rente. Dikatakan malu-malu atau inferior karena campur tangan pemerintah masih terlalu besar dan perkembangan teknologi yang dipunyai tidak memadai 7).

 

Tragedi krisis ekonomi dahsyat menjadikan teori Klasik - Adam Smith ini mengalami revisi. Pola paham kapitalistik murni harus menyesuaikan diri dari keadaan aktual. Depresi besar tahun 1930-an yang melanda dunia melahirkan ekonom baru yaitu J.M. Keynes dengan bukunya General Theory of Employment, Interest and Money yang kemudian menjadi dasar perkembangan teori ekonomi makro. Jika kelompok Klasik mendasarkan pada bekerjanya mekanisme pasar persaingan maka kelompok Keynesian menganggap perlu campur tangan dalam kegiatan perekonomian.

 

Lebih jauh menjabarkan pemikiran Keynes ini, peranan negara digunakan memaksa mekanisme pasar untuk bekerja secara efektif. Intervensi negara harus dilihat dari efektifitasnya. Diasumsikan bahwa dalam keadaan imencari bentuk, pemerintah wajib melakukan intervensi pada swasta, khususnya dalam menyediakan infrastuktur. Dan sebaliknya pada saat swasta telah mampu mandiri maka negara dengan kesadarannya harus melepas kaitannya dengan swasta. Tentu saja setelah biaya tetap rata-rata turun berbarengan dengan biaya marjinal privat yang sepadan dengan keinginaan membayar dari masyarakat maka negara harus segera mengurangi campur tangannya atau bahkan menghentikannya. Fungsi negara hanya sebagai fasilitator saja. Namun peranan yang tidak utuh dan berlebihan oleh negara, ternyata memaksakan unsur politik masuk dalam unsur pasar. Yang terjadi adalah tidak pernah ada pasar yang sebenarnya.

 

Dalam tataran praxis, isyarat Naniwada tersebut dapat kita lihat, jika kita melihat secara komprehensif. Ekonomi tidak berdiri sendiri, ia selalu bersinggungan dengan wilayah non ekonomi, seperti perilaku masyarakat melalui banyak aspek Yang kita lihat sistem kapitalisme itu sendiri secara ‘sadar’ atau ‘tidak sadar’ mengadopsi elemen-elemen konstruktif dari paham yang dianut oleh sistem ekonomi sosialisme. Dan demikian pula sebaliknya, sehingga seperti ada konvergensi didalam gerakannya.

 

Konsep embeddedness. Ditahun 1944 buku The Great Transformation karya Karl Polanyi  (1866-1964) seorang ekonom-antropolog  berusaha untuk mensintesa konsep embeddedness (keterbumian),  yang sebenarnya merupakan derivasi dari ‘substantivist’ school of thought dalam disiplin ekonomi-antropologi. Dia mengurai suatu konsep pemberontakan terhadap kemapanan aliran besar ekonomi konvensional yang sebenarnya compang-camping. Yang jelas, ide embeddedness 8) itu memberikan ruang-pemikiran alternatif bagi kalangan ekonom dan ilmuwan sosial untuk bisa melihat betapa "jebakan" arus utama/tradisi pemikiran "utilitarian-economics" baik yang beraliran klasik maupun neo-klasik telah memberikan interpretasi "yang bias" dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang "tak selalu diinginkan oleh banyak orang" dalam ilmu ekonomi 9). Mengurai teori Embeddedness sekilas sangat terkait dengan pemikiran bedar tradisi marxian economy.  “Transformasi besar-besaran”  yang diharapkan dalam pemikiran Polanyi adalah proses komodifikasi tiga hal pada awal era modern Eropa, yaitu tanah, buruh dan waktu, yang sebelumnya tak pernah terjadi.

 

Menyimak lebih dalam pemikiran Polanyi ini sebenarnya sadar atau tidak para pemikir ekonomi dibawa ke pemandangan betapa ‘perangkap’ pusaran tradisi pemikiran ‘utilitarian-economics’ baik yang klasikal maupun neo-klasik telah memberikan interpretasi ‘yang bias’ dan hasil akhir yang ‘agak mengecewakan’ banyak orang’ dalam ilmu ekonomi.

Dalam perpektif sejarah ekonomi Karl Polanyi dalam bukunya juga menyoroti bagaimana bagaimana karakter pasar secara kualitatif berubah sekitar 1500-1600an di Eropa. Point penting yang ia coba urai adalah bahwa manusia, selama jutaan tahun, untuk kelangsungan hidupnya bergantung pada barang-barang yang tidak dijadikan komoditi. Di masyarakat jaman purba dan pertengahan yang diperdagangkan di pasar bukanlah barang kebutuhan sehari-hari, melainkan barang-barang khusus. Misalnya, sebagai bagian dari komunitas agraris seseorang memproduksi bahan makanan, seperti beras atau gandum, dan menerima bagiannya dari panen bersama. Jadi, ia tidak perlu membeli bahan-bahan ini di pasar. Pasar sebagai hanyalah sekedar penyedia barang-barang tambahan seperti garam atau lada yang dibawa dari Asia, atau benda-benda mewah untuk kaum elit pengumpul pajak di kota. Pedagang tidak mengendalikan proses produksi komoditi yang mereka jual; mereka hanya membelinya di satu tempat dengan harga murah dan membawanya ke tempat lain untuk dijual dengan harga lebih tinggi (Roosa, 2001).

 

Dalam Great Transformation, Karl Polanyi menghendaki adanya pengalokasian kembali kepemilikian modal dari tuan tanah ke rakyat, pergerakan dari pertanian subsisten ke modern dan komersial, serta orientasi pasar pertanian. Bahkan tentang keraguan bekerjanya mekanisme pasar Polanyi memberikan deskripsi jelas pada bulunya: a self-regulating market ‘could not exist for any length of time without annihilating the human and natural substance of society’ (Polanyi, 2001: 3). 

 

Berangkat dari kegamangan tersebut maka munculnya teori embeddedness yang memberikan ruang berpikir lebih kontruktif dan lebih hidup dari sekedar pemikiran ‘pasar sebagai panglima’ dalam ranah ekonomi utilitarian. Padahal jelas bahwa kaum utilitarian mengusung rasionalitas individu dan self interest tanpa reserve. Thesis inilah yang menjadi titip incaran tembak para penganut turunan tradisi pemikiran marxian-economy yang dibawakan oleh pengagas teori embeddedness tersebut.

 

V.  Transformasi Sistem Ekonomi Indonesia

Bagi Indonesia diskursus penerapan sistem ekonomi kurang mendapat porsi baik di kalangan dunia akademisi maupun di tingkat praktis. Jika kita telusuri uraian eksistensi sistem ekonomi diatas yaitu kapitalisme dan sosialis maka sebenarnya tidak  ada sistem ekonomi dan yang benar 100 persen atau berlaku abadi. Baik kapitalisme maupun sosialisme punya kekuatan  dan kelemahan argumentatif masing-masing. Dan lagi belum ada satu sistem ekonomi yang  bebas dari sifat eksploitatif; hanya cara dan gayanya lain, tetapi hasil praksisnya sama.  Munculnya tulisan Naniwada dan Polanyi mencerminkan kegusaran gerakan-gerakan sistem ekonomi tersebut bekerja di dalam dunia nyata. 

 

Indonesia sebagai kenyataan model percobaan. Sebagai representasi negara berkembang Indonesia telah melakukan uji coba penerapan sistem ekonomi secara malu-malu sejak kemerdekaannya. Mulai dari sosialistis hingga kapitalistis. Meski pola uji coba tidak berhasil membawa kemakmuran rakyat secara menyeluruh sepanjang perjalanan kemerdekaan negara Indonesia.  Adalah suatu kenyataan bahwa trendsetter yang berkembang selama keruntuhan ekonomi Indonesia adalah diskursus Ekonomi Rakyat (Ekora). Runtuhnya ekonomi Indonesia yang selama lebih dari tiga dasawarsa selalu dibanggakan oleh pemerintah, memaksa berbagai pihak meneliti kembali struktur perekonomian Indonesia10). Dalam diskursus teori ekonomi, istilah ekonomi rakyat memang tidak ditemui. Hal ini mengingat bahwa ekonomi rakyat adalah sebuah pengertian dan bukan merupakan turunan dari mazhab atau school of thought tertentu melainkan suatu konstruksi pemahaman dari kenyataan ekonomi yang terjadi secara umum  di negara berkembang (baca: Indonesia). Suatu realita ekonomi dimana selain ada sektor formal yang umumnya didominasi oleh pemilik modal besar (usahawan dan konglomerat), juga  terdapat sektor informal dimana sebagian besar anggota masyarakat hidup.

 

Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’.  Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat.  Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha.  Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi.  Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.  Meski penulis melihat bahwa kata ‘rakyat ‘ merupakan representasi konsepsi politis, sehingga ‘benar’ kecenderungan diarahkan pada rakyat kebanyakan (common people). Atau mungkin lebih jelasnya bukan penduduk yang masuk wilayah administratif. Dengan begitu yang ingin ‘diraih’ adalah rakyat menjadi subyek kegiatan ekonomi, melalui apa yang disebut kebijakan atau strategi memperkuat ekonomi rakyat. Meskipun rakyat tidak kebanyakan pun harus menjadi ‘perhatian’.

 

Ekonomi rakyat seringkali dihadapkan secara diametral dengan usaha besar dan konglomerat, paling tidak ini yang sering terjadi dalam ruang perekonomian Indonesia. Rujukan akademis telah jelas secara konseptual diketengahkan oleh Boeke dalam dikotomi dualisme ekonomi di Indonesia. Pembedaan ini juga dipertegas dengan klasifikasi data BPS yang mengelompokkan pelaku ekonomi Indonesia kedalam dua kelompok, yaitu yang pertama adalah usaha besar dan konglomerat sedangkan yang kedua adalah usaha kecil, menengah, dan koperasi (lihat Bambang Ismawan, 2002). Ekonomi kerakyatan bukanlah sebuah paham dan sistem ekonomi an sich.  Ekonomi kerakyatan juga merupakan sebuah gerakan perlawanan kelompok masyarakat yang terpinggirkan oleh mainstream sistem ekonomi neo-liberal.

 

Ekonomi Kerakyatan yang dicari konsepnya oleh bangsa Indonesia serupa dengan upaya Keynes dahulu dalam mencari ‘resep pemulihan ekonomi’ dengan berdasarkan perubahan mendasar pada tataran praktis. Jelasnya karena krisis ekonomi dan bahkan multi dimensi yang tidak kunjung berhenti. Artinya ‘pemicu’ debat agak bebeda dengan dengan debat ekonomi Pancasila. Kondisi kini  adalah terlihat adanya dominasi ekonomi kapitalis/liberal, sebagai wacana tunggal dalam sistem ekonomi dan dipercepat oleh globalisasi ekonomi yang memperkokoh sistem ekonomi tsb: melalui menguritanya MNC (multi national company). Meski sebenarnya dalam kenyataannya ekonomi kapitalis juga mengalami penyesuaian-penyesuaian.

 

Ekonomi Kerakyatan dengan Ekonomi Pancasila, ada persamaan yang tidak dapat di pisahkan. Argumentasi yang banyak muncul adalah bahwa Ekonomi Kerakyatan adalah berpijak pada Pancasila, sehingga hal inilah korelasinya tidak dapat dipisahkan Bahkan Prof. Mubyarto mengatakan Ekonomi Kerakyatan  adalah bagian dari Ekonomi Pancasila 11). Ekonomi Kerakyatan lebih pada semangat dan kesadaran atas keadaan yang sedang terjadi. Sistem ekonomi yang tepat bagi Indonesia juga harus dibangun di atas landasan etika dan moral bangsa Indonesia sendiri yaitu Pancasila. Dasar moral ini harus dijalankan oleh semua pelaku ekonomi baik pemerintah maupun individu-individunya. Moral dan etika ini bertujuan untuk membentuk suatu budaya ekonomi dan sosial nasional dan untuk melindungi sistem ekonomi dan sosial dari penyimpangan-penyimpangan oleh para pelakunya untuk mencapai tujuan bersama

 

Sistem Ekonomi Indonesia dan Theory of Embeddedness. Jika kita merangkai-rangkai pemahaman teori keterbumian dengan kondisi sistem ekonomi Indonesia maka rasa yang muncul adalah kegamangan. Kapitalisme memiliki sisi romantika yang sulit tercabut meski sebenarnya semu, keterbumian sistem ekonomi sesungguhnya tidak mendapat good will dari regim pemerintah. Maka yang tampak adalah wajah setengah-setengah ekonomi nasional dalam bingkai sistem ekonomi yang absurd. Memperkirakan kenyataan yang ada maka  kecenderungan sistem ekonomi yang mungkin cocok dianut oleh Indonesia adalah diarahkan pada paham ‘market socialism’,  yang terus berkembang dalam kerangka pengertian pasar sosial karena tuntutan jaman. Terlepas di Indonesia dilabeli Ekonomi Kerakyatan, atau Ekonomi Pancasila, itu tidak menjadi masalah. Menurut kami sekedar memberi justifikasi bahwa sistem ekonomi yang dianut Indonesia lebih pada memperhatikan perilaku sosial ekonomi manusia Indonesia dalam menerjemahkan pengelolaan sumber daya ekonomi yang ada dengan pemenuhan kebutuhannya. Tentunya, hal ini terkait banyak, ini tidak saja hanya memperhatikan ekonomi sebagai ‘ilmu’ yang mengatur pemenuhan kebutuhan manusia dalam usahanya memenuhi kebutuhan ekonomi dalam konteks sempit didalam negeri saja, tetapi justru harus mampu menciptakan welfare state yang juga mengindahkan dinamika ekonomi dunia yang sedang terjadi. Diskursus sistem ekonomi memang selalu menarik namun semua kembali berpulang pada kenyataan yang ada, adakah kesejahteraan sudah terwujud? Jika memang misi setiap sistem ekonomi adalah mensejahterakan rakyat maka bagaimana penerapan sesungguhnya sistem ekonomi Indonesia? Kembali semua berpulang pada yang merasakannya, yaitu bangsa Indonesia sendiri.

 Goettingen, 12 Pebruari 2006

Membangun Kultur Baru PNS

oleh: Adhitya Wardhono

     Psikolog terkemuka Indonesia, Sartono Mukadis, pernah berseloroh, andaikata tenaga kerja Indonesia diberi pilihan untuk memilih sebuah pacul atau sempritan. Maka dapat dipastikan bahwa akan banyak yang memilih sempritan. Logika sederhana mengkaitkan hal ini dengan perilaku majemuk anak bangsa. Dengan pacul, masih menunggu begitu lama hasil yang akan dipetik, jika untuk meladang. Tapi dengan sempritan, dalam hitungan menit uang akan mengalir. Amati perilaku ‘pak Ogah’ di banyak kemacetan lalu lintas di kota-kota besar. Terlebih jika kita amati lebih jauh, ada potensi menjadi tukang atur, tukang perintah daripada menertibkan dan melayani.

     Tak ubahnya seperti cerita di atas, fenomena Pegawai Negeri Sipil Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Jumlah PNS di Indonesia saat ini sebanyak 4,1 juta, dari segi pendidikan PNS yang berpendidikan tinggi (minimal S-1) yang hanya sekitar 15 persen hampir sebagian besar berada di tingkat pusat, berpendidikan SLTA sekitar 60 persen dan sekitar 25 persen berpendidikan SLTP dan SD. Angka-angka statistik di atas masih dipertajam dengan pandangan umum terhadap rendahnya profesionalisme mereka. Yang mestinya sebagai pelayan masyarakat, justru ingin dilayani. Jauh dari kerja keras, budaya uang pelicin tidak dapat dihindari hampir dalam setiap urusan birokrasi. Mantan menteri PAN Faisal Tamin dengan tegas pernah mengkalkulasi yaitu tidak kurang 60 persen PNS dapat dikategorikan sebagai sumber daya yang kurang produktif. Tentunya jika kondisi ini dibiarkan bukan tidak mustahil menjadi virus yang efektif menggerogoti mentalitas kolega kerja yang produktif. Pertanyaannya dimana letak masalahnya. Tulisan ini tidak berpretensi menjawab secara koprehensif kinerja PNS namun sekedar berusaha sedikit menyumbangkan opini terhadap keruwetan masalah tersebut.

Potret Buram PNS

     Di masyarakat berkembang statemen bahwa ‘hidup adalah pilihan’. Maka menjadi PNS adalah bisa jadi merupakan pilihan hidup. Pilihan hidup tentunya orang akan dengan sadar mengkalkulasi intensif dan disintensif yang akan diterima. PNS adalah representatif pekerjaan yang tidak saja mengaplikasikan ilmu pengetahuan atau skill personal yang bersangkutan, lebih dari itu adalah ia dituntut untuk mengabdikan diri melayani masyarakat. PNS harus memiliki credo bahwa ‘saya ingin menyumbangkan sesuatu untuk masyarakat, to serve people’.

     Namun sebaliknya di masyarakat berkembang pandangan sinisme terhadap PNS seakan sudah harga mati. Kesan bahwa PNS tidak jauh dari orang-orang berbaju coklat yang datang ke kantor terlambat, lalu di kantor hanya baca koran sambil main catur atau minum kopi saja seakan sudah menjadi prototipe PNS. Sindiran sinis masyarakat, "kalau bisa dibuat susah, kenapa harus dibuat mudah" masih saja melekat erat. Padahal di ruangan terpampang besar-besar banner penuh simpati, semisal: pelayanan prima, awas calo.

     Potret buram PNS ini sebenarnya bukan barang baru. Sejarah membuktikan bahwa menjadi PNS di tahun 1961 pada era Orde Lama, selama 5 tahun, orang-orang tertentu yang satu partai dengan menteri atau atasannya begitu cepat naik karirnya. Pada waktu itu unsur-unsur kolusi dan nepotisme memang sangat memungkinkan. Bahkan organisasi karyawan dengan sengaja membela kedudukan menterinya. Sehingga di dalam setiap lembaga negara terdapat kapling-kapling. PNS (aparatur birokrat profesional karir) menjadi terkotak-kotak menurut paham politik pimpinannya. Sehingga jika ada seseorang yang memiliki paham politik yang berbeda dengan pimpinannya, ia akan mengalami kesulitan, tersisihkan, tidak berkembang karirnya, bahkan dikeluarkan atau diberhentikan. Hingga di jaman Orba, PNS masih menjadi pendukung rejim yang berkuasa secara mutlak dan terbungkus rapi melalui organisasi KORPRI yang begitu loyal. Juga demikian dengan ABRI digunakan sebagai ‘mesin’ peraih suara dalam pemilu untuk kepentingan Golkar.

     Hingga kinipun, tidak dapat kita pungkiri masih saja menemukan aparat birokrasi baik di tingkat pusat maupun daerah yang memiliki perangai yang bisa mengurangi produktivitas kerja instansi di mana ia bekerja. Sikap kurang disiplin waktu, etos kerja yang rendah, tanggungjawab terhadap pekerjaan hingga reward berupa gaji yang relatif rendah mempengaruhi produktivitas kerja PNS secara perorangan dan secara kolektif (instansi tempat PNS itu bekerja). Produktivitas kerja rendah yang berdampak pada fungsi pelayanan publik dari aparat birokrasi yang minim tak dapat dipisahkan dari persoalan birokrasi nasional. Ditambah secara kelembagaan banyak sekali ketidakwajaran struktural yang terjadi di banyak departemen. Tumpang tindih baik secara fungsi maupun jabatan. Juga jika kita amati dari aspek tata pelaksanaan, prosedur kerja, sistem, banyak yang belum memenuhi prinsip dasar manajemen, ditambah akuntabilitas yang minim.

     Dari uraian diatas tersirat bahwa kultur organisasi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi, terlebih dengan kualitas SDM yang rendah. Hal ini yang sering terjadi pada lembaga pelayan publik yang dibidangi oleh PNS.

Diklat PNS: Mampukah Membangun Kultur Organisasi Modern?

     Seiring semakin derasnya arus globalisasi, tuntutan masyarakat pengguna barang publik semakin meningkat. Penyempurnaan kualitas manajemen pelayanan publik, tidak saja tertuju pada up-grading system yang berlaku, misalnya dengan merubah kultur organisasi, namun pada saat yang bersamaan haruslah dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusianya. Pertanyaanya selanjutnya adalah dengan apa sistem tranformasi informasi yang efektif membangun kultur organisasi yang sehat pada organisasi dimana PNS berkarya? Diklat (pendidikan dan latihan), bisa menjadi salah satu alternatif. Diklat tidak saja dapat merupakan sarana menginisiasi kultur organisasi namun juga SDM yang ada dapat ditingkatkan kualitasnya. Untuk itu kedepan harus segera dipikirkan dimana diklat ini bukan sekedar untuk memenuhi syarat administratif belaka, namun memiliki arti penting dalam pembentukan pola pikir, pola sikap dan pola perilaku, sekaligus sebagai wahana untuk membuka wawasan mendasar tentang posisi dan peran PNS dalam pemerintahan, pelayanan dan pembangunan.

     Kultur Organisasi PNS. Membicarakan kultur organisasi, terlebih sebagai upaya untuk membangun citra baru bagi sebuah organiasasi bukanlah permasalahan yang sederhana. Diperlukan pemahaman yang holistik terhadap akar masalahnya. Karena membangun kultur organisasi yang sehat harus dibarengi dengan menginisiasi iklim terbuka (open climate), budaya positif (positive culture), budaya terbuka (open culture) dan suasana batin yang menyenangkan (enjoyable spiritual atmosphere) di antara rekan kerja. Mencermati hasil penelitian Denison (2000) mengenai model kultur organisasi yang berakar dari penelitian tentang bagaimana kultur mempengaruhi kinerja organisasi, maka paling tidak harus didasarkan pada empat sifat budaya yaitu: 1) involvement (keterlibatan), 2) consistency (konsistensi), 3) adaptability (adaptabilitas), dan 4) mission (misi). Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa dimensi budaya organisasi telah terbukti mempengaruhi kinerja suatu organisasi. Merujuk pada tesis tersebut maka mengubah kultur organisasi dapat merupakan hipotesis meningkatkan performa SDM pegawai negeri sipil di tanah air ini. Secara eksplisit yang dimaksud dengan kultur organisasi disini adalah seperangkat nilai, norma dan perilaku yang telah menjadi suatu pola yang hidup di dalam lingkungan organisasi tersebut. Dengan terbentuknya suatu kultur organisasi yang efisien tentunya akan menjadi patokan kerja PNS. Kedepan lambat laun kultur kerja PNS secara individual diharapkan juga berubah. Citra buram PNS seperti diatas dapat direduksi dari mengadopsi empat sifat budaya yang diperkenalkan Denison. Paling tidak jika mencermati keempat dimensi tersebut, bahwa PNS yang bekerja dalam suatu organisasi pemerintah (pelayan publik) harus mempunyai misi yang sama, didukung pemahaman atas sebuah organisasi yang harus dibangun dalam suatu teamwork yang kuat untuk membentuk organisasi yang efektif dengan adanya kesepakatan terhadap petunjuk-petunjuk standar operasi kerja serta adanya koordinasi dan integrasi satu sama lain. Sehingga jelas disini upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dari waktu ke waktu adalah sebuah keharusan dengan memperhatikan secara serius aspek kelembagaan. Minimal yang harus segera dibenahi adalah dengan mengindahkan empat syarat agar citra PNS berkambang dengan baik, yaitu: (1) adanya leadership yang baik, (2) tegaknya peraturan (3) pembenahan struktur organisasi, dan (4) adanya kultur yang baik. Tentunya didalam memperhitungkan empat aspek diatas bukan pekerjaan yang mudah dan dengan cepat terwujud. Usaha pembenahan tersebut bukan suatu yang mustahil untuk dapat diwujudkan, sehingga diperlukan tekad bersama menata birokrasi dan aparatur administrasi negara dengan sadar dan berorientasi pelayanan publik.

     Sumber daya manusia PNS. Membicarakan kualitas sumber daya manusia PNS Indonesia adalah sebuah hiruk pikuk. Sebuah masa yang riuh, ketika pertentangan antara sistem rekruitmen PNS, kualitas PNS yang ada, maraknya korupsi di instansi pemerintah. Singkatnya PNS identik dengan birokrasi yang ruwet, tidak efisien dan jauh dari profesional. Bukan sesuatu yang mudah meningkatkan dan membenahi performa SDM PNS yang ada. Mesti disadari bahwa meniti karir sebagai PNS baik di pusat maupun daerah, tidak semudah yang dibayangkan orang. Banyak tahap penjenjangan yang harus dilalui seorang pegawai untuk menuju puncak karir. Pegawai harus terus mengembangkan kemampuan melalui program diklat berorientasi kompetensi maupun pendidikan formal di perguruan tinggi. Yang intinya sebagai upaya pengembangan pegawai untuk peningkatkan kualitas.

     Tak dapat dipungkiri, pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu pendekatan utama dalam mengembangkan Sumber Daya Manusia yang ada. Hal ini dilakukan sebagai pendekatan, mangingat pendidikan dan pelatihan mempunyai peran strategis terhadap keberhasilan mencapai tujuan organisasi, baik pemerintah maupun swasta. Di sisi pegawai juga sebagai capaian karier individu untuk dapat meningkatkan kualitas profesionalnya. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada pegawai harus sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan, sehingga peningkatan kualitas pegawai akan benar-benar terpenuhi. Oleh karenanya, bila pemerintah menginginkan kualitas dan kinerja PNS meningkat, maka pengembangan sumber daya manusia PNS harus dilakukan sejak awal, yaitu sejak proses perekrutan. Perekrutan harus dilakukan secara transparan, dan menghindari budaya koneksitas dan nepostisme yang tidak bertanggung jawab. Terlebih masih kita dengar bahwa untuk bisa menjadi PNS di banyak departemen CPNS harus menyediakan sejumlah uang yang sulit dipertanggungjawabkan untuk dapat lolos. Jika kondisi ini di biarkan, sangatlah sulit untuk membentuk karakter PNS seperti yang diinginkan, meskipun dengan pendidikan dan latihan dengan kurikulum yang bagus sekalipun. Sebab akar masalahnya sudah jelas pada mentalitas pegawai yang akan masuk dan yang telah PNS. Ada situasi sepadan untuk “membiarkan” budaya itu berlangsung. Terlebih di tengah himpitan ekonomi yang berbanding lurus dengan ketidaksepadanan kesejahteraan. Budaya jual beli posisi inipun terdengar tidak hanya pada awal rekrutmen, tapi juga pada level-level struktural. Intinya jika akar masalah ini dapat dicegah sejak dini maka potensi menghasilkan PNS yang berkualitas melalui seleksi yang ketat dan tepat dapat terwujud. Dengan seleksi yang demikian, tidak akan ada lagi PNS yang lebih banyak nongkrongnya daripada bekerja. Keterbatasan kemampuan untuk menciptakan pekerjaan tidak akan dialami oleh PNS yang mempunyai etos kerja yang tinggi dan ditunjang oleh "otak" yang encer. PNS yang kompeten akan menyadari betul kewajiban yang harus dikembangkan dan disumbangkan serta dipertanggungjawabkannya kepada negara dan publik melalui dedikasi dan karyanya. Selama ini, seperti penulis rasakan, pendidikan dan pelatihan pra jabatan untuk CPNS, sangat terkesan monoton. Kesan utama hanya sekedar memperkenalkan manajemen administrasi pemerintahan. Diklat CPNS sering dilakukan dengan mencampurkan CPNS dari berbagai departemen. Kondisi ini sangat tidak efektif mengingat jabatan yang akan diemban oleh masing-masing CPNS berbeda. Misalkan saja CPNS dari departemen pendidikan nasional akan berbeda dengan CPNS dari departemen dalam negeri. Selama ini kurikulum yang diberikan sangat standar dan dangkal dalam penyampaian. Upaya membangun kesamaan misi diantara CPNS satu departemen dalam kondisi yang demikian sungguh sangat sulit tercapai. Intinya steoritip pegawai negeri yang berkerja di departemen pendidikan jelas beda dengan dengan steoritip pegawai pemerintah daerah. Untuk itu perlu pemisahan dengan penekanan pada jabatan yang diemban serta menyisipkan misi khusus dari tiap departemen. Sehingga Diklat pra jabatan terkesan hanya formalitas dan administratif belaka dapat dihindari dan diklat dapat menjadi efektif sebagai sarana untuk pembentukan karakter profesional pegawai.

     Sejalan dengan kompetensi PNS, hingga saat ini posisi PNS sering dijadikan tauladan oleh lingkungan sekitarnya. Lingkungan secara langsung menuntut PNS yang bermoral, menempatkan kejujuran, tanggungjawab dan integritas di urutan pertama dalam mengimplementasikan profesionalismenya. Seperti yang disinggung diatas, posisi PNS sangat strategis menjadi tauladan di masyarakat. Memperhatikan hal ini, tentunya peningkatan sumber daya manusia PNS dapat dijalankan melalu diklat jika upaya perbaikian citra PNS segera dilakukan. Untuk itu kedepan penulis cenderung pada dua proposal yang mungkin bisa diajukan, yaitu: 1.) perbaiki sistem perekrutan yang lebih mengedepankan moralitas dan kompentensi diri, 2.) penerapan sistem kebijakan zero growth lambat laun diubah menjadi reduction growth sebagai upaya rasionalisasi jumlah PNS. Sekaligus menghilangkan kesan bahwa jumlah PNS banyak tetapi tidak ada hasil karyanya (tidak produktif) dan mengenai kemungkinan terjadinya kegagalan dalam meningkatkan performa SDM yang ada. Bila ternyata pegawai yang bersangkutan sulit untuk dapat ditingkatkan kinerjanya, maka langkah rasionalisasi dengan sangat terpaksa akan menggunakan perangkat hukum melalui PP No. 32 tahun 79 tentang pensiun dini. Meskipun hal ini harus dibayar dengan uang pensiun dan pemberi tunjangan seumur hidupnya, namun bila itu merupakan langkah terbaik, maka terpaksa dilakukan.

 

Remark

     Sebagai bagian dari individu manusia dan organisasi yang terus hidup dan berkembang, kultur organisasi pun mengalami berbagai perubahan. Fakta ini menunjukkan adanya peluang yang besar untuk mengembangkan kultur organisasi PNS yang lebih produktif, siap melayani dan efisien. Secara operasional ini berarti membentuk dan mengembangkan nilai-nilai dan pola perilaku anggota dan organisasi PNS yang terus mengarah pada paradigma yang baru, yang berintikan semangat mengabdi. Untuk menuju PNS yang tanggap terhadap perubahan jaman dan bermental melayani, tentunya diperlukan paradigma baru dalam kurikulum diklat PNS yang modern. Inipun andaikata diklat-diklat PNS tetap dipertahankan. Dan tentunya melakujkan sinergi dengan institusi lain seperti perguruan tinggi yang berkompeten tidak dapat dihindari. Hendaknya pusat diklat PNS melakukan pengembangan substansi materi kurikulum. Penekanan yang perlu diberikan adalah: pada validitas substansi materi dilihat dari kebutuhan kerja, alokasi jam belajar yang memadai, metode pengajaran, dan proses belajar-mengajar yang memungkinkan proses berpikir kreatif peserta diklat. Sehingga menghindari steoretif bahwa diklat PNS hanya merupakan pemberi karcis untuk naik pangkat, jabatan struktural dalam bentuk sertifikat setelah lulus dari diklat yang bersangkutan. Akhirnya semuanya bermuara pada upaya untuk membina perbaikan-perbaikan dalam melaksanakan tugas pemerintahan menuju penyelenggaraan pemerintahan yang lebih bersih (Good Governance) yang dapat memicu pemberdayaan masyarakat, dan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat tanpa diskriminasi. Sehingga PNS benar-benar menjadi abdi profesional bagi publik. Tidak berlebihan pernyataan Turner and Hulme (1997), menggarisbawahi bahwa pelayanan publik tidak harus sepenuhnya mengandalkan pada adanya suatu peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukumnya. Akan tetapi perlu dilakukan reformasi administrasi yang bermuara pada pembenahan birokrasi, yang tentunya selaras dengan peningkatan kesejahteraan PNS itu sendiri. Maka akhirnya kedepan harus ada skenario standar pelayanan minimal (SPM) yang di rancang bagi perbaikan kinerja PNS dan optimalisasi pelayanan publik sebagai penentu apakah pelayanan aparat birokrasi terhadap publik, optimal atau tidak di mata masyarakat yang hal tersebut masuk dalam setiap diklat-diklat yang diadakan oleh departemen-departemen, tidak hanya berupa surat edaran atau surat keputusan yang bisa jadi tidak pernah terbaca.

Demikian, semoga dapat membuka cakrawala berpikir para pengambil kebijakan jika kita semua memang berkehendak memperbaiki citra PNS dan sistem birokrasi di Indonesia. Dampak dari perbaikan sistem birokrasi tersebut adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik dari berbagai instansi pemerintah.

Goettingen, 17 Januari 2005

 

Mencari Jejaring antara Zakat dan Pajak

oleh: Ciplis Gema Qori'ah  

I. Pengantar

Kepedulian pemerintah terhadap umat Islam paling tidak tercermin dari bergulirnya Undang-undang no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Hal ini dapat dipandang sebagai setapak lebih maju didalam mengartikulasikan keinginan umat Islam Indonesia terlebih dalam eskalasi ekonomi terkini. Tidak dapat dipungkiri UU tersebut memuat konsep-konsep manajerial yang profesional terhadap pelaksanaan zakat di Indonesia. Dengan hitungan kuantitatif umat Islam yang sangat besar, potensi zakat sebagai pengerak ekonomi nasional tidak dapat dipandang sebelah mata. Selain itu dapat dikatakan bahwa ini merupakan kali pertama dalam sejarah, pemerintah mengatur kaitan antara zakat yang dibayarkan masyarakat sebagai pelaksanaan kewajiban beragama dengan pajak yang dibayarkan kepada negara yang merupakan kewajiban kenegaraan bagi setiap warga negara

Tulisan ini hanya mencoba untuk membahas dalam segmen yang kecil dan sempit, dimana pembahasan hanya diarahkan pada keterkaitan Zakat dalam Sistem Kebijakan Fiskal, dalam hal ini adalah Pajak sebagai anchor variable-nya. Menurut hemat penulis, hal ini dirasa tepat dalam konteks Indonesia, mengingat bahwa ketidakmampuan kita untuk keluar dalam jeratan kemiskinan dan semakin menjauh dari kemakmuran ekonomi. Pencarian solusi terbaik layak untuk dibedah dan diurai melalui variabel-variabel ekonomi yang terukur.

II. Zakat dan Pajak: Dalam Tinjauan Makro Ekonomi
2.1
Sekilas Pengertian Pajak

Dalam wacana hukum, pajak dapat didefinisikan sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Diharapkan pemungutan pajak tersebut tidak memberatkan wajib pajak di seluruh lapisan masyarakat karena telah diatur dalam undang-undang (Susanto,2002). Atas dasar definisi tersebut maka unsur-unsur yang terdapat dalam pajak tersebut adalah: Iuran rakyat kepada negara, yaitu yang berhak memungut pajak hanyalah negara, yang berupa uang (bukan barang). Berdasarkan undang-undang, yaitu pajak dipungut berdasar atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Sehingga dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yaitu pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas (Samosir,2002). Dengan demikian wajib pajak (WP) adalah orang pribadi/ badan yang menurut ketentuan perturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak/pemotong pajak tertentu (mempunyai penghasilan).

Namun demikian dalam ranah ilmu ekonomi, pajak merupakan aset penting dalam suatu anggaran pengeluaran dan belanja negara (APBN). Kontribusi pajak  dalam pembangunan sangat diperlukan karena pembiayaan pembangunan tidak dapat hanya mengandalkan bantuan dari luar negeri (pihak asing) seperti hutang maupun hibah yang semakin membebani generasi yang akan datang. Penggalian sumber-sumber keuangan domestik seperti pajak merupakan aksi riil pemerintah untuk mengurangi ketergantungan tersebut.        

Menyitir pandangan ekonomi Islam, Ibn Khaldun (1332-1406) yang menegaskan bahwasannya “pada tiap negara terdapat keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran…..dan bila keduanya (pendapatan dan pengeluaran) bertambah besar berarti negara itu berkembang”. Pendapat itu sekiranya sejalan dengan pendapat ahli ekonomi T.B. Irving bahwa “pajak” mempunyai segi pengembalian mengecil dan penyuntikan keuangan negara adalah perlu untuk menjaga agar dunia usaha berjalan lancar. Pembuktian keunggulan pajak berimbang terhadap sistem pemungutan tetap atas tanah yang ditinjau dari sudut pandangan dan keadilan juga disampaikan oleh Abu Yusuf (731-798). Dengan demikian kesejahteraan masyarakat yang selama ini menjadi tujuan perekonomian nasional dapat segera terwujud, dimana kesejahteraan ekonomi merupakan prasyarat untuk suatu kehidupan yang lebih baik (Shah Waliullah,1702-1763).  

2.2 Konsep Zakat dalam Perekonomian Umat

Secara bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah. Seorang yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak. Allah berfirman disurat At-Taubah ayat 103, artinya: "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka". Surat Al-Baqaraah 276, artinya: "Allah memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah". Disebutkan dalam hadist Rasulullah saw yang diriwatkan Bukhari dan Muslim, ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore : "Ya Allah berilah orang berinfak gantinya". Dan berkata yang lain: "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak kehancuran". Sedangkan menurut terminology Syari'ah zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu. Zakat sebagai ibadah maliah ijtimaiah adalah hak tertentu yang diwajibkan Allah terhadap harta kaum muslimin yang diperuntukan bagi fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya serta untuk membersihkan diri dan hartanya. Dalam dimensi ini jelas bahwa zakat merupakan potensi yang fenomenal memunculkan persoalan paling luas dalam keuangan publik Islam. Lebih jauh, zakat bukanlah suatu pajak dalam pengertian normal, akan tetapi merupakan kewajiban agama seorang muslim seperti shalat, puasa dan haji untuk membayar sejumlah tertentu dari kekayaan bersihnya atau output (Chapra, 2000). Atau dengan kata lain merupakan kewajiban finansial dari harta kekayaan menurut ketentuan Islam, dan bukan merupakan pajak yang bertujuan untuk menjamin penerimaan negara. Sehingga dana yang terkumpul tidak dapat dipergunakan negara untuk tujuan-tujuan yang diinginkan.

Hakikat zakat lebih memfokuskan pada tindakan bantu diri sosial yang mendapatkan dukungan kuat dari agama untuk menolong orang-orang miskin dan tidak mampu/kurang beruntung untuk menghapuskan penderitaan dan kemiskinan umat muslim, walaupun pelaksanaan zakat tersebut hanya pada waktu-waktu tertentu. Zakat yang merupakan tindakan bantu diri sosial bukan berarti dapat dianalogikan atau disamaartikan dengan program pengganti pembiayaan diri yang dibuat dalam masyarakat modern untuk menyediakan perlindungan jaminan sosial bagi pengangguran, korban kecelakaan, manula dan kesehatan, lewat pengurangan gaji pekerja dan kontribusi majikan. Zakat tidak dengan sendirinya mengurangi pos anggaran yang dibuat pemerintah untuk meringankan beban dan pembayaran kesejahteraan dan tidak pula dapat membebaskan negara menggunakan tindakan-tindakan dan skim-skim untuk program redistribusi pendapatan dan perluasan lapangan pekerjaan serta peluang berwirausaha.

Zakat memainkan peranan penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta tingkah laku konsumsi. Zakat berpengaruh pula terhadap pilihan konsumen dalam hal mengaloksikan pendapatannya untuk tabungan atau investasi dan konsumsi. Dampak positif dari zakat terhadap aspek sosial ekonomi adalah terciptanya keamanan masyarakat dan menghilangkan pertentangan kelas karena kesenjangan pendapatan. Pelaksanaan zakat ini akan menunjang terbentuknya kondisi ekonomi yang growth with equity, yaitu peningkatan produktivitas yang diiringi dengan pemerataan pendapatan serta peningkatan lapangan kerja bagi masyarakat luas (Rahmat, 1985) Ada beberapa pemikiran yang menjadikan zakat berperan penting dalam masyarakat, pertama, zakat merupakan pelengkap pendapatan permanen hanya kepada mereka yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang mencukupi kebutuhannya. Kedua, zakat harus dipergunakan hanya untuk menyediakan pelatihan dan modal “benih” baik dalam bentuk kredit bebas bunga ataupun hibah yang memungkinkan untuk mendirikan usaha-usaha mikro atau usaha kecil. Ketiga, zakat sebagai alat daur tandingan dengan tidak menyebarkan secara total pada waktu periode boom sehingga menyisakan surplus untuk digunakan pada masa resesi. Namun dalam hal ini banyak pendapat yang menegaskan bahwa pembayaran zakat pada kekayaan yang menganggur mendorong para pembayar zakat untuk menginvestasikan kekayaannya sehingga mendapatkan income yang cukup untuk menggantikan dampak zakat pada kekayaan itu. Hal ini akan membantu mereduksi simpanan emas dan perak serta uang yang menganggur sehingga investasi meningkat dan pertumbuhan pun akan meningkat.

 

III. Mencari Jejaring Konsep Makro Ekonomi

Prinsip ajaran Islam pada dasarnya memecahkan semua masalah kehidupan yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Ajaran Islam merupakan dasar semua perbaikan sosial, yang tidak hanya terbatas pada hukum sipil, tetapi juga norma-norma moral, perbaikan pemikiran dan kesucian hati sehingga menjadi kontrol dalam merealisasikan kaedah-kaedah tersebut. Apabila ditinjau secara makro suatu perekonomian tidak terlepas dari peran pemerintah, dimana menurut Maududi (1988:60) pemerintah tidak menggunakan kekerasan dalam memimpin suatu negara.

Kembali pada subjek masalah Zakat dan Pajak. Sekali lagi perlu digaris bawahi bahwa, dalam teologi Islam, zakat diyakini merupakan sarana utama dalam pendistribusian asset dan kekayaan ummat. Melalui zakat diharapkan sumber-sumber ekonomi tidak hanya terkonsentrasi pada orang-orang kaya saja, tapi juga terdistribusikan kepada para fakir miskin, sehingga mereka juga ikut merasakan nikmatnya. Dalam Islam, zakat merupakan rukun agama, sedangkan dalam perekonomian, zakat merupakan sarana terpenting dalam distribusi kesejahteraan. Sedangkan Pajak punya konsep tersendiri, ia diatur oleh negara, bukan agama. Aturan-aturan yang ada dipajak bersifat berubah-ubah disesuaikan sepanjang kebutuhan.

Yang menjadi persoalan adalah mengapa konsep pajak dan zakat belum dapat seiring dalam pemikiran, bahkan dalam konsepsional. Jelasnya pertanyaan empiris yang dapat dimunculkan adalah sejauh mana variabel-variabel ini menjadi variabel penentu dalam makro ekonomi Indonesia. Bukan pekerjaan mudah, namun demikian indentifikasi atas fenomena zakat dan pajak sebagai komponen penentu ekonomi makro layak untuk dicoba untuk dicari benang merahnya. Ada beberapa hal menurut penulis yang harus dikritisi terlebih dahulu, antara lain:

1) Zakat Masih Dilihat Sebagai Sub Ordinasi dari Pajak.

Ini yang penulis rasakan didalam mekanisasi berputarnya mesin-mesin ekonomi di Indonesia. Dengan kata lain selama ini, konsep Zakat dan Pajak masih berdiri sendiri-sendiri, terpisah dalam ruang yang berbeda. Dengan begitu yang terjadi adalah outcome dari kedua konsep ini jauh dari sasaran. Meski sasaran akhir dari keduanya adalah pengurangan kemiskinan, distribusi asset dan sebagainya. Jika keduanya tidak dalam satu penangganan maka sasaran akhir itu tidak pernah tercapai secara optimal. Meskipun kita yakini kedua konsep itu memiliki kerangka filosofi ekonomi tersendiri, dimana zakat dapat dipandang sebagai mekanisme spiritualisasi bermasyarakat melalui celah masuk yang paling material. Sedangkan pajak adalah celah masuk yang paling material dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dalam bernegara pajak adalah komponen penting dalam sumber pendapatan dan secara tidak langsung adalah sumber kehidupan ekonomi suatu negara. Jelasnya pajak sebagai basis material lembaga kekuasaan. Tidak ada pemerintahan yang bisa berjalan efektif tanpa dukungan pajak rakyat. Letak elemen Zakat dan Pajak adalah mencari jejaring kerangka spritual dan non spritual dalam konteks materialisasi manusia sebagai homo economicus dan homo religi. Jejaringnya terletak pada pemahaman bahwa Islam mensucikan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan berpolitik melalui pajak ini.

Mengenai masalah pajak sendiri, salah satu ekonom ‚University of Chicago’ Milton Friedman, merekomensasikan untuk menjauhi Pajak jika mungkin. Menurutnya runtuhnya industri barat dan inflasi tinggi yang terjadi lebih disebabkan oleh sistem perpajakan yang buruk ini. Lebih lanjut argumentasinya adalah sistem pajak secara tidak langsung menggunakan uang orang lain untuk orang kebutuhan orang lain. Sistem pajak biasanya diadakan dengan dalih atas kepentingan sosial ternyata dalam kenyataan tidaklah termanfaatkan untuk pembiayaan sosial itu sendiri. Hasil pajak lebih banyak termanfaatkan oleh kepentingan birokrat sendiri alias terkorupsi, dan yang lainnya untuk mendanai perguruan yang tinggi yang berisikan anak-anak orang kaya. Sehingga yang terjadi bukan orang kaya mensubdisi orang miskin, malah terjadi sebaliknya. Itulah rekomendasi ekonom Milton Friedman. Jelasnya sistem pajak mengalami ketidak pastian, dalam main-stream ekonomi itu sendiri.

2) Persoalan Distribusi dan Institusi Ekonominya.

Menurut hemat penulis, selama ini distribusi pajak memerlukan institusi/lembaga ekonomi yang jelas, yang amanah. Dalam tataran makro sebenarnya masalah ini sangat lekat pada masalah ekonomi institusional. Namun yang terjadi adalah belum lancarnya  sistem alur yang jelas antara pemberi dan penerima, antara yang wajib dan berhak. Padahal ada konsep serupa dan sebangun antara pajak dan zakat. Yaitu ada yang wajib berzakat dan ada yang wajib membayar pajak. Ada yang berhak menerima zakat dan ada yang berhak menerima hasil pajak. Persoalannya pada institusi yang menanggani. Untuk zakat mungkin dapat dikembangkan konsep Baitul Mal dalam masalah pengelolaan Fiskal. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa, dalam Baitul Mal yang menjalankan fungsi fiskal seperti di jaman awal Islam, sejauh rujukan yang diketahui, belum ada yang dilakukan negara-negara muslim saat ini adalah upaya memberdayakan Baitul Mal. Secara garis besar strategi negara-negara muslim dalam memberdayakan pengelolaan zakat. Kenyataan yang hadir adalah Seringkali Baitul Mal muncul sebagai reaksi spontan dan tanpa perhitungan yang cermat terhadap kekecewaan akan keadaan ketimpangan atau keruntuhan ekonomi. Konsekuensi logis suatu yang tergesa-gesa adalah lemahnya dalam pemetaan masalah dan sekaligus adalah perencanaan serta strategi dalam merespon persoalan ekonomi yang ada. Sehingga sangatlah masuk akan jika Baitul Mal tidak dapat dapat berfungsi secara optimal dalam skala ekonomi makro. Selama ini wacana yang berkembang adalah sepetak-sepotong terhadap konsep Baitul Mal, fungsi Baitul Mal menjadi sekedar lembaga pengelola zakat. Tidak lebih dari itu, padahal jika kita mampu untuk memodernisasi Baitul Mal sebagai lembaga ekonomi perantara yang modern maka tak pelak lagi ia mampu menjadi lembaga fiskal yang mampu berperan secara scope nasional dan mempunyai kontribusi makro ekonomi yang jelas. Entah bagaimana mengkaitkan antara Intitusi Pemerintah dalam hal ini Dinas Pajak dengan Baitul Mal, ini persoalan administrasi negara, namun demikian ke depan adalah sangat urgent untuk membuat cetak biru atas konsep ini. Karena dari kacamata ekonomi jelas bahwa ada keberartian yang sangat significant untuk mewujudkan welfare state.

Satu hal lagi yang tidak dapat ditinggalkan dalam keikutsertaan lembaga institusi tersebut yaitu masalah “kepercayaan (trust). Dalam hal ini kolaborasi antara pemerintah, dinas perpajakan dan baitul mal akan membawa hasil yang sia-sia (tangan kosong) tanpa munculnya “kepercayaan” masyarakat terhadap kinerja dan komitmen yang kuat serta benar-benar untuk merealisasikannya. Oleh karena itu antara kepercayaan yang diberikan masyarakat harus bertemu dalam satu titik konkrit dengan komitmen, visi dan misi yang telah dibangun dan diusahakan, yang bertujuan untuk pemerataan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat luas.  Nah! Bagaimana pendapat anda?!.

Jember, April 2002


*/ Tulisan ini merupakan versi lain dari makalah penulis dan sdr. Sarwedi yang berjudul ‘Mencari Jejaring antara Zakat dan Pajak: Sebuah Tinjauan Makro Ekonomi” yang telah dipresentasikan pada seminar regional yang diselenggarakan oleh  Syari’at Economic Informal Study (SEIS), Fakultas Ekonomi Universitas Muhamadiyah Jember.

 

 

Pembangunan Manusia di Era Otonomi Daerah

 

Oleh: Adhitya Wardhono

 

 

Paradigma pembangunan berdimensi manusia menjadi tema sentral dalam pembangunan negara tidak saja oleh negara yang memiliki kekeyaan sumber daya manusia namun juga  negara yang miskin sumberdaya manusia. Fenomena ini tidak lepas dari pandangan bahwa penekanan pada investasi manusia merupakan basis dalam meningkatkan produksi secara total. Tanah, tanaga kerja, modal fisik dapat saja mengalami diminishing returns, namun pengetahuan tidak. Seperti yang tekankan oleh Alfred Marshall yang pernah mengatakan bahwa:

 

„although nature is subject to dimishing returns, man is subject to increasing returns… Knowledge is our most powerful engine of production: it enables us to subdue nature and saisfy our wants.”

 

Secara holistik, keberadaan manusia sebagai subyek pelaku pembangunan menempatkannya sebagai dua fungsi penting dalam dinamika perekonomian yaitu, pertama sebagai sumber daya untuk mejalankan proses produksi dan distribusi, dan kedua sebagai sarana untuk menimbulkan dan mengembangkan pasar. Dua fungsi tersebut merupakan syarat mutlak bagi suksesnya pembangunan suatu Negara.

 

Globaliasi mendorong terjadinya paradigma baru pada bidang ekonomi. Kemajuan dan pemanfaatan teknologi khususnya teknologi komunikasi dan informasi pada setiap kegiatan dan proses ekonomi menciptakan nuansa baru pada aspek organisasi, proses, manajemen dan sumber daya manusia yang berbasis pengetahuan. Ekonomi baru yang berbasis pengetahuan (knowledge - based economy) bertolak pada applikasi pengetahuan manusia (human know-how) pada setiap apa yang kita produksi dan bagaimana memproduksinya. Nilai tambah ekonomis semakin ditentukan dan diciptakan lebih banyak oleh otak dari pada otot (By brain rather than brawn). Produk itu sendiri mempunyai kandungan (content) pengetahuan misalnya produk yang dilengkapi dengan teknologi digital seperti chip dan microprocessor.

 

Teknologi komunikasi dan informasi yang super cepat dan kerja jaringan memasuki "the Age of Networked Intelligence". Walaupun silikon, microprocessors, dan jalur kaca fiber yang kecilnya sebesar rambut manusia, namun mampu membawa manusia menembus dinding dan menyeberang ke planet untuk mengaplikasikan pengetahuan pada setiap aspek kehidupan ekonomi dan sosial. Dengan teknologi jaringan seperti intranet dan internet dengan World Wide Web dapat memudahkan manusia berbagi informasi, berhubungan, dan berkomunikasi dalam masyarakat kesejagatan.

 

Itulah gambaran ‘dunia’ yang telah ‘menyatu’ berkat pemanfaatan kapasitas Sumber daya manusianya. Bagaimana dengan Indonesia? Masih adakah peluang untuk mengejar? Mungkin pertanyaan ini terbilang ‘konyol’ dan tidak bermutu, tapi inilah kenyataan yang harus kita hadapi banyak pekerjaan rumah yang belum selesai meski kita sudah merdeka lebih dari 60 tahun.

 

 

Otonomi dan SDM

 

Otonomi daerah yang efektifnya telah mulai dijalankan diawal 2001 lalu membawa bebarapa implikasi bagi sektor pemerintahan dan swata. Kita sepakat bahwa otonomi harus terus berjalan. Namun kita juga harus sangat jeli menyikapi bergulirnya otonomi daerah ini. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan pekerjaan besar dan harus berhasil dengan baik. Melihat keragaman kemampuan maka pelaksanaannya harus didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan bertahap menurut kemampuan daerah. Untuk itu pemerintah daerah harus mampu untuk melakukan pembangunannya dengan kebijakan dan rumusan yang jelas. Fenomena rendahnya Sumber Daya Manusia sangat begitu kontras ditengah bersemangatnya membangun daerah secara lebih demokratis dengan konsep Otodanya. Bagaimanapun bagai  sayur tanpa garam. Apa untungnya SDA melimpah, pendapatan daerah melimpah, tapi rakyat masih dalam kepapaan? Saya yakin bapak Bupati dan jajarannya sungguh tidak nyaman memiliki rakyat yang masih ‘kurang pandai’. Seorang manajer sungguh sangat pusing memiliki karyawannya sulit diatur. Seorang RW/RT akan sangat jengkel dengan warganya yang sulit diatur. Atau bapak Polisi yang geram dengan rusaknya banyak rambu lalu lintas dan rendahnya disiplin pemakai jalan. Semua itu berpulang pada rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. 

 

Untuk itu mungkin kita perlu untuk menyimak buah pikir ekonom Friedrich List yang mengemukakan konsep Pendekatan Tenaga Produktif. Rekomendasinya adalah kemakmuran suatu daerah (bangsa) bukan disebabkan oleh akumulasi harta dan kekayaan, melainkan dengan cara membangun lebih banyak tenaga yang produktif.  Dengan pendekatan ini akan terjadi kekuatan swadaya setempat yang mampu menunjang kemakmuran  ekonomi suatu daerah (bangsa). Dalam konteks ini, untuk mencapai kemakmuran daerah dalam Otoda, kekayaan  berupa sumber daya alam yang terkalkukasi diatas kertas bukan mutlak adanya.  Dan mungkin yang juga harus diperhatikan dalam rekomendasi Friedrich List ini adalah mengejawantahkan  Tenaga Produktif sebagai karya kreatif inovatif,  pemahaman kekuasan politik dan hukum, hak dan kewajiban masyarakat, efektivitas penyelengaraan  pemerintahan, ilmu dan kebudayaan, dan sikap terhadap hak asasi manusia, serta mentaati norma agama.

 

Berangkat dari pendekatan diatas maka pertanyaan yang muncul adalah  implikasi apa yang dapat diambil dari peryataaan tersebut? Esensi dari pernyataan tersebut kalau kita artikulasikan dalam kenyataan sekarang adalah mendesaknya mempersiapkan sumber daya manuasia yang berkualitas. Saya cenderung mengunakan istilah sumber daya padat otak untuk mengantikan istilah sumber daya manusia. Pengelolaan sumber daya padat otak mutlak  diprioritaskan. Sudah terlalu banyak kasus yang menunjukkan dengan mengelola potensi sumberdaya padat otak inilah kesejahteraan masyarakat daerah ternyata lebih terjamin. Ambil contoh negara Jepang, Singapura, Hongkong mampu untuk maju secara ekonomi, tanpa didukung SDA yang berlimpah. Mungkin kita tidak perlu membayangkan yang terlampau tinggi untuk konsep sumber daya padat otak. Dalam tulisan ini kita bisa mendefinisikan agak lebih lunak menjadi dua dimensi yaitu dimensi pertama dimana sumber daya manusia yang terdidik cukup baik secara formal maupun non formal yang nantinya memberikan kontribusi produktif berupa daya nalar pikir berupa karya kreativ inovatif. Dan dimensi kedua adalah pendidikan budi pekerti dan moral agama, artinya paham sebagai warga masyarakat akan hak dan kewajibannya sehingga taat atas hukum dan peraturan yang berlaku. Mengingat pendidikan formal bukan satu-satunya faktor penentu kualitas sumberdaya manusia atau keberhasilan pembangunan daerah. Pendidikan budi pekerti dan moral agama lebih memberikan arahan bagi terwujudnya  integritas pribadi dan etika kerja, serta disiplin kerja yang sulit diukur tetapi hampir dapat dipastikan tidak kalah pentingnya, sehingga juga harus dipertimbangkan.

Sumber daya padat otak tentunya berangkat dari ketersediaan sumber daya manusia yang dicoba untuk mendapat perhatian optimal. Caranya adalah melalui pendidikan rakyat, apapun sistem dan bentuknya. Namun kendala yang terasa dalam proses menuju sumber daya padat otak adalah kesungguhan dan rendahnya anggaran untuk mengoptimalkan problem ini. Dari aspek ekonomi telah jelas bahwa dana untuk  pendidikan dan peningkatan ketrampilan menyiapkan sumber daya manusia sangatlah rendah. Sehingga propaganda di sektor investasi sumberdaya manusia sangat tidak optimal. Apalagi sifat dari investasi sumber daya manusia ini adalah jangka panjang dan memerlukan konsistensi serta hasilnya tidak segera terlihat. Semoga hal ini sudah terpikirkan oleh jajaran pemerintah daerah dengan instansi terkait. Karena dengan mempersiapkan sumber daya manusia padat otak dengan pendidikan formal ataupun non formal, akan jelas efek pengganda yang akan diperoleh. Ada satu keyakinan yang cukup menarik untuk di cermati yaitu “dengan pendidikan akan membuat orang mudah dipimpin tapi tak bisa dipaksa. Pendidikan juga akan menghasilkan orang-orang yang mudah diperintah tapi tak bisa diperbudak”.

***

 

Penerapan otonomi daerah membuka peluang untuk memperluas akses kesempatan dan ruang berkreativitas, tidak saja dalam lingkup lokal atau nasional bahkan kalau di serisui mampu mengikuti gerak langkah di dunia internasional. Dan secara tidak langsung memberikan konsekuensi menjawab tantangan standarisasi internasional. Hal ini berarti perlu didukung oleh SDM yang mempunyai daya saing global, baik yang menyangkut kinerja, profesionalitas, manajerial dan sebagainya. Dalam konteks global, mengandalkan kelebihan hanya pada kekuatan komparatif berupa SDA yang melimpah tidak pada tempatnya lagi dipertahankan. Menilik negara-negara maju yang telah menjadi motor penggerak dunia lebih mengandalkan kekuatannya kepada kelebihan kompetitif yang sifatnya mengandalkan kemampuan SDM yang unggul, cerdas dan berpendidikan memadai daripada ketersedian SDA yang melimpah tanpa mampu ‘dibunyikan’ untuk menunjang kesejahteraan rakyatnya.

 

Eksistensi Koperasi
oleh: Adhitya Wardhono

Kali ini warga Bondowoso boleh berbangga, paling tidak orang nomer satu Kabupaten Bondowoso. Drs H Mashoed MSi, mendapat penghargaan dari Presiden RI Megawati Sukarnoputri pada 17 Agustus 2002 lalu, atas pengabdiannya di bidang Koperasi dan UKM, mengantarkannya mendapatkan Satya Lencana Pembangunan. Dalam surat keputusan presiden RI disebutkan, Bupati Mashoed telah berperan aktif melakukan kegiatan terpadu dengan instansi terkait di bidang koperasi dan UKM. Peran aktif itu, berupa pembentukan empat koperasi di empat kawedanan. Empat koperasi itu melayani jasa pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) dan memfasilitasi permodalan untuk dikelola. Satu bukti bahwa eksistensi Koperasi masih menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat. Mesti sayang, kini eksistensi koperasi yang dibentuk Bupati Mashoed, mulai hancur. Saat RAT beberapa waktu lalu, beberapa kepala desa (kades) mengusulkan agar koperasi di kawedanan dibubarkan seperti yang  dipapar Erje Jawa Pos (22/8/2002).
Hal ini juga hampir sedana dengan eksistensi Koperasi dalam ranah yang lebih luas, tidak di Bondowoso atau Jawa Timur semata. Perdebatan eksistensi dan masa depan koperasi Indonesia memunculkan beragam argumentasi yang unik, kadang ironis, pesimistis maupun optimistis. Paling tidak menurut ekonom Sritua Arief (1997) dalam tulisannya berjudul Koperasi Sebagai Organisasi Ekonomi Rakyat ada tiga hal yang menjadi berbincangan publik mengenai eksistensi badan usaha koperasi dalam ekonomi Indonesia. Pertama adalah munculnya pemikiran untuk perlunya re-study atas eksistensi koperasi dimana apakah masih perlu dipertahankan keberadaannya dalam kegiatan ekonomi. Kedua, adalah ada pendapat yang memandang bahwa unit usaha koperasi dipandang perlu untuk dipertahankan sekadar untuk tidak dianggap menyeleweng dari UUD 1945. Pembelaan pada pendapat kedua ini yang sering dilakukan dengan cukup gigih adalah para birokrat di pemerintahan. Ketiga, adalah pendapat yang menganggap bahwa koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang harus dikembangkan menjadi unit usaha yang kukuh dalam rangka proses demokratisasi ekonomi.
 Berangkat dari pernyataan diatas maka penulis mencoba mengurai logika-logika pernyataan-pernyataan diatas dengan sedikit usulan di akhir tulisan.

Gerakan Sarat Beban
Meskipun membesarkan koperasi telah menjadi bagian dari kebijakan ekonomi nasional, namun sisi implementasinya belum menunjukkan keberpihakkan yang tegas  dan jelas kepada koperasi. Hal ini tidak dapat disalahkan karena tidak sedikit koperasi yang tumbuh lantaran koperasi mendapat kesempatan yang lebih besar untuk mengambil manfaat ekonomi dari proyek dan fasilitas pemerintah. Ada kesan pragmatisme koperasi yang seakan-akan dapat mengimbangi peran swasta dan BUMN, koperasi telah berhasil  merebut pasar tidak sedikit tumbuh di Indonesia.
Namun sebenarnya kondisinya cukup dilematis, paling tidak seperti halnya pendapat kedua diatas. Ini terkait dengan eksistensi Koperasi di masa depan. Untuk itu kita mungkin kembali sejenak pada wacana historis gerakan koperasi dari sisi paradigma ideologisnya selama ini. Secara paradigmatis paling tidak   Koperasi terpilah atas beberapa aliran ideologis. Menurut Melnyk (1985) dalam bukunya The Search for Community, From Utopia to a Co-operative Society (lihat juga: Allan Halladay dan Colin Peile, 1989), memaparkan perbedaan mendasar tumbuh kembangnya koperasi berdasarkan ideologis anggotanya (baca: gerakan koperasi). Menurutnya ada 3 kategori dalam ideologi koperasi yang berkembang yaitu koperasi dalam tradisi Demokrasi Liberal, Marxis Komunis dan Sosialis non Marxis. Dalam tradisi koperasi yang demokratis liberal misalnya, tidak dapat dipisahkan dalam alam pikir masyarakatnya dan juga ideologi negara dimana koperasi tersebut berada.
Koperasi dalam tradisi Demokrasi Liberal, sifat kapitalisme pekat disini dan paling tidak menyimpan dua unsur yaitu pemusatan modal dan ekploitasi. Jargon yang diikuti adalah produksi untuk produksi, dan tentunya dengan mengikut sertakan  rasionalisasi dalam proses produksi bagi terwujudnya keunggulan komparatif produk-produk kapitalis. Maka tidak aneh dalam tradisi Koperasi Demokratis Liberal ini titik tekannya lebih pada mengangkat eksistensi fungsionalisme pragmatis dan pengakuan atas kepemilikan individu. Koperasi diarahkan pada pencapaian short run competition terhadap pemupukan laba dan arah gerakannya  bertendensi kepada orientasi ekonomi.
 Lain halnya dengan tradisi Koperasi Marxis yang lebih cenderung pada pengibaran kejayaan partai. Peran negara begitu kuat dan kesan yang tertangkap adalah suatu pemaksaan atas eksistensi koperasi sebagai bagian dari sistem ekonomi negara. Pemusatan regulasi oleh negara yang sentralistis menjadikan ruang gerak koperasi semakin sempit dan diatur begitu rupa. Tugas koperasi disini adalah membangun sosialisme (komunis) yang tunduk pada nilai-nilai  ideologi dengan komitmen tinggi.
 Terakhir adalah munculnya koperasi dalam tradisi Sosialis non-Marxis. Dalam arti mereka tidak mengusung ideologi komunis Marxis. Koperasi ini lebih banyak dijumpai pada belahan dunia ini. Misalnya saja Tanzania dengan Ujamaa-nya. Atau Koperasi Pekerja (worker-coop) di Spanyol yang terkenal dengan Koperasi Mondragon. Wajah yang ditampilkan dalam tradisi Koperasi sosialis ini lebih ramah dengan mengadopsi budaya masyarakat sekitar. Mereka tidak mengusung bendera revolusioner ala Marxis. Bahkan mereka terkadang di dukung oleh pemerintah, namun demikian yang dikedepankan adalah paham sosialisme.
Jadi tidak aneh jika selama ini gerakan koperasi di Indonesiapun juga mengacu pada ideologi yang dianut, dalam hal ini Konstitusi Negara UUD 45, yang didalamnya juga mengamanatkan ideologi sosialisme ala Indonesia yang bahkan juga tersirat dalam sila ke-5 Pancasila. Problemnya adalah amanat konstitusi itu yang sulit untuk diimplementasikan. Koperasi yang diamanatkan sebagai soko guru (pilar utama)  perekonomian nasional belum menjadi kenyataan. Beberapa justifikasi atas hal itu adalah secara historis gerakan koperasi Indonesia dalam 30 tahun terakhir dapat dikatakan sebagai salah satu korban korporatisme sebuah regim pemerintahan yaitu regim Orde Baru dan yang oleh Orde Lama menjadi bulan-bulanan partai dimana koperasi menjadi alat partai. Gerakan koperasi telah diselewengkan oleh Orde Baru sebagai alat kekuasaan, bahkan  terlihat telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga berubah bentuk menjadi perkumpulan pengusaha. Intinya memang tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan koperasi adalah gerakan yang sarat beban sejarah.
Dengan begitu ikutannya adalah koperasi telah kehilangan ‘roh’. Koperasi yang seharusnya mencitrakan diri sebagai lembaga yang  self-help dan mengedepankan demokrasi (ekonomi) untuk memakmuran anggota dan lingkungannya, telah serta merta tercabut dari akarnya. Koperasi jauh dari asas dan prinsip yang harus dianutnya (baca: jatidirinya). Hal ini dapat dilihat dari sejak diterbitkannya UU No. 12/1967 yang kemudian diperbaharui melalui UU No. 25/1992 ruang geraknya begitu sempit untuk mewujudkan entitas usaha koperasi yang sebenarnya. Paling tidak dari sisi permodalan. Undang Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah harus mengalami revisi. Dalam era global yang kompetitif ini sudah tidak selayaknya  bahwa koperasi dipaksa eksistensinya  mengandalkan organisasi yang mangandalkan Sisa Hasil Usaha (SHU) dan profit apa adanya. Dengan demikian, jika UU tersebut berubah sesuai tuntutan jaman maka koperasi Indonesia akan dapat menjadi badan ekonomi yang mandiri karena mampu untuk menghidupi dirinya sendiri dengan jelas, tidak berdiri di atas SHU. Itu artinya, managemen organisasi koperasi meski tanpa meninggalkan sifat dan prinsipnya, harus lebih efisien sehingga dapat bersaing dengan badan ekonomi lainnya seperti BUMN ataupun swasta.

Catatan Akhir
Memang kita perlu lebih kreatif. Sudah saatnya kita merubah persepsi yang kurang tepat tentang Koperasi Koperasi dengan menjadikannya sebagai badan usaha mandiri dan diakui keberadaannya. Beberapa hal yang perlu dicermati dan diusahakan adalah:
Pertama. Ubah secara berstruktur dan bertahap image negatif Koperasi.  Image Koperasi yang hanya hidup dengan perlakuan khusus dengan hanya mengantungkan diri atas fasilitas dan subsidi masih melekat padanya. Untuk itu kita coba reduksi dan harus segera kita tinggalkan. Hal ini harus menjadi agenda pemikiran dalam aspek legalnya. UU No. 25/1992, yang konon mengalami revisi, haruslah mampu mengakomodir image koperasi nasional dan tantangan nya ke depan. Situasi dunia yang menglobal diperlukan kiat-kiat khusus untuk mengangkat koperasi. Dalam wacana ekonomi nasional terlihat bahwa pengalihan kategorisasi atas penokohan subyek-obyek koperasi menjadi penting untuk direposisi kembali. Dimana selama ini Koperasi terkesan menjadi objek. Dan secara tidak langsung mempertegas pemerintah sebagai subyek yang berhak atas apa saja terhadap koperasi. Sehingga yang nampak, gerakan koperasi seperti gerakan air terjun dari atas ke bawah - "top down", terutama hal ini terlihat dalam koperasi unit desa (KUD), dimana sang subyek menentukan citra makna-nya kepada sang obyek. Jadi tidaklah aneh jika terkesan bahwa gerakan koperasi menjadi semacam ideologi yang represif ditengah dinamika masyarakat. Intinya kedepan koperasi tidak lagi organisasi yang ditinggalkan anggotanya malah dengan harapan menjadi pelopor sikap kemandirian ekonomi anggotanya. Karena anggota tidak lagi dianggap obyek namum subyek yang menentukan kinerja koperasinya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa cikal bakal koperasi masih terlihat, seperti sifat gotong royong yang terdapat di masyarakat, namun kondisi hari ini memperlihatkan bahwa modal sosial tersebut telah tergerus oleh situasi dan beban ekonomi yang melanda Indonesia.
Kedua. Koperasi sebagai badan usaha harus menjadi teladan dalam budaya kerja organisasi. Konsep bekerja yang mampu untuk meninggalkan paham paternalisme dan mengintroduksi sistem demokrasi harus menjadi jatidiri koperasi yang dipupuk oleh anggota dan pengurusnya. Terlebih di era reformasi ini yang antara pemberantasan  serta praktek KKN sendiri masih diarea abu-abu. Bahkan masih sulit terjangkau hukum. Sekaranglah Koperasi harus meneladani dan mengerakkan reformasi terhadap sistem-sistem dan struktur lama dan secara bersamaan  memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Perubahan dunia dengan globalisasinya harus dihadapi dengan kepercayaan diri yang kuat dan pemikiran yang positif progresif. Gerakan koperasi hendaknya mampu melakukan pemurnian koperasi secara optimistis dengan melihat perubahan paradigma yang ada.  Untuk itu koperasiawan Indonesia harus bangkit dan maju kedepan dengan mengibarkan bendera profesionalisme dan kemandirian.
Nah, berharap cemas  juga suatu saat nanti, Koperasi kita juga akan mampu menjadi pemenang atau minimal mengimbangi peran badan usaha lain di kontes era global yang sarat dengan  semangat liberalismenya itu  tanpa mengerus nilai-nilai Koperasi itu sendiri dan bahkan menampilkan keunggulan jati dirinya.  Marilah kita menunggu dengan seksama, Koperasi Indonesia bersuara lantang, tidak berbisik ataupun menjadi bisik-bisik orang.
Marburg, 23 Agustus 2002
 

 

Memerdekakan Koperasi Pedesaan
oleh: Adhitya Wardhono

Masyarakat petani di Kabupaten Jember mulai resah atas beredarnya beras impor asal India yang berjumlah ratusan ton dengan harga jual di bawah harga lokal, yakni Rp1.900 per kilogram, akibatnya banyak stok gabah dan  beras lokal yang sulit laku dipasarkan. Produk lokal harus bersaing dengan beras India, minimal itu pemberitaan media Kompas (8/7/02). Melihat realitas ini seakan menambah agenda derita petani Indonesia. Betapa rapuhnya petani kita karena mereka tidak mempunyai bargaining power cukup kuat.  Masyarakat petani yang notabene merupakan komunitas sosial yang selama ini dianggap tidak melek logika ekonomi atau hiruk pikuknya wacana politik seakan-akan menjadi bulan-bulanan perjalanan reformasi ekonomi nasional. Khususnya dalam reformasi pertanian, permasalahan petani tidak beranjak dari persoalan lawas, paling tidak masih seputar tariff, kuota impor, dan masalah pemasaran.

Meskipun tidak dapat dipungkiri sejak krisis ekonomi melanda Indonesia sektor pertanian telah menjadi gugus pembangunan utama, namun masih banyak hal yang tidak dapat tertanggulangi.  Kasus impor beras di Kabupaten Jember diatas adalah salah satu contoh kasus. Begitu halnya kasus gula impor dalam jumlah tak terkendali akibat maraknya penyelundupan. Hal ini mengisyarakatkan banyak kebijakan pemerintah mampu diterobos dengan praktek-praktek curang dilapangan. Contoh impor yang berlebihan diluar ketentuan bisa jadi merupakan proses utak-atik  praktik manipulasi dokumen (under-invoice) atau importir fiktif yang dengan mudah beroperasi. Jika kondisi ini tidak ditanggapi oleh pihak yang terkait bisa jadi sektor pertanian terperangkap dalam kondisi nestapa berkelanjutan. Variabel kuantum maupun harga yang dipermainkan di sektor pertanian  ini ternyata membuat resah banyak petani kita.
Terlebih menjelang era perdagangan bebas seakan-akan semua dibawa kearah global. Padahal dalam hal tertentu barang-barang lokal harusnya tetap menjadi perhatian, terutama produk pertanian. Ingat bagaimana pemerintah Jepang dengan mati-matian mempertahankan usaha petani padinya dengan mengenakan tariff impor lebih dari 200% terhadap impor berasnya. Ini dapat diartikan bahwa beras sebagai komoditas lokal harus dilindungi melalui proteksi yang sungguh-sungguh oleh pemerintah.

Berangkat dari hal diatas mungkin pertanyaannya ‘sampai dimanakan peran organisasi masyarakat pedesaan, seperti KUD dan asosiasi petani terlibat didalamnya?’ Adakah langkah alternatif apa untuk menanggulangginya? Penulis tertarik untuk mengurai logika-logika kejadian diatas dalam ranah pemikiran ekonomi kelembagaan pedesaan khususnya Koperasi Pedesaan (KUD), sekalian artikel ini bermaksud untuk menyambut Hari Jadi Koperasi di Indonesia tanggal 12 Juli 2002 kali ini.

Koperasi Pedesaan (KUD) sebagai penyelemat petani?
Lemahnya bargaining power petani, jika kita cermati menunjukkan kegagalan kebijakan pemerintah disektor pertanian. Merujuk pada kasus kehancuran harga dan produksi di sektor pertanian maka semakin jelas bahwa sangat lemahnya kebijakan pemerintah pro-petani dan juga sekaligus mengisyaratkan belum optimalnya kinerja kelembagaan yang ada di tingkat pedesaan. Ambil saja kasus kinerja Koperasi Pedesaan (KUD), masih sering terdengar julukan KUD sebagai ‘koperasi berkacamata kuda’ karena hanya jalan satu arah karena harus tunduk pada perintah sang sais, yang karena dibina secara intensif oleh pemerintah malah melahirkan Departemen Koperasi padahal sebelumnya hanya dibawah Direktorat Jenderal dimasa era Orba itu.

Namun  ternyata sejak era Orba hingga era Reformasi saat inipun  perkembangan KUD tidak juga cukup mengembirakan sebagai organisasi kolektif penting di tingkat pedesaan. Bahkan jika kita memaparkan dosa dari KUD adalah disamping perannya memonopoli di pedesaan adalah ketidakmampuan  untuk mengangkat nilai tukar petani. Intinya KUD masih belum menjadi penyelemat petani.

Meski demikian sinyalemen yang muncul di pedesaan adalah banyak sekali dijumpai ‘institusi baru pedesaan’ baik bernama asosiasi ataupun paguyupan. Baik asosiasi tersebut berdiri sendiri atau bahkan asosiasi Koperasi. Timbulnya asosiasi di pedesaan ini menjamur selama krisis ekonomi. Ini sebenarnya menunjukkan bahwa mereka menyadari (kalau tidak mau dikatakan kurang setuju dengan koperasi pedesaan-KUD) bahwa organisasi kolektivitas pedesaan perlu. Tersumbatnya peran koperasi pedesaan-KUD selama ini mengharuskan mereka mencari institusi alternatif lain. Dalam hal ini penulis jadi teringgat kritik yang disampaikan Prof. Hans H.Muenkner (pakar Koperasi dari Univ. Marburg) dalam suatu kuliah Studi Pengembangan Koperasi (Genossenschaflehre) yang menyatakan bahwa selama ini banyak kasus di negara berkembang dimana kelembagaan pedesaan dibentuk dengan satu pertanyaan yang salah. ‘Yaitu bagaimana koperasi dapat membantu saudara?’ Menurutnya yang benar seharusnya adalah ‘Bagaimana rakyat (petani) dapat menolong dirinya sendiri dengan mengorganisir swadaya melalui cara-cara Koperasi?

Ada point penting dari maraknya institusi pedesaan baru ini, yaitu mereka berusaha untuk mampu masuk ke pasar (market penetration). Mereka berusaha untuk meningkatkan efisiensinya dengan menurunnya biaya karena usaha yang menjadi lebih besar (economies of scale). Namun toh ternyata usaha-usaha ini juga kurang mampu meredam sengitnya persaingan dan meningkatkan pendapatan petani. Sehingga sering kali harga jungkir balik seperti gambaran diatas. Mungkin perlu mencermati kasus mengapa pemerintah Jepang berani mengenakan tariff yang begitu tinggi terhadap impor beras ke Jepang, ini tidak luput dari desakan masyarakat petani Jepang yang dikomandani kelembagaan Koperasi Pedesaan disana.

Alternatif Solusi Pemberdayaan Koperasi Pedesaan
Berangkat dari point diatas maka pertanyaannya adalah bagaimana memperbesar peran  institusi pedesaan di masyarakat petani?  Bagaimana pendekatan alternatif yang memungkinkan? Jika kembali ke kasus diatas, maka hendaknya petani haruslah sadar bahwa reposisi atas kelembagaan pedesaan jauh lebih penting dan menjadi sebuah keharusan. Tidak dapat hanya bertahan dalam  perang melawan gempuran arus global dengan aksi individu. Mencermati pertanyaan tersebut maka menurut penulis minimal ada 3 hal yang perlu mendapat pembenahan, yaitu sebagai berikut:

Pertama, mengenalkan pendekatan sistemik dalam institusi pedesaan yang dalam hal ini Koperasi Pedesaan (KUD). Selama ini logika teori ekonomi yang digunakan adalah konsep insentif dalam pengambilan kebijakan. Dalam konsep intensif ini ada  insentif positif (reward)  dan insentif negatif (disincentive/penalty). Disini peran manusia sebagai pelaku kegiatan ekonomi sangat dominan. Konsekuensinya adalah adanya impact dan incident dari apa yang dilakukannya. Sayangnya kebijakan ekonomi yang bertumpu dalam konsep ini sering menimbulkan kegagalan karena sering kali menciptakan kebijakan kosmetik semata atau praktek-praktek rent seeking. Dan hal ini juga tidak jauh dari kenyataan kebijakan pembangunan pertanian terutama dalam sektor kelembagaan pedesaan, dimana masih saja bertumpu pada konsep insentif secara kurang tepat. Mekanisme pasar yang dianut oleh perekonomian kita tidak menafikkan berlakunya sistem harga sebagai refleksi dari insentif material yang berlaku. Disini harga berfungsi sebagai signal yang mecerminkan insentif atau disinsentif untuk melakukan sesuatu. Dengan begitu reaksi pelaku ekonomi terhadap harga adalah sangat sensitif. Ada biaya (cost) dan ada keuntungan (benefit). Harmoni yang dikembangkan dalam pendekatan sistemik ini adalah peran pelaku ekonomi dalam mewujudkan ekonomi yang getting the price right and consistent with the overall sustainability objectives.  Untuk itu dalam pendekatan sistemik ini maka merealisasi 4 preposisinya menjadi keharusan yaitu:  get the price right, get the regulation right, get the institution right dan get the law and its enforcement right. Dengan keempat unsur dalam pendekatan sistemik diatas akan terwujud suatu keserasian penggunaan sumber daya ekonomi masyarakat dan mekanisme ekonomi yang berlaku.

Kedua,  posisikan peran pemerintah sebagai pendamping petani melalui insititusi Koperasi Pedesaan. Sebuah institusi pedesaan seperti Koperasi sangat sensitif terhadap perubahan. Manejemen organisasi yang lemah mengharuskan penanganan yang cukup serius. Disini peran pemerintah haruslah jelas dan tepat. Perintah harus memposisikan diri sebagai side guider (pendamping) ketimbang melakukan intervensi melalui kebijakan yang top-down. Hindari kebijakan-kebijakan yang bertendensi pemaksaan. Peran pemerintah dalam hal ini, haruslah open choices (pilihan terbuka) bagi koperasi pedesaan.

Ketiga, bangun struktur dan sistem networking pada Koperasi Pedesaan. Selama ini dimaknai bahwa proses networking adalah proses kemitraan yang hanya sekedar dilakukan dengan sistem bapak-angkat dimana yang besar memberi yang kecil. Padahal networking adalah berusaha membuat bangunan kerjasama kelembagaan yang saling memberi manfaat dikedua belah pihak. Networking ini tidak saja antara kelembagaan yang pedesaan semata tapi juga pada kelembagaan yang terkait baik secara horizontal maupun vertikal.

Akhirnya, jika pada awal tahun 1980-an, pemerintah telah all out mengembangkan sektor industri dan perbankan yang mampu memobilisasi dana cukup signifikan untuk pembangunan nasional. Maka kini saatnya semangat serupa seharusnya juga dilakukan untuk sektor pertanian minimal melalui institusi pedesaan semisal Koperasi. Hanya melalui transparansi reformasi kebijakan pemerintah yang melibatkan partisipasi masyarakat maka implementasi kebijakan tersebut akan dapat diterima semua pihak, termasuk si lemah petani dan koperasinya. Semoga.

Marburg, 9 Juli 2001

Artikel telah dimuat harian Radar Jember- Jawa Pos, Jumat 12 Juli 2002

 

Koperasi: Antara Sanjungan dan Keterpurukan

oleh: Adhitya Wardhono
- Artikel telah dimuat pada Radar Jember Jawa Pos 6 Desember 2001-
 

Ada kabar yang cukup kontras dari  berita Radar Jember JP kamis 22/11/2001. Pertama, diberitakan bahwa tindakan tegas dilakukan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Diskop dan UKM) Kabupaten Jember. Beberapa koperasi yang dinilai tidak aktif dan hanya tinggal nama dibubarkan. Sampai saat ini, tercatat ada sepuluh koperasi yang dibubarkan. Selain itu, diskop juga telah memberi peringatan kepada 29 koperasi. Sebab, ada indikasi koperasi-koperasi itu sudah tidak aktif lagi. Bila peringatan itu tak diindahkan, tak menutup kemungkinan koperasi itu juga akan ditutup. Kedua,  H Moh. Niti Soeroso, ketua ketua Dewan Koperasi Indonesia Daerah (Dekopinda) Jember Niti mendapat penghargaan Bakti Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang diberikan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI. Penghargaan tersebut diberikan atas keberhasilan Niti Soeroto dalam membina dan mengembangkan koperasi dan usaha kecil menengah di Jember. Membaca berita tersebut, saya tidak kuasa untuk membiarkan begitu saja informasi itu lepas. Tulisan ini mencoba mengapresiasi dua berita tersebut. Terlebih sekarang saya berada di ‘gudangnya’ pakar koperasi dunia di Philipps Universität Marburg- Jerman, dimana sedang ‘ngangsu kaweruh’ dalam bidang Koperasi.

Mari kita kembali ke sejarah Perkoperasian Indonesia. Jelas bahwa faktor sejarah sangatlah tidak menguntungkan bagi tumbuh kembangnya Koperasi dewasa ini. Mengapa? Koperasi dalam konteks pergerakannya di Indonesia mengalami fase yang tidak stabil dan tidak kontinue, mulai dari koperasi menjadi alat partai sampai koperasi menjadi alat pemerintah. Kondisi inilah yang mempersulit gerakan koperasi di Indonesia. Yang menarik adalah di era Orde Baru koperasi mengalami fase pertumbuhan yang cukup mengembirakan dari sisi kuantitas tapi mengapa tidak bisa menjadi pilar ekonomi nasional. Pertanyaan berikutnya relevankah untuk kembali ke Koperasi yang sekian lama hanya menjadi ‘pajangan’ saja.

Sejenak melihat statistik perkoperasian dunia, menurut ILO dalam Report V(1): Promotion of Cooperatives (2001) dewasa ini koperasi diyakini memberikan sumbangan yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. PBB mengestimasian bahwa 3 milyar orang bermata pencaharian atau separuh populasi dunia dari bangun usaha Koperasi. Paling tidak 800 juta individu menjadi anggota koperasi saat ini, jika dibandingkan dengan tahun 1960 yang hanya 184 juta. Dalam tataran makro ekonomi, Koperasi secara signifikan  memberikan market share yang memadai. Misalnya di Burkina Faso, Koperasi Produk Pertanian merupakan penghasil terbanyak untuk pasok buah-buahan dan sayuran dipasaran nasional dan di Cote d’Ivory, koperasi bertanggung jawab terhadap 77 persen produksi Cotton. Di Uruguay koperasi memproduksi 90 persen produk national susu dan mengekspor 70 persen surplus produksi terigunya. Bahkan di Amerika Serikat pada tahun 1998, 33 persen di sediakan oleh koperasi dan Koperasi Listrik Pedesaan memberikan kontribusi lebih dari setenggah pasok aliran listrik dan menyediakan kekuatan listrik untuk 25 juta orang di 46 negara bagian. Di Denmark, koperasi memberikan kontribusi 94 persen produk susu untuk pasaran nasional. Folksam, sebuah koperasi asuransi di Swedia telah menggelola 48,9 persen pasar asuransi perumahan dan 50 persen untuk asuransi jiwa dan kecelakaan. Suatu angka yang tidak bisa dibilang remeh untuk ukuran Koperasi yang kelihatan sepele. Negara tetangga kita, Philipina bahkan mengakui 16 persen dari GDP –nya merupakan sumbangan koperasi.  Bagaimana dengan statistik kinerja Koperasi Indonesia? Rekan saya  memberi saran: ngak  usah dimasukkan dalam artikel inilah, malu, katanya.  Mungkin ada benarnya juga rekan saya tersebut, dari pada malah menjadi beban.

Kembali ke pertanyaan diatas, tidak mudah  untuk menjawab sejauh mana mendesaknya dan relevan tidaknya koperasi di Indonesia menghadapi kenyataan stagnan-nya ekonomi Indonesia. Secara ideologi, koperasi di Indonesia mendapat jaminan dari UUD 45, dimana dalam pasal 33 dinyatakan bahwa koperasi adalah pilar ekonomi. Namun demikian dalam kenyataanya sangat jauh dari itu. Koperasi tidak dapat berkembang dan sampai saat ini belum dapat menjadi pilar ekonomi nasional. Berangkat dari logika ideologi ini, sepertinya perlu dipertanyakan mengapa koperasi tidak dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia. Apanya yang salah. Jangan-jangan lingkungan Indonesia memang tidak memungkinkan untuk berkembang. Bukankah UUD 45 dibuat dengan penuh ketergesaan dan mungkin dipaksakan koperasi yang produk impor itu masuk dalam konstitusi kita. Atau mungkin saking baiknya orang Indonesia yang gampang menerima ‘barang-barang impor’, sehingga apa saja diterima dengan senang hati, dan begitu ada yang lebih menguntungkan secara pribadi yang lama cepat-cepat ditinggalan. Moga-moga saja dugaan saya ini salah adanya.

Problemnya adalah Pendidikan
Sudah lama kepercayaan manusia Indonesia terhadap eksistensi koperasi semakin menyurut, apalagi pendidikan koperasi sangat jauh dari sempurna. Jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang sudah dulu maju dengan bangun usaha ini, kita sangat jauh tertinggal. Di negara Swedia, pendidikan Koperasi dikenalkan pada generasi dini dalam bentuk buku bacaan semacam Komik, sehingga terlihat santai dan ringan tapi lebih mengena pada visi dan misi yang ingin disampaikan. Pengajaran pendidikan Koperasi oleh jajaran Depdiknas di tingkat dasar dan menengah menjadi ‘barang’ yang membosankan dengan penuh hapalan dan monoton. Tetapi berkat pendidikan yang memadai pula Koperasi di Eropa khususnya mampu menyaingi Private Corporate, lihat saja DG Bank AG di Jerman yang merupakan bank koperasi terbesar. Jika anda berkesempatan belanja  ke jaringan supermarket REWE atau EDEKA di Jerman mungkin Anda tidak akan mengira bahwa bangun usaha supermarket tersebut adalah  Koperasi. Contoh lain, jika Anda berbelanja di jaringan supermarket LiDL, Tegut atau Aldi di Jerman pula, Anda akan melihat banyak barang yang dijual di super market itu dipasok dari Koperasi Sayur dan Buah-buahan. Konsumen akan tidak mengetahui kalau bangun usaha itu koperasi karena di depan super market itu memang tidak terpampang tulisan: Toko Koperasi Serba Usaha: -Segalanya ‘Aya’ - seperti jamaknya di Indonesia. Sama seperti jika kita masuk ke jaringan supermarket Matahari, Indomaret atau Hero di Indonesia, standar pelayanan dan kepuasan konsumen dinomer satukan.  Pendidikan Koperasi yang dilakukan oleh Departemen Koperasi terasa sangat kurang atau mungkin ajaran Koperasi sendiri yang diharuskan di campur dengan ‘spirit Indonesia’ malah menjadi kacau, tumpang tindih dan sarat muatan. Penulis yakin dengan pendidikan yang memadai akan terakumulasi pemahaman yang sebenarnya, sehingga lahir manusia koperasi dan manager yang mempunyai cooperative sense, macam pak Niti Soeroso diatas.

Profesor saya disini dengan lancar dan panjang lebar bercerita dalam kuliah ‘Genossenchaftslehre’ (Studi Ilmu Koperasi) tentang konsep Gotong Royong atau Arisan di Indonesia, dengan pengucapan kata bahasa Indonesia yang fasih, sebagai cikal bakal potensial gerakan Koperasi di Indonesia karena didalamnya terkandung esensi atau nilai demokrasi, self help, tanggung jawab keadilan dan kesetiakawanan.  Bahkan koperasi sendiri dikenal sebagai school of participation.  Dimana pergerakannya dalam pendekatan pembangunan sangat terbuka untuk membentuk kemitraan antara players dan stakeholder, seperti pemerintah daerah dan pemerintah pusat, donatur, LSM atau organisasi internasional. Dalam wacana konsepsi sepertinya Koperasi telah menemukan habitat yang tepat di Indonesia. Tetapi dalam implementasinya sangat jauh. Memang benar Koperasi berangkat dari persepsi demokrasi dan kebersamaan untuk memenuhi kebutuhan anggotanya dan masyarakat sekelilingnya dengan identitas yang dimiliki.  Namun sebagai suatu nilai sejauhmana mampu pertahan dalam keyakinan manusianya?. Hal ini yang masih terbuka untuk diperdebatkan.

Dari sisi manajeman, perbedaan mendasar Koperasi dan perusahaan swasta lebih pada sistemnya. Kalau Koperasi lebih menitikberatkan participative management system, sedangkan perusahaan swasta lebih condong pada eksploitative management system. Kondisi inilah yang terkadang dalam prakteknya saling campur aduk dan sulit dipisahkan. Padahal jelas-jelas bahwa koperasi mempunyai jati diri yang berbeda dengan badan usaha lain. Bung Hatta yakin bahwa koperasi kuat karena cita-cita yang diembannya dan akan menjadi kuat karena prakteknya. Namun kenyataanya malah anomalis dan  terkadang membinggungkan dalam penerapannya. Ibnu Sujono (2000) mengemukan bahwa koperasi Indonesia sering menjadi olokan banyak negara di forum internasional sebagai “corporative”  yaitu gabungan antara korporasi dan koperasi

Mengembangkan embrional Koperasi
Satu informasi yang cukup memprihatikan dari rekan saya yang kebetulan bergerak di bidang perkoperasian dan sedang studi Doktoran bidang Koperasi di sini, katanya ada cerita yang cukup menarik bahwa pernah ada (dulu), beberapa kepala kantor wilayah (setingkat propinsi) yang harus lengser dari kursinya, karena target KUD Mandiri-nya terlalu kecil.  Bahkan ada kepala kantor departemen koperasi (setingkat kabupaten) di Sumatera yang gantung diri gara-gara didesak memandirikan KUD-KUD di wilayah kerjanya (mudah-mudahan alasan sebenarnya  gantung diri bukan karena KUD Mandiri).

Lebih jauh, saya setuju dengan pendapatnya bahwa kita memang terlalu konservatif dengan performance koperasi di Indonesia.  Kalau ada hal dari koperasi yang menurun, orang-orang di departemen koperasi sepertinya kebakaran jenggot. Pengembangan bentuk-bentuk pooling resources yang sudah ada di Indonesia, seperti gotong royong, tudang sipulung, subak, arisan, dsb. sudah harus digalakkan lagi. Terlebih seiring dengan gema otonomi daerah.  Bentuk-bentuk lokal inilah yang harus dilembagakan, dengan catatan tidak kaku dan tidak perlu seragam-seragaman, tapi case by case.  Lembaga-lembaga lokal ini tidak perlu di-koperasi-koperasi-kan segala, tapi disupport dan difasilitasi oleh pemerintah sehingga mereka bisa juga mempunyai akses ke bank, bahkan ke pasar modal. Why not? Departemen koperasi tidak perlu bubar, karena mereka mempunyai tugas baru membina lembaga-lembaga pooling resources lokal.

Mungkin kita perlu merenungkan pepatah Jerman berikut ini: “Wer den Pfennig nicht ehrt, ist des Talers nicht wert”. Kalau penulis terjemahkan bebas kira-kira berbunyi, „Jika tidak bisa menghargai satu Pfennig (pecahan 0,01 DM),  jangan berharap dapat lebih“. Dalam konteks Koperasi, jika tidak mampu menghargai badan usaha Koperasi yang remeh ini jangan harap bisa menggelola perusahaan-perusahaan multi nasional (MNC= Multi National Corporations). Lebih-lebih menghadapi era globalisasi, dimana tersirat erat polah tingkah MNC sebagai bangun usaha kapitalistik yang mencengkram kuat dan berperan besar dalam perputaran perdagangan dan  investasi global.
Marburg, den 22.11.2001

 

Ada apa dengan €uro?
oleh: Adhitya Wardhono

(terkirim ke media Investasi dan Pasar Modal PROSPEKTIF 20 Juni 2002)
 

Jika pecinta film Indonesia bulan-bulan terakhir ini diharu biru dengan film garapan ‘Ada apa dengan Cinta?’ Namun satu hal yang menarik  bagi masyarakat Jerman paling tidak dua minggu ini adalah disibukkan berondongan email berantai, entah dari siapa awalnya, yang diposting dengan judul Euro ist Teuro. (-red. Euro adalah Teuro;  teur = mahal) atau Euro-Boykott am 1. Juli 02. Satu fenomena betapa tancapan Euro dalam kurang lebih enam bulan ini membuat kelimpungan masyarakat Jerman. Nilai Euro yang menjadi sebab musabab berkurangnya daya beli mereka. Dari posting email yang banyak diforward tersebut mangambil contoh harga Es cream (Kugel Eis) yang sewaktu masih menggunakan DM (Deutsch Mark) hanya berharga 1,2 DM, namun sekarang dijual hampir  € 1 (kurang lebih 1,9553 DM). 

Menyimak illustrasi diatas maka sepertinya banyak hal yang patut mendapat perhatian dari kehebatan Euro yang seakan tanpa membawa ‘korban’. Beberapa catatan perjalanan Euro menuju enam bulan menarik untuk dicermati. Minimal mencari jawaban atas pertanyaan:  ada apa dengan Euro? 

Euro ist  (kein) Teuro: ujian bagi Euro?
Seperti yang diprediksi oleh banyak pengamat bahwa Euro sebagai produk uni moneter dari  12 negara Eropa, dengan sendirinya kehadirannya mempunyai beberapa implikasi logis terhadap tumbuh kembangnya pasar uang dunia maupun pasar uang lokal.  Namun sayang kehadiran Euro yang diharapkan menjadi ‚pesaing’ $ US yang masih menjadi ‘the currency of anchor’ dunia masih terus mengalami ujian di dalam euro zone, minimal kegelisahan masyarakat Jerman mewakili perkembangan euro selanjutnya.  

Fenomena mahalnya barang disebabkan oleh mata uang baru Euro ini menjadi headline majalah terkemuka Jerman ‘Der Speigel’ edisi Mei 2002 dengan tajuk ‘Drastischer Preisanstieg bei Alltagsgütern’. Bahkan ada dalam edisi Spigel-TV juga menyajikan judul ‘Volksaufstand gegen den Euro’ yang menggambarkan satu spot clip bagaimana harga karcis parkir naik 56%.  Namun demikian Kantor Statistik Federasi Jerman  (Statistische Bundesamt) menyangkal bahwa kenaikkan barang-barang disebabkan oleh mata uang baru. Kenaikkan pada sayur mayur dan buah-buahan terjadi karena jeleknya musim sehingga mempengaruhi produk pertanian dan juga kenaikkan pajak terutama produk rokok menjadi biang keladi itu semua. Selain Der Spigel,  tabloid kuning ‘Bild’ juga turut membuat heboh dengan menjaring opini publik dengan melakukan investigasi yang dilakukan oleh ‘Teuro Sheriff’. Investigasi yang dilakukan per telepon dengan serius ini memberi kesimpulan akhir bahwa memang setelah menggunakan Euro terasa barang menjadi mahal. 

Sepertinya disamping faktor objektif diatas, kemungkinan lain adalah faktor psikologis masyarakat dari pergantian uang itu sendiri. Hal ini sangat beralasan mengingkat nominalisasi mata uang telah berubah, padahal banyak masyarakat yang masih berpikir dengan standar mata uang lama Mark (red: DM). Begitu artikel/stiekers harga barang dirubah menjadi Euro secara psikologis mempengaruh preferensi masyarakat dalam bertransaksi. Secara gampangnya mereka akan mengalikan dengan dua. Disamping itu, tidak sedikit toko-toko yang memanfaatkan ketidakcermatan konsumen dengan hanya menganti label DM menjadi € tanpa koreksi harganya. Meskipun masih ada satu barang yang hingga akhir bulan ini yang masih berartikel DM meskipun harus juga dibayar dengan Euro yaitu Perangko. Perangko yang bertuliskan satuan DM masih berlaku hingga 31 Juni 2002. 

Wacana yang masih sering mengemuka di masyarakat adalah seringnya membandingkan mata uang Deutsch Mark (atau biasa disebuat Mark) dengan Euro. Secara historis Mark mempunyai ikatan psikologis yang tidak dapat dilupakan begitu saja. Mark sering dipersamakan dengan "Wirtschaftswunder" (Keajaiban Ekonomi) Jerman setelah perang dunia ke II. Selain itu menjadi Saksi dan Simbol Persatuan bagi bersatunya Jerman Timur dan Jerman Barat 1989. Juga gambar-gambar yang  terdapat di mata uang Mark yang mengambil bangunan kota Goetinggen dimana menjadi kebanggaan masyarakat setempat tidak lagi dapat dilihat. 

Akan tetapi dibalik wajah muram Euro masih menyimpan wajah positif yaitu masyarakat tidak kebinggungan untuk menukar uang kalau bepergian ke sesama pengguna Euro atau dikenal dengan istilah euro zone (12 negara pengguna  Euro).
 

Misteri Inflasi
Bagaimanapun masyarakat merasakan kenaikkan harga terutama disektor retail/makanan dan jasa. Sayangnya pihak pemerintah sangat lambat dalam merespon keberatan masyarakat atas turunnya daya beli mereka karena mata uang baru Euro. Hal ini bisa dimaklumi karena protes masyarakat itu tidak tercermin dari bergejolaknya angka inflasi. Inflasi masih termanage pada angka 1,2 % pada bulan Mei bahkan merupakan angka inflasi terendah sejak tiga tahun terakhir. Inflasi yang dihitung berdasarkan 750 items barang dan jasa itu menunjukkan arah yang menurun secara signifikan versi pemerintah,  menjadi semakin memperuncing permasalah masyarakat dan pemerintah. Seperti sebuah misteri inflasi. 

Berkaitan dengan misteri inflasi ini adalah  krisis di bisnis retail yang menjadi  sorotan tajam oleh masyarakat. Sampai-sampai Menteri Consumer Affairs Renate Kuenast menyerukan untuk kembali ke harga yang fair (a return to fair prices)  kepada pebisnis retail dan trade groups.  Namun demikian Carel Mohn dari the Federal Consumers Association dengan lantang menyalahkan kebijakan pemerintah yang menerapkan  "hands-off" approach sebagai biang keladi kenaikkan harga retail di Jerman. Memang masih sulit membuktikan antara kenyataan dilapangan dengan hitungan diatas kertas.

Namun satu sinyalemen yang kurang diulas adalah bahwa ‘bantalan’ kehidupan ekonomi kapitalis yang biasa terukur dalam sektor-sektor/institusi-institusi formal (ekonomi skala besar) dan mengabaikan ekonomi kecil menjadi andil kemungkinan terjadinya misteri inflasi ini. Selain faktor psikologis konsumen atau moral hazard yang dilakukan pedagang dan produsen bisa jadi fluktuasi harga disebabkan oleh aktivitas pasar bawah tanah yang tidak temasuk dalam items basket inflasi. Pasar bawah tanah katakanlah seperti ‘Floh Markt’ (secondhand market = pasar rombengan) yang di Jerman sangat populer dan mempunyai omset cukup besar tidak masuk hitungan. Konsumen merasakan para pedagang mematok harga yang jauh lebih tinggi dari pada sewaktu mata uang Mark pada pasar yang hidup sabtu-minggu ini. Memang mungkin sangat naif menghubungan pasar-pasar bawah tanah dengan fenomena ‘euro ist teuro’, namun dalam ekonomi apapun mungkin menjadi pemicu. 

Lebih jauh dapat dicermati bahwa informasi pemerintah masih bertentangan dengan apa yang dirasakan masyarakat. Naiknya harga karena mata uang baru ditakutkan akan menurunkan iklim persaingan dan usaha. Jika kondisi ini terjadi maka akan lebih memperberat pemulihan krisis ekonomi yang melanda Jerman. Banyak pengamat ekonomi memprediksikan pertumbuhan ekonomi tertekan dengan perilaku konsumen yang enggan untuk menabung. Otak-atiknya masih berkisar pada  kinerja ekspor dan investasi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Artinya krisis ekonomi akan masih lama tinggal di Jerman.

Pekerjaan Rumah yang tersisa
Terkait dengan keresahan masyarakat Jerman ini maka menyimak kembali urgensi integrasi Eropa menjadi semakin perlu. Secara historis integrasi Eropa memang diyakini menjadi sesuatu yang penting dan sekaligus dianggap sebagai proyek yang ambisius. Namun dengan masih melemahknya daya beli masyarakat dengan mengambing hitamkan kenaikkan harga  karena Euro menjadi agenda yang tersisa dari perjalanan European Monetary Union (EMU) cq. The European Central Bank  (ECB). Tidak salah kalau masyarakat umum masih memiliki banyak pertanyaan. Benarkah EMU dengan euro mampu menjadi  ‘price stability’ seperti yang dimandatkan Maastricht Treaty. Benarkah euro akan mampu menjadi ‘eliminating exchange rate instability’ dikawasan eurozone. Bisakah Euro menjadi senjata untuk ‘short and long term interest rates’,  karena dengan ini juga diyakini dapat meredam liarnya inflasi dan resiko devaluasi dengan sensitivitas tinggi. Mau tidak mau pertanyaan diatas menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi ECB yang berdiri megah di tengah  kota Frankfurt. Bagaimana perjalanan Euro selanjutnya? Mari kita sama-sama menunggu €uro berbisik.

Marburg 20 Juni 2002

 

Darimana Memulai Jatim Inc.?

oleh: Adhitya Wardhono

( Artikel terkirim ke harian Surya, 11 Maret 2002 )

        Darimana Memulai Jatim Inc.? Judul ini secara tidak langsung mengamini satu judul artikel bung Suharno pada harian Surya (5/3/2002) yang berjudul Perlukan Jatim Incorporated di wujudkan?  Seperti yang urai dalam  artikel tersebut bahwa istilah ini muncul dan menjadi perdebatan publik Jatim. Wacana ini digulirkan oleh Kepala Dinas Perindag Jawa Timur baru-baru ini, mengingat performasi perdagangan Jatim yang kurang mengembirakan tahun lalu. Secara sederhana terminologi,  Jatim Incorporated adalah satu upaya untuk menciptakan kestabilan ekonomi dengan cara memacu potensi sumber daya ekonomi sedemikian rupa yang dilakukan secara berkesimbungan dan terintegrasi antara elemen dan lembaga terkait secara optimal. Dari istilah tersebut sepertinya rumit, melelahkan  dan bahkan mustahil dilaksanakan. Tapi jika ide mengetengahkan Jatim Inc. memang benar diarahkan dalam rangka menjadi strategies for competitiveness maka dapat dipandang sebagai satu ide yang cukup jitu ditengah tidak berdayanya sektor investasi dan perdagangan nasional sekarang ini.
        Melihat kondisi ini biasanya diperlukan suatu analisis pada tataran perspektif komprehensif. Yaitu bahwasannya harus multi dimensi dan sektoral-institusional dengan mengerahkan segenap potensi yang ada, tidak saja Dinas Perindag tapi juga pihak-pihak terkait lainnya. Dan bahkan kalau perlu harus diinisiasikan secara langsung oleh pejabat berwenang ke masyarakat dengan intensif terarah dan terintegrasi.  Namun demikian tulisan ini hanya mencoba menjawab satu pertanyaan yaitu dari mana kita harus membangun Jatim Inc.? Satu pertanyaan yang agaknya memberikan jawaban yang cukup beragam, tergantung dimana kita berdiri melihatnya. Dan benar apa kata bung Suharno bahwa memang banyak pertanyaan yang notabenenya pekerjaan rumah Jatim yang harus diurai satu persatu. Dalam kesempatan ini penulis mencoba hanya melihat dari perpektif parsial dengan  detail yang sederhana saja, yaitu mempersiapkan Jatim Inc. dari mencermati ulang kinerja sektor industri terutama sektor Industri Kecil-Menengah (IKM). Alasannya  cukup sederhana, bahwa sinergy pada Industri Kecil Menengah akan memiliki daya dukung yang luar biasa dalam sektor perdagangan antar bangsa dalam rangka mempersiapkan Jatim Inc. ***         Tatkala kita melihat mobil mewah Mercy, dalam dalam benak kita adalah produk tehnologi otomotif Jerman yang super canggih yang dibangun dengan akurasi luar biasa yang hanya dipunyai oleh orang-orang kaya Indonesia saja, meskipun di Jerman hanya menjadi taksi belaka. Mobil-mobil tersebut pastilah dibangun dalam pabrik yang begitu spektakuler dengan daya dukung ahli-ahli yang luar biasa hebat, tenaga kerja dengan skill tinggi, dukungan modal yang kuat dan sebagainya. Imajinasi itu tentunya tidak salah. Namun demikian sesungguhan ada satu hal yang kurang kita pahami, bahwasannya perusahan Mercy di Jerman dapat berkembang sedemikian pesat karena dukungan industri kecil-menengah yang tangguh. Komponen-komponen mobil Mercy adalah hasil produk industri kecil dan menengah di Jerman. Ada tradisi link and match yang kuat antara industri kecil dan besar yang dibangun dalam industri otomotif.  Sesuatu yang mungkin tidak kita bayangkan. Satu contoh lagi adalah negara Jepang yang merupakan simbol sukses negara Asia dalam peradaban ekonomi industri melalui pembangunan program Karietsunya ternyata di back up oleh industri kecil menengah yang tangguh juga.
         Jatim Inc. memang dapat ditafsirkan dalam banyak dimensi dan aspek. Meski demikian contoh diatas bisa menjadi satu pandangan awal, bahwasannya menciptakan kondisi ideal dan berkelanjutan adalah dari menekuni hal yang kecil. Entah nantinya rencana Jatim Inc. akan ditindaklanjuti dalam format organisasi atau tidak itu urusan kedua, yang pasti ide tersebut dimaksudkan untuk mendongkrak kinerja ekspor dagang jadi tidak dapat lepas dari sektor sebelumnya misalnya mempersiapkan sektor industri. Baik yang padat kapital atau padat kerja, berbasis agro industri atau tidak. Disamping juga harus menyiapkan pranata-pranata terkait lainnya.
        Biasanya yang menjadi hambatan klasik bagi munculnya industri kecil yang tangguh adalah sektor permodalan. Modal dalam industri kecil ibarat ‘darah’  yang senantiasa mengalir dan menjaga kehidupan tubuh manusia. Meskipun pada waktu sekarang sulit untuk mengukur kategori modal bagi industri kecil di Indonesia. Disamping juga faktor lemahnya manajerial serta belum kuatnya jaringan di tingkat bawah. Lebih tepatnya industri kecil sering mengalami kesulitan dalam meningkatkan efisiensi usaha dan kesulitan dalam memperbaiki hasil produk.  Kenyataannya  adalah kebijakan memberdayakan industri kecil melalui sektor permodalan atau manajeman operasional perusahaan malah banyak ditangkap oleh industri besar, sehingga industri kecil selalu keteter terus.
        Ditengah keteter tersebut sebenarnya industri kecil mempunyai banyak kelebihan dibanding dengan industri besar. Hal ini terbukti bertahannya industri kecil dalam libasan krisis ekonomi. Secara teoritis dan juga terbukti dilapangan ternyata industri kecil mempunyai banyak keunggulan dibanding dengan industri besar seperti:  mampu untuk keluar masuk pasar menyesuaikan kondisi pasar. Disamping itu secara manajemen operasional memiliki biaya overhead yang lebih kecil. Serta  fleksibilitas industri kecil dalam mengatisipasai perubahan lingkungan  pasar. Selain itu industri kecil memiliki linkages yang sangat erat dengan dinamika sektor riil. Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, maka menjadi tidak mengherankan apabila industri kecil dan menengah yang berorientasi ekspor sangat diharapkan menjadi salah satu tulang punggung ketahanan ekonomi daerah. ***Menata Ulang Lingkungan Kondusif Industri Kecil-Menengah. Mungkin itu hal yang paling urgent  dalam rangka Jatim Inc., karena dengan menata ulang kinerja industri kecil-menengah tidak saja diperoleh data baru potensi industri yang ada,  namun lebih dari itu adalah satu proses membangun budaya industrialisasi secara benar. Sebenarnya Jawa Timur  sudah mempunyai potensi budaya industri kuat jika kita melihat kota Surabaya dengan banyaknya sentra industri berat juga kota-kota kabupaten lainnya di Jatim dengan industri kecil yang tidak kalah potensial.
        Dalam menumbuhkan budaya industri tersebut industri kecil-menengah tidak dapat berdiri sendiri, dukungan lingkungan politik sangat diperlukan. Dalam hal ini adalah dukungan pemerintah khususnya pemerintah daerah menjadi sangat mendesak untuk diformatkan, apalagi dalam menarik investor. Pemerintah daerah harus mampu untuk merumuskan dan membenahi kebijakan yang mantap, dan menghindari kebijakan daerah tentang industri kecil yang  maju mundur dan tumpang tindih. Disini juga harus jelas peta potensi Jawa Timur dalam sektor perdagangan dan industri, sehingga dapat dibuat strategi rasional kedepan misalnya mencoba bermain pada ceruk pasar yang spesifik (market nicher). Pemerintah daerah dan instansi terkait harus mampu menginventarisir permasalahan yang dihadapi sektor industri kecil menengah dengan mengubah pendekatan yang selama ini terkesan dari atas ke bawah (top down) menjadi pendekatan yang lebih bersifat interaktif, dialogis dan hadap masalah.
Pemerintah daerah harus mampu meyakinkan investor tentang aspek keamanan dan stabiltas daerah. Setiap investor pasti memerlukan kepastian penegakan hukum yang menyangkut jelasnya hak dan kewajiban ditambah dengan kondisi perburuhan yang tidak memburuk. Logika bisnis dan investasi adalah tidak mungkin orang membuat kalkulasi bisnis kalau kebijakannya tidak mantap.  Meskipun euforia otonomi daerah bisa kontra produktif di level pemerintah daerah lapisan bawah yang ingin jalan sendiri.hal ini juga perlu mendapat cacatan tersendiri.
        Optimalisasi Jaringan Informasi Perindag dan pemanfaatan jaringan Tehnologi Informasi. Dalam keadaan seperti sekarang mendesak adanya jaringan informasi yang jelas. Pemerintah daerah harus menyakinkan para pelaku bisnis kecil daerah pentingnya jaringan infomasi untuk membangun industri kecil yang tangguh. Selain itu, perkuat forum kerjasama antara industri kecil juga harus secara proaktif difasilitasi oleh pemerintah daerah, sehingga diharapkan terjadi bussiness matching antar pengusaha kecil.  Dengan forum ini juga diharapkan terpikirkan standar lokal untuk kepentingan ekspor. Dalam suatu kesempatan penulis pernah mendapat cerita dari salah satu profesor di Jerman yang mengeluh bahwa kontak person pada banyak industri kecil dan menengah tidak berjalan. Satu email yang dilayang untuk tujuan bisnis tidak mendapat jawaban dari rekanan dagang di Indonesia dalam 2 x 24 jam dan baru mendapat jawaban dalam 2 minggu berikutnya, dengan alasan yang tidak rasional untuk ukuran orang barat. Kondisi ini tentunya sangat disayangkan.
        Untuk menjadi kompetitif dan dapat menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan, industri kecil dan menengah haruslah segera meng-upgrade kemampuannya, terutama mengambil keuntungan dari perkembangan tehnologi informasi (internet, on-line marketing) dan membuka alliasi strategi. Setelah kondisi ini tercapai langkah selanjutnya adalah promosi. Namun perlu diingat bahwa pemerintah daerah harus tampil simpatik tidak saja pada investor yang akan masuk, tetapi juga pada pebisnis daerah dengan menunjukkan komitmennya sampai tahap operasionalisasi investasi dan industri tersebut berlangsung di daerah.
        Satu hal yang juga disiapkan dalam menghadapi perdagangan bebas adalah  hak paten merk (HaKI). Hal ini akan meminimalisasi pembajakan atas barang produk yang dilakukan oleh pengusaha baik asing maupun dalan negeri, mengingat HaKI telah melindungi produk dengan kekuatan Undang-undang dan hukum yang berlaku. Juga urgen adalah melek kondisi perdagangan dunia dengan mencermati dinamika proteksi perdagangan yang berlaku. Proteksi perdagangan juga harus menjadi perhatian serius dalam mengembangkan Jatim Inc. Hal ini mengingat satu tulisan Peter Drucker  (The Economist,11/2001) bertitel The Next Society mengentengahkan bahwa proteksi tidak saja dalam bentuk tradisional semisal tariff, tapi lebih pada dalam bentuk subsidi, kuota dan regulasi dengan segala bentuknya yang “tidak ramah” bagi produk negara berkembang seperti Indonesia. Dan tentunya regionalisasi perdagangan juga harus dicermati, mengingat kondisi ini memang memungkinkan perdagangan secara bebas secara internal, tetapi tidak demikian secara ekternal yang sudah terkotak-kotak dalam area perdagangan macam AFTA, NAFTA, APEC dll. yang membawa konsekuensi tidak mudahnya perdagangan antar negara.
        Etika Bisnis. Hal yang mendesak juga adalah membangun etika bisnis sehat dikalangan industri kecil-menengah. Bagaimana- pun semangat memajukan  industri kecil-menengah  yang diharapkan  bermunculan di daerah, kalau tidak diperkenalkan etika bisnis yang jelas akan sulit mengalami kemajuan yang pesat. Seperti halnya industri besar,  kendala industri kecilpun hampir serupa yaitu  persaingan antar sesama mereka sendiri yang tidak sehat. Ada indikasi bahwa dalam melakukan negosiasi dengan buyer asing saling banting harga dengan tidak memperhatikan kualitas. Industri kecil hadir tidak semata menghasilkan produk dan jasa, harus dihindari  paham free enterprise yang mengabaikan tanggung jawab sosial. Masalah hubungan pemilik industri, pengelola dan karyawan harus jelas. Kesejahteraan dan kesehatan serta keamanan karyawan perlu menjadi perhatian yang serius karena dalam industri kecil sulit memantau hal yang sebenarnya terjadi. Mencermati kondisi ini maka hanya dengan memperhatikan etika bisnis akan mucul industri kecil-menengah tangguh daerah.  Dalam hal ini dibutuhkan pepatah “good business require realiable ethics” . ***        Demikianlah satu pekerjaan rumah dalam menciptakan Jatim Inc., disamping banyak pekerjaan rumah lainnya yang tidak kalah penting. Jadi intinya Jatim Inc adalah networking dari segala elemen yang ada baik software maupun hardwarenya untuk mewujudkan satu tujuan. Sekarang tugas kita adalah menyiapkan elemen-lemen tersebut minimal tidak gagap dalam proses networking nantinya. Namun demikian, apakah benar Jatim Inc. sebagai strategies for competitiveness  perdagangan Jatim masa depan dengan membuka potensi industri kecil menengah yang ada? Wallahualam tapi yang pasti tomorrow is closer than you think begitu wanti-wanti Peter Drucker.

 

Mencari Relevansi Ekonomi Pancasila dan Ekonomi Kerakyatan
oleh: Adhitya Wardhono
 

Sebagai wacana ilmiah ekonomi Pancasila dan Ekonomi Kerakyatan belum kering dari pemikiran banyak ilmuwan sosial Indonesia terutama ekonom. Hal ini sangat beralasan seiring dengan keterpurukan ekonomi Indonesia, memperlukan diskusi lanjutan yang komprehensip mencari jalan keluar dari krisis multi dimensi ini. Tulisan saya berikut ini sebenarnya merupakan pemikiran-pemikiran spontan yang  muncul dalam e-diskusi pada mailing list  ICSCI yang sedang membahas mengenai Ekonomi Kerakyatan.

Ekonomi Pancasila-Ekonomi Kerakyatan: dimana relevansinya?
Debat Ekonomi Pancasila memiliki ‘waktu’ yang berbeda dengan Ekonomi Kerakyatan  meskipun ‘ruangnya’ sama yaitu Indonesia. Perbedaan yang mencolok menurut saya lebih pada kecenderungan bahwa jika konsepsi ekonomi Pancasila dicari ‘jati dirinya’ dan diberi ‘label’ sebagai upaya untuk melakukan ‘bargaining power’ dalam debat wacana peletakan sistem ekonomi Indonesia yang Pancasila tersebut yaitu antara dua sistem ekonomi dunia ektrem. Artinya pada saat itu berkembang dua kekuatan ekonomi yang besar yaitu ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis. Ekonomi Pancasila yang diperdebatkan dalam wacana ini lebih pada upaya ‘menyusun’ tiga aliran besar, kalau digambarkan kira-kira seperti segitiga, yang tiap ujung sudutnya adalah sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi sosialis dan sistem ekonomi Pancasila. (hal ini banyak terdapat dalam buku teks Ekonomi Indonesia untuk mahasiswa) Meskipun saya cenderung pada pemikiran bahwa sistem ekonomi yang dianut oleh negara adalah seperti pendulum yang dapat ke arah sistem kapitalis atau pada arah sistem sosialis. Yang dimana derajatnya tergantung pada sistem ekonomi yang dianut oleh negara masing-masing. Itu dulu sebelum sistem sosialis runtuh, sekarang konstelasi ekonomi, sosial dan politik sudah berubah. Dengan runtuhnya dominasi sistem sosial  (komunis) memunculkan   banyaknya Übergangländern (countries in transition) yang juga sedang mencari sistem ekonomi ideal bagi bangsanya.

Dalam wacana sistem ekonomi terkini, salah satu ekonom Jepang, Naniwada (1990) mengatakan, sekarang dunia telah terjadi pergeseran yaitu ekonomi pasar yang merupakan ciri dari sistem kapitalistik menuju sistem ekonomi sosialis. Sistem ekonomi sosialis menyesesuaikan diri terhadap perubahan dunia yang ada menuju sistem kapitalisme. Namun demikian sistem kapitalisme sendiri juga terjadi paradigma ke arah sistem sosialisme.  Allelonomy, begitu Naniwada menyebut (dari bahasa Yunani: allelon=saling tergantung; nomos=aturan), dimana pergeseran mainstream sistem ekonomi besar menuju satu arah yang mengakibatkan mix economic. Disinilah pranata pasar dan pemerintah saling berperan besar.
Dilain pihak berkembang pula dalam 3-4 tahun terakhir,  Ekonomi Kerakyatan yang dicari konsepnya oleh bangsa Indonesia menurut saya mirip/cenderung seperti upaya Keynes dahulu dalam mencari ‘resep pemulihan ekonomi’ dengan berdasarkan perubahan mendasar pada tataran praxis. Jelasnya karena krisis ekonomi dan bahkan multi dimensi yang tidak kunjung berhenti. Artinya ‘pemicu’ debat agak bebeda dengan dengan debat ekonomi Pancasila. Kondisi kini  adalah terlihat adanya dominasi ekonomi kapitalis/liberal, sebagai wacana tunggal dalam sistem ekonomi dan dipercepat oleh globalisasi ekonomi yang memperkokoh sistem ekonomi tsb: melalui menguritanya MNC (multi national company). Namun sebenarnya dalam kenyataannya ekonomi kapitalis juga mengalami penyesuaian-penyesuaian. Dalam tataran praxis, isyarat Naniwada tersebut dapat kita lihat, jika kita melihat secara komprehensif. Ekonomi tidak berdiri sendiri, ia selalu bersinggungan dengan wilayah non ekonomi, seperti perilaku masyarakat melalui banyak aspek Yang kita lihat sistem kapitalisme itu sendiri secara ‘sadar’ atau ‘tidak sadar’ mengadopsi elemen-elemen konstruktif dari paham yang dianut oleh sistem ekonomi sosialisme. Dan demikian pula sebaliknya, sehingga seperti ada konvergensi didalam gerakannya.
Sistem ekonomi yang dianut negara Federal Jerman adalah salah satu contoh  keberhasilan sinyalemen diatas. Jerman berhasil menerapkan ekonomi pasar sosial. Mirip apa yang ingin dicari oleh bangsa Indonesia dengan Ekonomi Pancasilanya (atau ekonomi kerakyatan kalo sekarang). Dengan begitu apa yang ingin diharap dari Ekonomi Pancasila sendiri, saya pikir tidak jauh dari ekonomi kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia dalam konsepsi seperti yang dijabarkan oleh Prof. Mubyarto tsb. Jargon ini tentunya sangat beralasan sepanjang demokrasi yang dibangun adalah demokrasi sosial Indonesia. Ekonomi Kerakyatan dengan Ekonomi Pancasila, ada persamaan yang tidak dapat di pisahkan. Argumentasi yang banyak muncul adalah bahwa Ekonomi Kerakyatan adalah berpijak pada Pancasila, sehingga hal inilah korelasinya tidak dapat dipisahkan Bahkan Prof. Mubyarto mengatakan Ekonomi Kerakayatan  adalah bagian dari Ekonomi Pancasila.
Melihat kecenderungan diatas maka sistem ekonomi yang cocok dianut oleh Indonesia adalah diarahkan pada paham ‘market socialism’,  yang terus berkembang dalam kerangka pengertian pasar sosial karena tuntutan jaman. Terlepas di Indonesia dilabeli Ekonomi Kerakyatan, atau Ekonomi Pancasila, itu tidak menjadi masalah (memang banyak orang akan menjadi masalah?). Menurut saya sekedar memberi justifikasi bahwa sistem ekonomi yang dianut Indonesia lebih pada memperhatikan perilaku sosial ekonomi manusia Indonesia dalam menerjemahkan pengelolaan sumber daya ekonomi yang ada dengan pemenuhan kebutuhannya. Tentunya, hal ini terkait banyak, ini tidak saja hanya memperhatikan ekonomi sebagai ‘ilmu’ yang mengatur pemenuhan kebutuhan manusia dalam usahanya memenuhi kebutuhan ekonomi dalam konteks sempit didalam negeri saja, tetapi justru harus mampu menciptakan welfare state yang juga mengindahkan dinamika ekonomi dunia yang sedang terjadi.

Ekonomi Kerakyatan menurut saya lebih pada semangat dan kesadaran atas keadaan yang sedang terjadi. Kata ‘rakyat ‘ merupakan representasi konsepsi politis, sehingga ‘benar’ kecenderungan diarahkan pada rakyat kebanyakan (common people). Atau mungkin lebih jelasnya bukan penduduk yang masuk wilayah administratif. Dengan begitu yang ingin ‘diraih’ adalah rakyat menjadi subyek kegiatan ekonomi, melalui apa yang disebut kebijakan atau strategi memperkuat ekonomi rakyat. Meskipun rakyat tidak kebanyakan pun harus menjadi ‘perhatian’. Seperti yang diurai mas Enggar.
Mengenai ekonomi pasar yang harus ditolak atau tidak, saya pikir harus dimaknai secara ‘arif’, dalam arti bahwa ekonomi pasar berangkat dari rasionalitas, dimana nilai dari standarisasi rasionalitas itu berujud yang namanya ‘harga’ dari hasil transaksi ekonomi, ada tawar menawar. Disini yang menjadi problem adalah ketika rasionalitas dijadikan ukuran tapi tidak mengindahkan moral (etika, hukum.... etc). Mungkin ini yang ingin ditekankan oleh mas Enggar. Namun jika kita menurut kebelakang, sebenarnya adalah Adam Smith yang pertama kali memperkenalkan bagaimana ilmu ekonomi bergulir, meskipun beliau lebih dikenal sebagai filosof ketimbang ahli ekonomi. Hal ini terlihat dari karya-karya yang muncul sebelum Wealth of Nations (1776), yang terkenal itu.Theory of Moral Statements (1759) adalah karya yang mendahului sebagai fondasi ilmu ekonomi, yang dengan jelas berpijak pada suatu moral science yang disusun dan dikembangkan untuk peka kepada masalah keadilan khususnya "keadilan sosial". Bahkan Smith mengatakan bahwa human conduct diaktualisasikan dalam 6 motiv yaitu: self-love, sympathy, the desire to be free, sense of propriety, a habit of labor, and the propensity to barter and exchange one thing for another. Ahli-ahli ekonomi yang menganut pandangan Adam Smith ini kemudian dikenal dengan kelompok Klasik. Tapi gara-gara krisis juga ternyata teori Adam Smith ini mengalami revisi. Depresi besar tahun 1930-an yang melanda dunia melahirkan ekonom baru yaitu J.M. Keynes dengan bukunya General Theory of Employment, Interest and Money yang kemudian menjadi dasar perkembangan teori ekonomi makro. Jika kelompok Klasik mendasarkan pada bekerjanya mekanisme pasar persaingan maka kelompok Keynesian menganggap perlu campur tangan dalam kegiatan perekonomian
Lebih jauh menjabarkan pemikiran Keynes ini, peranan negara digunakan memaksa mekanisme pasar untuk bekerja secara efektif. Intervensi negara harus dilihat dari efektifitasnya. Diasumsikan bahwa dalam keadaan imencari bentuk, pemerintah wajib melakukan intervensi pada swasta, khususnya dalam menyediakan infrastuktur. Dan sebaliknya pada saat swasta telah mampu mandiri maka negara dengan kesadarannya harus melepas kaitannya dengan swasta. Tentu saja setelah biaya tetap rata-rata turun berbarengan dengan biaya marjinal privat yang sepadan dengan keinginaan membayar dari masyarakat maka negara harus segera mengurangi campur tangannya atau bahkan menghentikannya. Fungsi negara hanya sebagai fasilitator saja. Namun peranan yang tidak utuh dan berlebihan oleh negara, ternyata memaksakan unsur politik masuk dalam unsur pasar. Yang terjadi adalah tidak pernah ada pasar yang sebenarnya. Lihat saja masih rancunya dominasi ekonomi dunia dengan kutub-kutub ekonomi yang ada.

Catatan Akhir
Sepertinya tidaklah cukup mendiskusikan Ekonomi Pancasila dan Ekonomi Kerakyatan yang ditunggu-tunggu merupakan formular instan yang mampu mengerakkan ekonomi rakyat menuju kemakmuran. Semua berpulang kepada manusia-manusianya. Baik pengambil keputusan maupun bukan. Pertanyaan yang harus dikedepankan kembali adalah mengapa sampai timbul krisis ekonomi sedemikian rupa, banyak argument yang dapat dikembangkan, dan mengapa ilmu ekonomi tergagap-gagap dalam menangkap isyarat penyelesaiannya. Kalau kita mau jujur, ekonomi sebagai ‘ilmu’ terjerembab pada pemahaman yang sangat sempit, ia membuat spesialisasi yang sangat rigit, dan begitu easy going  terhadap disiplin ilmu lain. Sebagai contoh selama ini banyak ekonom yang bergelut di wilayah   kelembagaan pasar (market institution) dan tidak peka terhadap perkembangan dunia luar yaitu kelembagaan non pasar (non market institution). Kaitanya dengan krisis ekonomi adalah begitu terjadi maka layaknya benang kusut yang sulit dicari akar permasalahannya.

Marburg, 2002
 

Pelaksanaan Otonomi Daerah:  Antara Harapan dan Kekhawatiran

oleh: Adhitya Wardhono

Artikel ini terbit di Radar Jember- Jawa Pos, Rabu 18 April 2001

Mengamati perkembangan tanah air akhir-akhir ini cukuplah memprihatinkan. Tuntutan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Aceh dan Papua kian marak saja. Meskipun tuntutan untuk keluar dari NKRI, bukan dominasi Indonesia sendiri. Hal serupa juga terjadi dengan Negara Kesatuan Inggris dengan problem Irlandia Utara atau Provinsi Korsika di Perancis Semuanya berujung pada ketidakadilan dalam pembagian pengelolaan sumberdaya ekonomi yang ada, pembagian keuangan Pusat dan Daerah, dan persoalan di luar ekonomi, seperti sentimen daerah dan lain-lain. Dilain pihak pemberlakuan otonomi daerah sudah berajalan memasauki bulan ke empat. Namun demikian sepertinya masalah ini belumlah tuntas, masih banyak masalah yang muncul dan beberapa  agenda yang tersisa dalam kaitan ini. Diawal diberlakukan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 banyak pengamat yang merasa khawatir dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Apabila daerah diberi keleluasaan berkreasi untuk memperbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka kemungkinan terjadi ekonomi biaya tinggi. Hal ini dapat dilihat dari sisi produksi, melalui naiknya biaya produksi. Sehingga harapan menjadikan produk lokal sebagai primadona akan semakin mengecil, dengan struktur biaya yang tinggi dengan sendirinya harga komoditas akan mengikuti.

Dengan demikian kebijakan otonomi dikhawatirkan akan mengubah struktur harga komoditas yang ujung-ujungnya adalah terpentalnya daya saing produk lokal di pasaran. Peran otonomi daerah untuk mengeluarkan posisi marginal daerah menjadi semakin kecil. Ilustrasi diatas adalah satu dari sekian banyak kekhawatiran yang muncul dari pemberlakuan otonomi daerah. Belum lagi kekhawatiran akan muncul raja-raja kecil di tingkat kabupaten dan kotamadya. Ternyata apa yang dikhawatirkan terbukti,  sebut saja peryataan Wapres di awal tahun yang mengkhawatirkan terjadinya disintegrasi bangsa dengan tidak  utuhnya UU ini. Dan juga banyak gubernur yang merasa tidak puas atas UU No. 22 dan 25 tahun 1999. Posisi Gubernur yang dulunya ditempatkan pada kursi hirarki teratas dalam sistem perintahan daerah, kini merasa terpinggirkan atau termarginalkan.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk menjawab dengan tuntas kemungkinan persoalan yang muncul dari pelaksanaan otonomi daerah. Tulisan ini hanya memberi sedikit wacana dan terinspirasi setelah membaca perkembangan situasi yang terjadi di tanah air dan setelah menghadiri seminar  ISTECS Chapter EUROPA di Frankfurt, 26 Agustus 2000. Pertanyaan yang mungkin relevan adalah „Sudah siapkan dengan otonomi dan desentralisasi?“ Dalam era euforia demokrasi seperti masa ini, jawaban yang mungkin tepat adalah „harus siap“. Tapi apakah kenyataan demikian? Jawaban yang rasional adalah „tidak semua“. Masih banyak kabupaten dan kotamadya yang belum siap dalam pelaksanaan Otonomi daerah nanti. Penulis berkeyakinan bahwa keberhasilan program desentralisasi sangat tergantung bagaimana kita mampu mengidentifikasi persoalan serta merumuskan kebijakan yang tepat untuk menjawab persoalan tersebut. Pelaksanaan Otonomi Daerah bertumpu pada Undang-undang No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 Tahun 1999. Semangat yang terkandung dalam kedua produk UU tersebut adalah semangat untuk membuat bagaimana kondisi daerah semakin lebih baik. Tidak saja pemberian otonom kepada daerah semata-mata, tapi diharapkan daerah mampu untuk melaksanakan proses pembangunan daerahnya dengan segala konsekuensi yang akan mengikuti, yang selama ini ditangani oleh pemerintah pusat.
 

Desentralisasi: Menuju Pemberdayaan Institusi Lokal
Tiap negara memiliki latar belakang dalam proses desentralisasi. Proses desentralisasi di Indonesia sendiri dilatar belakangi oleh ketidakpuasan atas pemerataan dan pertumbuhan hasil pembangunan selama ini. Untuk itu maka kata kunci yang harus dikedepankan dalam proses desentralisasi adalah sejauh mana elemen-eleman daerah mau dan mampu melakukan pembangunan daerahnya. Tentunya hal ini tidaklah mudah untuk dijabarkan. Elemen yang paling dominan dalam proses desentralisasi ini adalah pelaku pembangunan  dan penerima hasil pembangunan itu sendiri. Yang dalam hal ini adalah institusi dan masyarakat di daerah.

Pemerintah sendiri sudah berusaha untuk melakukan penguatan institusi daerah melalui penempatan tenaga-tenaga yang kompeten di Badan Perencanaan Daerah. Harapannya jika nanti otonomi daerah mulai diberlakukan daerah sudah siap. Namun demikian cukupkah dengan perencanaan yang bagus menjadi jaminan proses pelaksanan pembangunan juga demikian. Dalam hal ini pembuatan perencanaan daerah sudah harus memperhatikan keadaan, potensi dan kemampuan ekonomi daerah tersebut. Banyak kenyataan yang sudah kita lihat, seringkali dilapangan sangat jauh seperti yang direncanakan. Haruskan kenyataan ini terulang kembali dalam era otonomi daerah ini?.  Masyarakat daerah sebagai pelaku sekaligus penikmat hasil pembangunan tentunya juga harus memiliki visi yang sama dalam proses perencaaan pembangunan daerah itu sendiri. Keterlibatan masyarakat daerah haruslah semakin di kedepankan dalam pelaksanaan Otoda. Untuk itu partisipasi masyarakat dalam konteks pengembangan institusi daerah,  baik secara langsung maupun tidak langsung, akan mempengaruhi  kondisi institusi dimana masyarakat itu berada.  Tentunya harapan berikutnya mempunyai ikutan terhadap proses dan hasil pembangunan daerah itu sendiri. Permasalahannya adalah sejauh mana partisipasi masyarakat di Indonesia dalam keterlibatannya dalam proses pembangunan daerah?. Berbagai aspek tentunya mempengaruhi derajat partisipasi itu sendiri. Sehingga dapat diambil kesimpulan sementara bahwa di  Indonesia, partisipasi masyarakat dalam pengembangan institusi lokal dalam pembangunan daerah masih beragam.

Iskandar (2000) mengatakan bahwa  kenyataan masih menunjukkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan belum seperti yang diharapkan di banyak daerah. Belum banyaknya partisipasi masyarakat (sebagai stakeholder otonomi daerah) diluar/selain melalui institusi resmi (DPRD) dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakberdayaan masyarakat itu sendiri dan/atau tidak diberi kesempatan  atau sengaja tidak diberdayakan oleh elit politik lokal atau elit politik pusat. Untuk itu pemberdayaan institusi lokal dapat dipercepat tidak saja melalui institusi pemerintah daerah yang ada, namun juga harus melibatkan anggota masyarakat yang bergerak dalam kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat seperti halnya: Non Govermental Organization (NGO) atau sekarang lebih dikenal dengan Civil Development Agencies (CDA). Singkatan ini muncul karena image negatif dari NGO. Hadirnya CDA diharapkan sebagai pengontrol jalannya proses pembangunan daerah. Pemberdayaan institusi lokal dengan  mengerakan seluruh elemen daerah dimaksudkan untuk harmonisasi proses pembangunan daerah itu sendiri. Hal ini mengingat pemerintah daerah diberi keleluasan lebih dalam pengelolaan daerah. Dengan demikian memungkinan terjadi ketimpangan dalam pembagian porsi pembangunan daerah. Menurut data yang ada selama ini, porsi urusan pelayanan umum itu cuma 20% dari rata-rata APBD. Porsi yang lebih banyak malah untuk urusan pemerintahan (34%) dan pembangunan ekonomi (46%). Ini berbeda dengan Amerika Serikat, misalnya, yang porsi pemerintahan 20%, pembangunan ekonomi 20%, sebaliknya urusan pelayanan masyarakat 60% (Kontan, November  2000). Semuanya ini diharapkan kekhawatiran terhadap munculnya raja-raja kecil dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat dan daerah termiminisasi. Dalam proses penguatan institusi lokal ini,  juga harus memprioritaskan proses pemberdayaan masyarakat lokal.  Dengan begitu diharapkan akan terjadi sinergi yang begitu kuat menuju pelaksanaan otonomi daerah.

Perimbangan Keuangan Pusar dan Daerah: Belajar dari Jerman
Masalah yang masih saja krusial adalah bagaimana mengoptimalkan perimbangan hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Istilah Perimbangan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sendiri sudah sejak lama didiskusikan dalam ekonomi keuangan. Dalam literatur Angloamerika seringkali diistilahkan dengan Intergovermental fiscal relation. Popitz (1972) mendefinisikan perimbangan hubungan keuangan daerah pusat sebagai keseluruhan peraturan yang berisikan hubungan antara berbagai tingkatan pemerintahan  Dalam pelaksanaanya kita mengenal dua bentuk perimbangan keuangan pusat dan daerah, yaitu pembagian wewenang dalam sumber penerimaan keuangan pada tingkatan pemerintahan yang bersifat vertikal (Vertical intergovermental fiscal relation), dan perimbangan keuangan yang bersifat horizontal (horizontal intergovermental fiscal relation). Vertical intergovermental fiscal relation sendiri dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu, pemisahan sumber keuangan (separation system), perimbangan melalui subsisdi (grants) dan sistem gabungan (mix system) (lebih lengkap lihat: Prasojo, 2000).

Selama  ini Indonesia sendiri  memberlakukan prinsip yang pertama yaitu prinsip vertikal dengan  sistem subsidi (grants system) dengan modifikasinya. Kita mengenal pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Barang Mewah dan Pajak Penjualan menjadi sumber penerimaan pemerintah Pusat. Sementara  pemerintah daerah tingkat I atau tingkat II masih belum diberi keleluasaan penuh untuk mengoptimalkan potensi pajak. Meskipun dalam UU No 25 tahun 1999 sudah disempurnakan sedemikian rupa, namun masih saja tidak diatur secara ekplisit. Prinsip pembagian sumber keuangan dalam hal ini masih menganut azas pemisahan terikat terhadap sumber keuangan. Dalam wacana ekonomi hal ini memungkinkan munculnya ketimpangan-ketimpangan baru. Dengan sistem ini Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah masih saja dinominasi oleh pemerintah Pusat berakibat pemerintah Daerah masih saja mengalami kesulitan dalam melakukan proses pembangunannya sendiri. Memang dengan dalih pemerataan pembagunan atau subsidi silang memungkinan untuk melakukan hal ini. Tetapi kenyataan yang terlihat ketimpangan dalam pembagian kekayaan daerah ini malah mengakibatkan munculnya ketimpangan dan kecemburuan daerah pemilik kekayaan. Konflik utama dalam penerapan  Perimbangan keuangan Pusat dan Daerah adalah bagimana  tetap mempertahankan NKRI. Dan hal ini menimbulkan tarik menarik antara penerapan metode apa yang paling pas dengan kondisi bangsa Indonesia dan untuk tidak keluar dari bentuk Negara Kesatuan.  Meskipun konflik ini sebenarnya muncul bukan dominasi negara yang menganut Negara Kesatuan. Negara dalam bentuk Federal ataupun Konfederasi juga mengalami hal yang sama.

Belajar dari  Republik Federal Jerman. Republik Pemerintah Jerman dalam melaksanakan perimbangan keuangan antar Federal dan negara bagian di Jerman lebih menganut pada prinsip Subsidiaritas. Yaitu sistem yang memberikan dominasi kewenangan pada tingkatan pemerintah yang terbawah. Secara terperinci pembagian wewenang antara federal dan negara bagian di Jerman diatur dalam Konstitusi Negara (Grundgesetz,GG). Di Jerman negara bagian wajib untuk memikirkan nasib negara bagain lain yang lebih miskin. Namun demikian tidak diharapkan adanya ketergantungan negara miskin terhadap negera kaya terus dibiarkan begitu saja.  Dalam pembagian Sumber Keuangan dengan jelas diatur dalam Konstitusi Federal. Prinsip perimbangan keuangan horizontal antara negara bagian adalah prinsip ynag sangat menonjol diterapkan di Jerman. Namun demikian tidak menutup memungkinkan juga  terdapat pembagian pajak vertikal yang berefek horizontal, seperti misalnya pajak penghasilan dan pajak badan hukum. Penerapan sistem pajak horizontal ternyata menghasilan stabilitas perimbangan keuangan negara bagian lebih baik, karena meminimalisasi kesenjangan. Meskipun dalam prinsip ini membutuhkan suatu framework yang sangat teliti dan real melihat potensi ekonomi antara daerah, berapa kebutuhan daerah dan bagaimana kemampuan daerah yang ada.  Dengan melihat kondisi Indonesia yang sangat beragam antara daerah satu dengan yang lain, baik dari sisi kekayaaan sumber ekonomi maupun karakter manusianya. Dimana sangat rentan sekali munculnya konflik, tentunya perlu inovasi dalam manajeman keuangan negara, khususnya perimbangan fiskal antar daerah. Memperkenalkan konsep perimbangan horizontal di Indonesia perlu dicoba dengan memperhatikan kondisi yang ada. Sehingga  pelaksanaan otonomi Dearah lebih terjamin, karena  pelaksanaannya yang memperhitungankan kelayakan serta penerapan wewenang antara daerah dengan jelas dan rinci.

Semoga pelaksanaan otonomi daerah diartikan pada konsepsi yang sebenarnya dan bukan sebaliknya dengan memperhatikan perubahan yang terjadi di lapangan. Dan daerah tidak diharu biru oleh Dana Alokasi Umum (DAU) dan hanya diartikan duit-duit dan-duit Perencanaan daerah dalam rangka menambah PAD di sektor pajak haruslah berdasarkan prinsip perpajakan yang dibuat rinci dan jelas. Permasalahan yang sering muncul adalah biaya pemungutan pajak masih sering lebih besar dari pada penerimaan pajak itu sendiri. Sementara dalam prinsip perimbangan keuangan Pusat dan Daerah haruslah juga memperhatikan sumber potensial di luar pajak sebagai sumber penerimaan daerah. Sehingga kemungkinan munculnya ekonomi biaya tinggi dari pelaksanaan otonomi daerah dapat terdeteksi sedini mungkin. Memang bisa dipahami bahwa dalam masa transisi ini akan terdapat banyak kesimpangsiuran dan tumpang tindih dalam pembuatan kebijakan daerah dan pelaksanaannya.
 

Marburg, Sommerr Semester 2001

 

Antara Ekonomi dan Korupsi:  apakah mereka memang bersebelahan?

oleh: Adhitya Wardhono

Minggu-minggu terakhir ini kita diributkan oleh kasus hibah pejabat yang mencapai 80% dari kekayaan pribadinya. Analisis berkembang tidak sebatas hibah, karena telah menyangkut penilaian apakah hal ini dikategorikan korupsi (KKN) atau bukan, terlebih ditengah krisis ekonomi. Tidak dapat dipungkiri, krisis ekonomi yang tidak kunjung berakhir sejak pertengahan 1997, membuat ekonomi bangsa kian sulit terprediksikan. Tatanan ekonomi sedemikian hebatnya mengalami goncangan yang sulit diraba sebelumnya.Tetapi dengan krisis ekonomi inilah muncul suatu fenomena yang menjadi stigma masyarakat Indonesia sekarang yaitu kumpulan mahluk yang suka Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Karena KKN itulah yang menghancurkan sendi-sendi dasar ekonomi Indonesia. Keadaan ini tentunya manjadi suatu hal yang mengelisahkan, tidak hanya dalam aspek ekonomi terlebih pada aspek budaya bangsa. Namun demikian menjadi sangat gamang bahwa membicarakan korupsi menjadi hal yang sangat lumrah, bahkan nyaris tanpa ekspresi. Seperti halnya pornografi, korupsi menjadi hal yang super sulit diberantas. Pikiran primitif manusialah yang membuat kondisi ini bagai buah simalakama. Dalam perspektif ekonomi, jelas korupsi bisa dimaknai multi dimensi. Bahkan banyak pihak yang mengatakan bahwa kegiatan bisnis tanpa korupsi adalah omong kosong. Memang terkesan mengamini hal tersebut. Tapi bagaimanapun ada satu kondisi yang memang sulit untuk terpecahkan. Kita telah terjebak dalam suatu sindrom kepapaan (helplessness syndrome). Dari mana dan kemana harus memperbaiki merupakan hal yang sulit dilihat ujung pangkalnya. Pemahaman dasar ilmu ekonomi yang melatar belakangi kondisi tersebut diatas menarik untuk diurai, meskipun dalam dimensi sempit yaitu ilmu ekonomi. Dan secara sadar kondisi ini tidak melulu kesalahan penerapan ilmu ekonomi semata.

Ilmu Ekonomi dan Krisis Ekonomi Untuk mengekspresikan krisis ekonomi yang melandaPaul Ormerod mengatakan bahwa ilmu ekonomi sudah mati, seperti yang dipaparkan dalam bukunyaThe Death of Economics. Persepsi teoritisnya menganalisis bahwa krisis ekonomi yang berlangsung mengharuskan munculnya ilmu ekonomi baru. Omerodmenempatkan nilai-nilai sosial masyarakat sebagai faktor yang mempengaruhi dinamika perekonomian yang akan menjadi tulang punggung ilmu ekonomi baru nantinya. Sebenarnya adalah Adam Smith yang pertama kali memperkenalkan bagaimana ilmu ekonomi bergulirmeskipun beliau lebih dikenal sebagai filosof ketimbang ahli ekonomi. Hal ini terlihat dari karya-karya yang muncul sebelumWealth of Nations (1776), yang terkenal itu.Theory of Moral Statements (1759) adalah karya yang mendahului sebagai fondasi ilmu ekonomi, yang dengan jelas berpijak pada suatu moral science yang disusun dan dikembangkan untuk peka kepada masalah keadilan khususnya "keadilan sosial". Bahkan Smith mengatakan bahwahuman conduct diaktualisasikan dalam 6 motiv yaitu: self-love, sympathy, the desire to be free, sense of propriety, a habit of labor, and the propensity to barter and exchange one thing for another. Ahli-ahli ekonomi yang menganut pandangan Adam Smith ini kemudian dikenal dengan kelompok Klasik.Tapi gara-gara krisis juga ternyata teori Adam Smith inimengalami revisi. Depresi besar tahun 1930-an yang melanda dunia melahirkan ekonom baru yaitu J.M. Keynes dengan bukunya General Theory of Employment, Interest and Money yang kemudian menjadi dasar perkembangan teori ekonomi makro. Jika kelompok Klasik mendasarkan pada berkerjanya mekanisme pasar persaingan maka kelompok Keynesian menganggap perlu campur tangan dalam kegiatan perekonomian

Lebih jauh menjabarkan pemikiran Keynes ini peranan negara digunakan memaksa mekanisme pasar untuk bekerja secara efektif. Intervensi negara harus dilihat dari efektifitasnya. Diasumsikan bahwa dalam keadaan infant dan mencari bentuk, pemerintah atau negara wajib melakukan intervensi pada swasta, khususnya dalam menyediakan infrastuktur. Dan sebaliknya pada saat swasta telah mampu mandiri maka negara dengan kesadarannya harus melepas kaitannya dengan swasta. Setelah biaya tetap rata-rata turun berbarengan dengan biaya marjinal privatyang sepadan dengan keinginaan membayar darimasyarakat maka negara harus segera mengurangi campur tangannya atau bahkan menghentikannya. Fungsi negara hanya sebagai fasilitator saja. Namun peranan yang tidak utuh dan berlebihan oleh negara, ternyata memaksakan unsur politik masuk dalam unsur pasar. Yang terjadi adalah tidak pernah ada pasar yang sebenarnya. Lihat saja masih rancunya dominasi ekonomi dunia dengan kutub-kutub ekonomi yang ada. Sehingga masalah-masalah patent, copy rights dan sebagainya mengisyaratkan memang tidak pernah lahir pasar sebenarnya seperti dalam buku-buku teks ekonomi.

Sementara dalam tataran nyata ekonomi Indonesia mengalami stagnasi yang begitu hebat. Bisnis Indonesia seakan mandek dengan runtuhnya imperium konglomerasi di Indonesia. Memang banyak hal yang bisa menjadi kambing hitam. Dugaan kuat akar krisis adalah dolarisasi perekonomian dunia yang dikomandani ekonomi Amerika di era 1990-an melalui standar-stadar yang harus dipenuhi firma-firma di negara ketiga melalui investasi yang masuk. Meskipun demikian sulit dijadikan satu-satunya alasan tunggal. Praktek-pratek KKN yang terjadi di negara ketiga, seperti di Indonesia, turut memberi andil menyeret ekonomi ke dalam krisis ekonomi Asia ini. Tentunya dalam perbaikkan ekonomi yamg sudah sedemikian parah ini penangganan masalah KKN tidak dapat di hiraukan begitu saja. Apakah memang ada kaitan Korupsi dengan campur ilmu ekonomi (mashab ekonomi) yang dianut oleh suatu negara?. Melalui mekanisme yang bagaimana kondisi ini menjadikan sedemikian akutnya?  

Korupsi dan Campur tangan Ilmu Ekonomi

Korupsi yang menjadi kajian menarik di era reformasi Indonesia mengalami kebinggungan pemahaman baik yang bersifat strukutral maupun konsepsional. Perilaku korupsi selalu dialamatkan pada aparat negara, meskipun hal ini tidak seratus persen benar. Namun demikian citra negara demikian terpuruknya dengan kasus korupsi yang dilakukan aparatnya. Definisi yang jelas memang sulit terpenuhi. Langseth, Stapenhurst, and Pope, (1999)  dalam Nusantara (2000) menulis beberapa kerancuan istilah korupsi dengan mengacu pada beberapa peneliti (misalnya: Thiele dan Eskeland) yang menggunakan kaidahWorld Bank, seringkali menggunakan istilah "Corruption" dengan "Collusion" secara bergantian, dengan pertimbangan bahwa istilah "corruption" cenderung terkait dengan "abuse of public office", sedangkan penggunaan istilah "collusion" lebih bersifat fleksibel karena dapat diterapkan pada perilaku penyalah gunaan wewenang oleh pihak swasta atau memanfaatkan sikap korup para aparat pemerintah. Berdasarkan definisi tersebut, korupsi akan terjadi apabila memiliki empat unsur: (a) public official, (b) discretionary power, (c) a misuse of that power by public official, dan (d) benefit resulting to that official.  Peluang negara dalam mereformasi ekonomi yang rusak perekonomian negara seperti yang diamanat ilmu ekonomi ternyata membawa batasan yang kurang jelas. Tidak ada satu negarapun yang dengan tegas menganut aliran-aliran ekonomi yang telah berkembang di dunia. Apakah mereka menganut mashab Klasik atau Keynes, demikian juga dengan derivasinya yang berbentuk neo-neo. Mashab Neo Klasik mengamini korupsi dengan dalih memungkinan orang yang korupsi akan melakukan konsumsi yang berlebihan, dengan begitu terjadi kegiatan  ekonomi. Menjadikan peluang korupsi kian sulit terminimisasi. Demikian pula dengan neo-Keynes yang diimplementasikan secara berlebihan mengakibatkan peranan negara begitu kuat dalam mengatur perekonomian nasional. Dalam kondisi demikian timbulnya praktek-praktek curang dalam bisnis tidak dapat terelakkan. Terlebih banyak pelaku bisnis yang memanfaatkan kondisi ini untuk memutar roda bisnisnya. Mereka beranggapan tidak ada negara yang bangkrut. Toh negara punya pabrik uang. Pemikiran konyol ini sering muncul dalam dalam pemikiran pelaku bisnis dan bisnis harus dijalankan dengan sedekat mungkin dengan pengambil kebijakan ekonomi negara. Kalau mungkin memaksakan keinginannya dengan menyogok secara halus pengambil kebijakan tersebut. Dalam taraf yang halus mungkin mekanisme hibah melalui hal ini. kebijakan ekonomi yang bergulir tidak lepas kaitan dengan praktek KKN. Hal ini dengan tegas penulis cenderung setuju bahwa merupakan varian tindak korupsi juga sejauh dilakukan dengan motiv memaksakan kegiatan ekonomi atau bisnis tertentu, tanpa accountabilitas yang jelas.   

Satu  ironi yang cukup memprihatinkan terlihat bahwa selama krisis mengapa banyak konglomerat di Indonesia yang seharusnya bangkrut tetapi masih hidup makmur, bahkan bisa keliling dunia hanya menyaksikan pagelaran musik atau belanja di luar negeri. Bisnis konglomerasi yang dinyatakan pailit dengan juga menyeret banyak konglomerat melakukan tindak korupsi ternyata masih saja menjadikan mereka makmur. Aneh memang, bahwa denga jelas-jelas praktek bisnis mereka telah menghabisi ekonomi bangsa dengan tindak KKN dengan aparat negara, tetapi toh mereka adem ayem saja. Jelas kiranya bahwa motif ekonomi yang melatarbelakangi korupsi individu per individu ternyata membawa dampak yang begitu hebat bagi perekonomian secara makro. Merujuk pada tulisan Nusantara (2000) mengetengahkan studi Ades dan Di Tella (1997) yang mengamati dampak korupsi terhadap investasi dan pengeluaran untuk research and development (R&D) pada sektor industri. Dengan menggunakan model regresi (lihat: Ades and Di Tella, 1997: tabel 5) terbukti bahwa variabel korupsi (CORRWCR) menunjukkan dampak negatif dan signifikan terhadap investasi dan pengeluaran aktifitas R&D. Dengan menggunakan beberapa alat kontrol dalam aplikasi regresi berupa "control for random effect" dan "control for year fixed effect",. Studi Ades dan Di Tella (1997) mampu menunjukkan estimasi total effect korupsi terhadap investasi dan aktifitas R&D. Kesimpulan studi tersebut adalah bila kebijakan sektor industri tercemari oleh korupsi, maka akan berdampak negatif terhadap investasi sebesar 56%, secara langsung dengan menggunakan control for random effect, sedangkan bila menggunakan control for year fixed effect akan berdampak 84%. Secara sederhana dapat diterjemahkan, bila dampak rata-rata korupsi terhadap investasi ditetapkan (control for random effect) maka secara agregat korupsi punya andil 56% dalam proses penurunan investasi sektor industri. Sedangkan apabila kondisi korupsi pada suatu waktu tertentu dianggap konstan (control for year fixed effect) maka dampaknya akan sebesar 84% dalam proses penurunan investasi. Dan dampak terhadap aktifitas R&D adalah sebesar 50% dan 82%. Jelasnya korupsi ternyata mempunyai dampak yang begitu kuat terhadap kemunduran suatu perekonomian. Lebarnya pemahaman terhadap mashab-mashab ekonomi yang dianut oleh suatu negara menjadi sangat rentan terhadap praktek korupsi disektor bisnis maupun manajemen pemerintahan.

Ekonomi menyimpan banyak misteri. Hidup dalam ekonomi yang terpurukpun bisa menjadi tanpa masalah. Pasar gelap atau pasar bawah tanah masih bisa digerakkan dengan bisnis yang tidak terjangkau pasar. Disinyalir pasar bawah tanah yang sedemikian rumit dijabarkan dalam tataran teoritis ternyata mampu memutar roda ekonomi formal. Seperti pencucian uang, pemalsuan uang, bisnis kotor lainnya. Bisa jadi hasil korupsi memang untuk hidup dimasa krisis, atau melakukan tindakan korupsi di masa krisis menjadi marak kembali. Namun demikian kondisi ini tidak dapat berlarut-larut dibiarkan. Indonesia harus mempunyai tekad untuk memperkecil gerak korupsi yang menjadi salah satu faktor memporakporandakan tatanan ekonomi  Indonesia. Indonesia masa depan adalah Indonesia yang diharapkan bebas korupsi, tentunya beberapa prasyarat haruslah di perdebatkan berulang-ulang. Pranata hukum harus dipersiapkan sedemikian kuat dan supremasinya ditegakkan secara konsisten sehingga praktek korupsi dapat dikurangi secara signifikan.Akhirnya apakah memang benar Ekonomi dan Korupsi bersebelahan?

Marburg, 16 September 2001

 

Peran Municipal Bond  dalam Pembangunan Daerah

oleh: Adhitya Wardhono

Otonomi daerah sudah berlangsung hampir satu tahun, secercah harapan untuk lebih dapat mengapresiasikan pembangunan daerah dengan lebih demokratis dam aspiratif. Namun demikian berbagai masalah masih membelit daerah seakan tidak pernah tuntas, dari persoalan sumberdaya manusia (SDM), kemampuan dan fleksibilitas daerah berkompetisi sampai dengan bagaimana meningkatkan sumber penerimaan daerah. Intinya perjalanan otonomi daerah yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 dan UU No 25 tahun 1999  ini bukan tanpa masalah.  Meskipun daerah diberi keluasaan untuk memikirkan sendiri pembangunan daerahnya dari potensi yang bisa di munculkan.  

***

Prinsipnya UU No 25 tahun 1999 mengatur kewenangan Pemerintah daerah untuk mengelola sumber-seumber penerimaan dan pembiayaan daerah. Sumber penerimaan daerah menurut UU No. 25 tahun 1999 meliputi :

  • 1.       Pendapatan asli daerah (PAD);

  • 2.       Dana pertimbangan;

  • 3.       Pinjaman daerah;

  • 4.       Penerimaan syah lainnya.

Yang menarik adalah jenis pembiayaan yang ketiga yaitu Pinjaman Daerah. Hal ini dengan melihat pada   UU No 25 Tahun 1999 pasal 11 ayat 1 disebutkan bahwa : "Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya". Dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No.107 Tahun 2000 pasal 2, ayat (2) disebutkan bahwa pinjaman daerah dapat bersumber dari masyarakat. Pada bagian lain peraturan tersebut juga menjelaskan bahwa pinjaman daerah dapat berupa pinjaman jangka pendek dan jangka panjang. Lebih lanjut menyebutkan bahwa pinjaman daerah dapat bersumber dari masyarakat. Pinjaman jangka panjang hanya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Jumlah yang diperkenankan adalah maksimum 7,5 dari nilai total anggaran. Pinjaman daerah dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah baik Tingkat I ataupun Tingkat II dengan persetujuan DPRD dan harus memperhatikan kemampuan daerah dalam memenuhi segala kewajibannya. Peminjaman daerah dapat dilakukan melalui mekanisme perbankan atau pasar modal . Peminjaman melalui mekanisme pasar modal menggunakan instrumen keuangan berupa obligasi.

***

Jelas bahwa pinjaman daerah berupa Obligasi Daerah atau Municipal Bond ini relatif baru. Meskipun di negara-negara maju jenis pinjaman daerah ini relatif dikenal. Seperti halnya di Amerika Serikat  lebih dikenal dengan sebutan "MUNIES".  Merujuk pada pendapat Foster (1986) maka obligasi daerah ini dapat dikategorikan ke dalam 2 jenis yaitu:

·         General Obligation Bond (obligasi umum), adalah obligasi Pemerintah Daerah, yang pelunasan kewajibannya (baik pokok dan bunganya) bersumber dari dana penerimaan umum daerah seperti pajak dan retribusi obligasi.

·         Revenue Bond (Obligasi Pendapatan). Adalah obligasi Pemerintah Daerah, yang pelunasan kewajibannya bersumber dari hasil proyek (lembaga) yang dibiayai dari penjualan obligasi tersebut seperti proyek publik seperti jalan tol, jembatan, airport, proyek air minum oleh Perusahaan Derah Air Minum (PDAM), dan lain-lain.

Namun demikian ada yang mengategorikan menjadi 3 menurut bunga yaitu  Authority Bonds atau kadang disebut Hybrid Bond, yang tidak lebih merupakan obligasi gabungan dari revenue bonds dengan general-obligation bonds.

***

Peran Obligasi Daerah atau Municipal Bond di era otonomi memang seakan memberi angin segar dalam pendanaan daerah. Sebagai instrumen pembiayaan yang baru serta berdimensi publik, maka satu variabel penting untuk diperhatikan adalah sosialisasi instrument Obligasi Daerah itu sendiri Jelas bahwa Obligasi Daerah hanya instrument yang diperjualbelikan di masyarakat dalam negeri dan harapannya adalah oleh masyarakat daerah setempat. Secara tidak langsung Obligasi Daerah ini dapat dikategorikan sebagi instrument pembangunan daerah yang berdasarkan filosofi, setiap individu membiayai dirinya sendiri secara langsung.   Dan lebih jelasnya adalah pembiayaan itu arahnya pada pembiayaan publik. Untuk itu accountabilitas publik harus masuk dalam kriteria penilaian obligasi itu. Sehingga masyarakat yang menjadi sasaran diharapkan akan membeli obligasi tersebut. Masyarakat sasaran (target group) disini mungkin pada awalnya bukan perorangan atau rumah tangga.  Tapi lebih pada investor berbadan hukum,  semacam lembaga perbankan. Atau bisa juga melalui lembaga reksadana. Meskipun nantinya sangat dimungkinan investor individu atau rumah tangga memegang pangsa pasar terbesar seperti pengalaman Amerika Serikat. Kondisi ini mengingat bahwa dana dari penjualan obligasi akan dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan (barang publik), maka perlu dilakukan pendekatan publik secara cermat dan hati-hati.

Problemnya menjadi rumit jika mekanisme Obligasi Daerah atau Municipal Bond ini tidak dikelola dengan baik. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu di kaji ulang dan mendapat perhatian serius. Beberapa syarat penting yang harus dimiliki sangat menjamin efektifitas instrument ini. Salah satunya adalah asas transparant.yang tercermin variabel tingkat bunga. Artinya bahwa perlu di perhatikan adalah dalam obligasi daerah (MB) dikenal yeild atau bunga. Namun yang sangat spesifik adalah dalam MB pemberlakukuan tax exeption (bebas pajak) sangat dimungkinkan. Ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam kaitanya dengan suku bunga yaitu batas penentuan suku bunga. Mengapa? Hal yang umum adalah merujuk pada tingkat bunga pasar, justru ini yang memunculkan problem baru karena secara umum tingkat bunga pasar di Indonesia relatif tinggi, sehingga bisa jadi pemerintah akan menanggung beban bunga yang cukup besar bahkan akan mengalami kebangkrutan. Resiko MB itu yang juga menjadi perhatian adalah kemungkinan terjadinya default atau ketidakmampuan membayar bunga kupon pada setiap periode maupun nilai jatuh tempo. Oleh karena itu MB justru sangta berbahaya jika pemerintah daerah tidak memperhatikan hal ini. Keuntungan MB yang ingin diraih malah justru sebaliknya yang didapat. Jelasnya dibutuhkan manajemen yang transparan untuk mengelola variabel tingkat bunga MB.

Meskipun dalam pasar modal yang sudah matang OD dapat diperjualbelikan selama tenggang waktu peminjaman dengan harga pasar yang berlaku. Di Indonesia beberapa perusahaan daerah sudah membiayai perusahaannya dalam bentuk obligasi perusahaan swasta dan BUMN seperti PLN, Pegadaian, Jasa Marga. Bahkan beberapa institusi keuangan daerah seperti Bank Pembangunan Derah juga sudah memanfaatkan instrumen obligasi untuk membiayai usahanya. seperti BPD Jabar, BPD Jawa Tengah, Jawa Timur.

***

Bencana Fiskal. Mengapa kondisi tersebut diatas perlu diketahui dan dicermati. Sebagai instrumen baru tentunya banyak mengalami kelemahan. Maraknya ambisi untuk membangun daerah tentunya sangatlah wajar. Namun demikian tanpa perhitungan yang matang akan berakibat fatal. MB sebagai alternatif pembiayaan pembangunan mempunyai resistensi dalam aspek fiskal. Kelemahan inilah yang harus diperhitungkan oleh masyarakat sebagai calon investor.  Kemungkinan nasib Obligasi daerah sama dengan obligasi pemerintah perlu diwaspadai.  Pengalaman telah membuktikan bahwa Obligasi Pemerintah dari jaman Orla sampai Orba tidak pernah jelas. Di jaman Orla sekitar tahun 1950-an, namun yang terjadi adalah pemegang obligasi pemerintah tidak pernah menerima uangnya. Halini terlang pada tahun 1970 yang berakibat banyak pemegang obligasi pemerintah tidak menerima keuntungan dari invsestasinya. Namun dalam kondisi seperti ini obral obligasi tidak semudah dulu dan perlu kehati-hatian. Sifat konservatif pemerintah dalam menata sistem keuangan daerah termasuk dalam penerimaan dana pembangunan lewat Obligasi Daerah  harus benar-benar cermat. Tindak wan prestasi pemerintah daerah sangat tinggi harganya. Dan tentunya ini akan memperparah arah pembangunan daerah itua sendiri. Altenatif refinancing memang dimungkikan, artinya mengeluarkan obligasi baru untuk membayar obligasi yang jatuh tempo. Tapi jelas tindakan ini tidak rasional dalam jangak panjang dan berdampak negatif bagi pembangunan daerah.

Marburg, 28 September 2001

 

Pemkot Jember: feasible atau doa’ble?     

oleh Adhitya Wardhono

(dimuat pada Harian Radar Jember Jawa Pos)

Tulisan ini sekedar untuk ‚urun rembuk’ dalam permasalahan urgenitas perlu tidaknya Pemerintahan Kota untuk Kota Jember. Lebih lanjut tulisan ini ingin memberi wacana ekonomi teoritis, elemen penting apa yang harus konsisten untuk dikedepankan dalam otonomi daerah. Karena hal ini perlu sehingga meminimisasi debat tidak berujung sehingga menjadi pertanyaan besar: ‚apakah benar karena feasible atau doa’ble sehingga status kota bisa didapat oleh Kota Jember?’. Mengapa pertanyaan itu akan muncul? Karena dari sisi waktu dan kondisi sangat tidak menguntungkan. Dalam kondisi krisis ekonomi apapun yang berhubungan dengan ‚nilai ekonomi’ akan sensitif untuk dibicarakan. Moral dari tulisan ini adalah untuk kembali saling mawas diri atas keadaan yang ada, dengan apa dan bagaimana kita mempersiapkan dan memaknainya. Melihat kondisi Jember, ada kerugian dan ada keuntungan serta ada pula kendala dan peluang untuk sesegera mungkin ke pemerintah kota yang otonom.


Kegagalan propaganda?

 
    Penulis jadi teringat pada waktu wawancara dengan radio swasta Prosalina FM di Jember sekitar tahun 1998, dengan tema yang hampir sama. Dalam kesempatan itu penulis menandaskan bahwa pemaknaan otonom bagi Jember sebenarnya mencerminkan sisi berat secara ekonomi dalam keadaan perekonomian Indonesia yang carut marut. Kenyataan juga terlihat bahwa krisis ekonomi telah menyebabkan tingkat masyarakat dalam kategori worse off (miskin) daripada better-off (sejahtera). Keadaan traumatis terhadap kebutuhan dasar yang semakin menaik dengan tingkat kepercayaan ditingkat terendah sehingga setiap kebijakan publik yang diusulkan menjadi hal yang sulit untuk dicerna. Waktuitu penulis lebih merekomendasikan untuk proses penyamaan persepsi (propaganda) dan pembelajaran, mumpung masih ada waktu. Karena keadaan masyarakat saat ini sangat tidak mungkin dipaksakan dengan beban pungutan-pungutan yang sesegera diberlakukan oleh Pemerintahan Kota untuk menutup biaya-biaya pembangunan.
    Sementara minggu-minggu ini berita mengenai tarik ulur perlu tidaknya mewujudkan pemerintahan kota Jember dalam waktu dekat telah menghadapkan kubu yang Pro dan Kontra, semua mempunyai argument yang logis dan mendasar. Debat panjang warga dan wakil rakyat serta pemeritah daerah menarik untuk disimak. Dalam hal ini haruslah diartikan sebagai proses belajar berdemokrasi. Tegang, stress, gemes tapi juga sehat dan menyegarkan.
      Dalam wacana ekonomi, pengambilan keputusan dalam kebijakan publik hendaknya mendapat perhatian yang serius di tengah ekonomi masyarat yang memburuk, namun apapun bentuknya kebijakan publik harus dalam kerangka normatif dan objektif, dalam arti dalam kondisi ini sangat memungkinkan terjadi free riders (pembonceng) yang hendak memanfaatkan keadaan yang tidak menguntungkan. Apapun pembicaraan mengenai kebijakan publik harus berujung pada social welfare. Meskipun kedepan pemeritahan kota yang otonomi perlu diberlakukan sebagai pemaknaan proses bernegara dengan demokratisasi yang utuh dan modern. Meskipun sebenarnya dalam kondisi apapun dapat dipaksakan. Lihat saja, dalam era Orba kita biasa hidup dalam ‚keajaiban-keajaiban’. Contohnya, bagaimana pasar Cengkeh dibentuk dengan SK Pemerintah dan contoh-contoh lainnya. Tapi harus diingat dalam kondisi sekarang, biayanya akan sangat mahal dan berujung duka. Terutama social cost yang harus ditanggung oleh masyarakat Jember. Euforia politik membentuk masyarakat semakin kritis akan keadaannya lingkungannya. Dalam kondisi tertentu cenderung diluar batas koridor demokrasi dan etika yang berlaku, bahkan terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Itu juga merupakan kerugian yang harus diprediksi dengan cermat. Untuk itu kehati-hatian perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh, dalam hal ini olehpemerintah daerah dan wakil rakyat.
      Dalam wacana ekonomi, perhitungan perlu tidaknya pemkot Jember menjadi unik untuk dibicarakan. Perhatikan bahwa dalam era otoda ini, banyak pemerintah daerah berpikir keras untuk mendapat penopang pembangunan daerahnya. Salah satu penopang sumber pembangunan daerah yang mendapat perhatian serius adalah dari Pendapatan Asli Daerah. Sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi akronim yang populer di tengah maraknya debat panjang Otoda. Metode yang paling populer untuk pemasukan PAD adalah dengan meningkatkan pajak dan mengekploitasi sumber daya alam yang ada. Mungkin tidak menjadi problem pelik bagi daerah yang ketersediaan sumber daya alamnya berlimpah. Tapi sebaliknya banyak daerah yang merasa potensi sumber daya alamnya yang miskin seakan-akan tidak berdaya menghadapi otoda.Penulis pernah berkesempatan menjadi regional researcher (peneliti regional) Bank Dunia dalam The SMERU Research Institute bertanggung jawab untuk Propinsi Jawa Timur tahun 1999 dan melakukan penelitian maraton di 11 kabupaten di Jawa Timur. Dalam kesempatan itu beberapa kekhawatiran sangat terlihat dari hasil wawancara dengan hampir semua pejabat di tiap kabupaten.Intinya mereka merasa risau dengan pemberlakuan Otoda, karena akan terjadi kekurangan dana pembangunan mereka.Ada kabupaten yang potensi sumber daya alamnya berlimpah, tetapi karena letak geografisnya yang sulit terjangkau, karena belum tersedia prasarana dan sarana penghubung yang memadai antar kabupaten,membuat banyak investor mundur. Mencermati kondisi ini maka semakin jelas diperlukan kecermatan untuk melakukan inovasi cerdas dari pemerintah dan masyarakat daerah setempat.
      Pendekatan yang kedua paling mudah adalah meningkatkan pendapatan daerah melalui Pajak dan Retribusi daerah. Maka tak heran banyak pemerintah kabupaten dan kota tanpa menunggu dari pusat sudah memberlakukan peraturan tersebut. Padahal dengan memberlakukan pajak beban ekonomi masyarakat semakin berat, apalagi dalam kondisi ekonomi sekarang ini. Dan dalam pelaksanaannya pun sampai sekarang belumlah efektif. Bahkan biaya pengenaan pajak terasa lebih besar dari pemasukan pajak. Bagi yang pernah belajar Ilmu Ekonomi pasti mengenal ekonom moneteris dari 'University of Chicago' Milton Friedman, yang merekomendasikan untuk menjauhi Pajak kalau memang bisa. Ia mengatakan runtuhnya industri barat dan inflasi tinggi yang terjadi lebih disebabkan oleh sistem perpajakan yang buruk ini. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dengan menarik pajak secara tidak langsung menggunakan uang orang lain untuk orang kebutuhan orang lain. Dalih atas kepentingan sosial ternyata dalam kenyataan tidaklah termanfaatkan untuk pembiayaan sosial itu sendiri.Hasil pajak lebih banyak termanfaatkan oleh kepentingan birokrat sendiri alias terkorupsi, dan yang lainnya untuk mendanai perguruan yang tinggi yang berisikan anak-anak orang kaya. Sehingga yang terjadi bukan orang kaya mensubdisi orang miskin, malah terjadi sebaliknya. Itulah rekomendasi ekonom Milton Friedman.
      Dalam debat pemkot Jember yang menjadi kendala adalah kontiyuitas penopang pembangunan daerah yang hanya bertumpu pada PAD dengan menggunakan elemen pajak dan retribusi yang akan digenjot habis-habisan, disamping faktor-faktor diluar ekonomi lainnya. Sehingga menimbulkan kekhawatiran di masyarakat, maka bagi pemerintah daerah hati-hatilah dalam memberlakukan pajak dan retribusi. Hendaknya sistem perpajakan yang dikenakan memang mencerminkan kondisi wajib pajak dilapangan. Bagi kota Jember, masa transisi harus dilalui dengan mulus. Artinya, pemaknaan otonomi harus benar-benar dimengerti oleh masyarakat. Yakinlah bahwa dengan pengertian yang menyeluruh tidak akan terjadi misconception di tingkat masyarakat seperti sekarang ini. Penulis yakin pemerintah daerah sudah melakukan propaganda menuju Jember otonom. Namun penulis yakin bahwa ada pendekatan yang kurang pas dan tidak mencapai sasaran, sehingga memunculkan kubu yang pro dan kontra, dalam last minute.
 

Apa yang harus dilakukan?

 
      Memang bukan pekerjaan yang mudah untuk mendapat formula yang tepat. Mungkin kita perlu untuk menyimak buah pikir ekonom Friedrich List yang mengemukakan konsep Pendekatan Tenaga Produktif. Rekomendasinya adalah kemakmuran suatu daerah (bangsa) bukan disebabkan oleh akumulasi harta dan kekayaan, melainkan dengan cara membangun lebih banyak tenaga yang produktif.Dengan pendekatan ini akan terjadi kekuatan swadaya setempat yang mampu menunjang kemakmuranekonomi suatu daerah (bangsa). Jelas bahwa kekuatan untuk menumbuhkan kekayaan lebih penting dibanding dengan kekayaan itu sendiri. Dalam konteks ini semakin jelas bahwa, untuk mencapai kemakmuran daerah dalam Otoda, kekayaan setempat yang riil berupa sumber daya alam yang terkalkukasi diatas kertas bukan mutlak adanya.Dan mungkin yang juga harus diperhatikan dalam rekomendasi Friedrich List ini adalah mengejawantahkantenaga produktif sebagai karya kreatif inovatif,kekuasan politik, hak-hak masyarakat, efektivitas penyelengaraanpemerintah, ilmu dan kebudayaan, sikap terhadap hak asasi manusia, dll.
      Bagi Kotatif Jember menjadi pertanyaan besar, mampu tidak untuk membangun dirinya sendiri. Untuk itu perluadanya invetarisasi kemampuan sumber daya yang dimiliki dan infrastuktur pendukung untuk melakukan kebijakan itu. Artinya tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik tapi lebih dalam aturan main (kebijakan dan moral) untuk mewujudkan social welfare itu.Dalam relatif dekat pembiayaan pembangunan daerah mungkin dapat diambilkan dari Dana Alokasi Umum (DAU), untuk membiayai pegawai Dinas pemerintah dan dana pembangunan lainnya. Tapi apa memang pemerintah kota hanya bertahan dengan DAU itu saja.Kalau itu terjadi maka tidak usah berpikir ke tatananpemerintah otonomi. Tapi kalau kita mau ketatanan otonomi yang diperlukan adalah melihat persepsi kedepan dalam jangka panjang. Caranya? Dalam wacana ekonomi mungkin dapat menyimak rekomendasi ahli diatas. Namun ini hanya mampu tercipta dengan salah satu asumsi bahwa sumberdaya ekonomi (baca: Uang, Informasi, Intelektual) tidak terkumpul dan hengkang ke Pusat sehingga dapat menjadi daya dorong sumberdaya ekonomi yang ada di daerah.Penguatan sumberdaya manusia daerah untuk ‚berkarya’ didaerah dengan iklim yang kondusif, akan terminimalisasi pemboyongan sumber daya ekonomi dan intelektual ke Pusat sebagaimana pada episode kolonialisme Orba (internal colonialization). Untuk itu pendidikan di tingkat masyarakat harus menjadi prioritas yang pertama. Karena dengan mempersiapkan sumber daya manusia padat otak dengan pendidikan formal ataupun non formal, akan jelas efek penganda yang akan diperoleh. Tajuk Media Indonesia (3/5/2001) bahkan mengaris bawahi dalam rangka hariPendidikan Nasional, bahwa dengan pendidikan akan membuat orang mudah dipimpin tapi tak bisa dipaksa. Pendidikan juga akan menghasilkan orang-orang yang mudah diperintah tapi tak bisa diperbudak. Menarik untuk direnungkan, bukan?
      Dalam Otoda ini yang jelas terlihat adalah adanya perubahan ekonomi dan perubahan perspektif masyarakat tentang pembangunan dan paradigmanya, yang tentunya di perlukan konsepsi baru untuk mewujudkan pembangunan daerah tersebut. Akhirnya kembali pada kemampuan untuk berani menerapkan suatu konsepsi. Dalam penerapan suatu konsepsi permasalahan yang muncul pertama adalah, bagaimana caranya mengamati proses perubahan dalam masyarakat tersebut.Persoalan berikutnya adalah bagaimana cara tepat untuk mengabungkan antara perubahanekonomi dan perubahan masyarakat. Sumber daya manusia padat otaklah yang menentukan kesuksesan pembangunan di era Otoda ini, selanjutnya baru sumber daya yang lain. Untuk itu harus dimulai darijajaran Pemerintah Kota yang harus mencitrakan diri dengan pelayanan profesional dan penuh humanistis yang memberi contoh efektifitas sentuhan sumberdaya manusia padat otak. Didukung oleh wakil rakyat yang ‚standart’ dan yang paham betul akan keinginan warganya, tidak hanya mementingkan kepentingan politis kelompoknya saja. Sehingga debat Pemkot Jembertidak saja diartikulasikan dalam jangka pendek tapi lebih diartikan kejernihan untuk melihat kedepan tanpa mengorbankan kepentingan rakyat. Tidak saja memperdebatkanpemekaran kotadengan menambah beberapa kecamatan dengan melihat kekayaan sumber daya alam, kebinggungan memikirkan gaji pegawai dinas pemerintah kota atau memikirkan bagaimana DAU harus dimanfaatkan. Dalam hal ini lebih urgent untuk menyamakan persepsi dengan mengambil contoh pengalaman kota-kota Cebu (Filipina), Penang (Malaysia) dan Porto Alegro ( Brasil) yang berhasil dalam membangun daerahnya dengan mengedepankan konsep otonomi yang dipahami secara utuh oleh masyarakatnya dan pemerintah setempat mempunyai komitmen kuat dan kreativitas yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Langkah selanjutnya?

      Setelah itu dapat dipahami langkah berikutnya yaitu harus siap untuk melakukan kompetisi di era Otoda (competitive local autonomy), sehingga misi dari Otonomi itu dapat dicapai. Hanya dengan perlombaan antar daerah -- yang sehat dan penuh gairah, fastabiqul khairat – kemajuan akan dapat diraih.Setuju dengan membentuk Tim peneliti pemkot, untuk itu tim ini haruslah kerja keras untuk memberi masukkan objektif dari hasil temuan di lapangan. Sehingga apapunhasil temuannya akan didapat diterima semua pihak. Kedepan perlu juga dipikirkan membangun kepercayaan masyarakat dengan menerapkan asas Good Corporate Governance (transparansi, accountability, responsibility dan skill sufficiency) pada pemerintah kota sambil terus mempersiapkan sumber daya manusia produktif yang profesional dalam bidangnya. Dan tentunya dengan jaminan hukum yang jelas, sehingga menjadi sangat mendesak pengelelolaan suatu pemeritahan kota seperti layaknya mengelola suatuperusahaan.
      Sebagai warga kota Jember, penulis sudah bosan dengan pelayananinstansi pemerintah yang super tidak efektif dan berbelit-belit dan kadang malah tidak manusiawi, yang mencitrakan belum terpolesnya jajaran pemerintah kota. Dan sering terlihat rusaknya fasilitas umum (barang publik) yang merupakan sikap warga yang tidak merasa memiliki, serta ketaatan hukum dan peraturan yang rendah, dsb.Apalagi ditambah dengan pungutan resmi dan tak resmi yang ‚diadakan’. Semuanya itu bermakna Ekonomi Biaya Tinggi dan belum mengenal apa yang disebut techno democracy. Mana tahan, Cak? 


Marburg Sommer Semester, April 2001

 

Koperasi (masih) Berbisik 
oleh: Adhitya Wardhono

Perdebatan eksistensi dan masa depan koperasi Indonesia memunculkan beragam argumentasi yang unik, kadang ironis, pesimistis maupun optimistis. Terlebih ditengah liberalisasi dan globalisasi ekonomi dunia. Paling tidak menurut ekonom Sritua Arief (1997) dalam tulisannya berjudul Koperasi Sebagai Organisasi Ekonomi Rakyat ada tiga hal yang menjadi berbincangan publik mengenai eksistensi badan usaha koperasi dalam ekonomi Indonesia. Pertama adalah munculnya pemikiran untuk perlunya re-study atas eksistensi koperasi dimana apakah masih perlu dipertahankan keberadaannya dalam kegiatan ekonomi. Kedua, adalah ada pendapat yang memandang bahwa unit usaha koperasi dipandang perlu untuk dipertahankan sekadar untuk tidak dianggap menyeleweng dari UUD 1945. Pembelaan pada pendapat kedua ini yang sering dilakukan dengan cukup gigih adalah para birokrat di pemerintahan. Ketiga, adalah pendapat yang menganggap bahwa koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang harus dikembangkan menjadi unit usaha yang kukuh dalam rangka proses demokratisasi ekonomi. 
Berangkat dari pernyataan diatas maka penulis mencoba mengurai logika-logika pernyataan-pernyataan diatas dengan sedikit usulan di akhir tulisan.

Gerakan Sarat Beban
Di Indonesia, meskipun membesarkan koperasi telah menjadi bagian dari kebijakan ekonomi nasional, sisi implementasinya belum menunjukkan keberpihakkan yang tegas  dan jelas kepada koperasi. Hal ini tidak dapat disalahkan karena tidak sedikit koperasi yang tumbuh lantaran koperasi mendapat kesempatan yang lebih besar untuk mengambil manfaat ekonomi dari proyek dan fasilitas pemerintah. Ada kesan pragmatisme koperasi seakan-akan dapat mengimbangi peran swasta dan BUMN, koperasi telah berhasil  merebut pasar tidak sedikit tumbuh di Indonesia. 

Namun apa lacur kondisinya memang cukup dilematis. Paling tidak seperti halnya pendapat kedua diatas. Memang masih terjadi tarik ulur atas pasal ekonomi dalam Amandemen Konstitusi kita. Hal ini juga tidak lepas kaitannya dengan eksistensi Koperasi di masa depan. Mungkin penjabarannya dapat kita cermati dari gerakan koperasi dari sisi paradigma ideologisnya selama ini. Secara paradigmatis paling tidak   Koperasi terpilah atas beberapa aliran ideologis. Menurut Melnyk (1985) dalam bukunya The Search for Community, From Utopia to a Co-operative Society (lihat juga: Allan Halladay dan Colin Peile, 1989), memaparkan perbedaan mendasar tumbuh kembangnya koperasi berdasarkan ideologis anggotanya (baca: gerakan koperasi). Menurutnya ada 3 kategori dalam ideologi koperasi yang berkembang yaitu koperasi dalam tradisi Demokrasi Liberal, Marxis Komunis dan Sosialis non Marxis. Dalam tradisi koperasi yang demokratis liberal misalnya, tidak dapat dipisahkan dalam alam pikir masyarakatnya dan juga ideologi negara dimana koperasi tersebut berada. 
Koperasi dalam tradisi Demokrasi Liberal, sifat kapitalisme pekat disini dan paling tidak menyimpan dua unsur yaitu pemusatan modal dan ekploitasi. Jargon yang diikuti adalah produksi untuk produksi, dan tentunya dengan mengikut sertakan  rasionalisasi dalam proses produksi bagi terwujudnya keunggulan komparatif produk-produk kapitalis. Maka tidak aneh dalam tradisi Koperasi Demokratis Liberal ini titik tekannya lebih pada mengangkat eksistensi fungsionalisme pragmatis dan pengakuan atas kepemilikan individu. Koperasi diarahkan pada pencapaian short run competition terhadap pemupukan laba dan arah gerakannya  bertendensi kepada orientasi ekonomi.
 Lain halnya dengan tradisi Koperasi Marxis yang lebih cenderung pada pengibaran kejayaan partai. Peran negara begitu kuat dan kesan yang tertangkap adalah suatu pemaksaan atas eksistensi koperasi sebagai bagian dari sistem ekonomi negara. Pemusatan regulasi oleh negara yang sentralistis menjadikan ruang gerak koperasi semakin sempit dan diatur begitu rupa. Tugas koperasi disini adalah membangun sosialisme (komunis) yang tunduk pada nilai-nilai  ideologi dengan komitmen tinggi. 

Terakhir adalah munculnya koperasi dalam tradisi Sosialis non-Marxis. Dalam arti mereka tidak mengusung ideologi komunis Marxis. Koperasi ini lebih banyak dijumpai pada belahan dunia ini. Misalnya saja Tanzania dengan Ujamaa-nya. Atau Koperasi Pekerja (worker-coop) di Spanyol yang terkenal dengan Koperasi Mondragon. Wajah yang ditampilkan dalam tradisi Koperasi sosialis ini lebih ramah dengan mengadopsi budaya masyarakat sekitar. Mereka tidak mengusung bendera revolusioner ala Marxis. Bahkan mereka terkadang di dukung oleh pemerintah, namun demikian yang dikedepankan adalah paham sosialisme. 
Jadi juga tidak aneh jika selama ini gerakan koperasi di Indonesiapun juga mengacu pada ideologi yang dianut, dalam hal ini Konstitusi Negara UUD 45, yang didalamnya juga mengamanatkan ideologi sosialisme ala Indonesia yang bahkan juga tersirat dalam sila ke-5 Pancasila. Problemnya adalah amanat konstitusi itu yang sulit untuk diimplementasikan. Koperasi yang diamanatkan sebagai soko guru (pilar utama)  perekonomian nasional belum menjadi kenyataan. Beberapa justifikasi atas hal itu adalah secara historis gerakan koperasi Indonesia dalam 30 tahun terakhir dapat dikatakan sebagai salah satu korban korporatisme sebuah regim pemerintahan yaitu regim Orde Baru dan yang oleh Orde Lama menjadi bulan-bulanan partai dimana koperasi menjadi alat partai. Gerakan koperasi telah diselewengkan oleh Orde Baru sebagai alat kekuasaan, bahkan juga terlihat telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga berubah bentuk menjadi perkumpulan pengusaha. Intinya memang tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan koperasi adalah gerakan yang sarat beban sejarah. 

Dengan begitu ikutannya adalah koperasi telah kehilangan ‘roh’. Koperasi yang seharusnya mencitrakan diri sebagai lembaga yang  self-help dan mengedepankan demokrasi (ekonomi) untuk memakmuran anggota dan lingkungannya, telah serta merta tercabut dari akarnya. Koperasi jauh dari asas dan prinsip yang harus dianutnya (baca: jatidirinya). Hal ini dapat dilihat dari sejak diterbitkannya UU No. 12/1967 yang kemudian diperbaharui melalui UU No. 25/1992 ruang geraknya begitu sempit untuk mewujudkan entitas usaha koperasi yang sebenarnya. Paling tidak dari sisi permodalan. Undang Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah harus mengalami revisi. Dalam era global yang kompetitif ini sudah tidak selayaknya  bahwa koperasi dipaksa eksistensinya  mengandalkan organisasi yang mangandalkan Sisa Hasil Usaha (SHU) dan profit apa adanya. Dengan demikian, jika UU tersebut berubah sesuai tuntutan jaman maka koperasi Indonesia akan dapat menjadi badan ekonomi yang mandiri karena mampu untuk menghidupi dirinya sendiri dengan jelas, tidak berdiri di atas SHU. Itu artinya, managemen organisasi koperasi meski tanpa meninggalkan sifat dan prinsipnya, harus lebih efisien sehingga dapat bersaing dengan badan ekonomi lainnya seperti BUMN ataupun swasta. 

Catatan Akhir
Memang kita perlu lebih kreatif. Paling tidak dengan momentum hari Koperasi kali ini, sudah saatnya kita merubah persepsi yang kurang tepat tentang Koperasi Koperasi dengan menjadikannya sebagai badan usaha mandiri dan diakui keberadaannya. Beberapa hal yang perlu dicermati dan diusahakan adalah: 

Pertama. Ubah secara berstruktur dan bertahap image negatif Koperasi. Sepanjang umur republik ini, cukup sudah pengorbanan Koperasi, baik di jaman Orla atau di jaman Orba. Juga dalam Orde Reformasi hari ini. Masih saja image Koperasi yang hanya hidup dengan perlakuan khusus dengan hanya mengantungkan diri atas fasilitas dan subsidi yang melekat padanya, untuk itu kita coba reduksi dan harus segera kita tinggalkan. Paling tidak hal ini juga harus menjadi agenda pemikiran dalam aspek legalnya. UU No. 25/1992, yang konon mengalami revisi, haruslah mampu mengakomodir image koperasi nasional dan tantangan nya ke depan. Situasi dunia yang menglobal diperlukan kiat-kiat khusus untuk mengangkat koperasi. Dalam wacana ekonomi nasional terlihat bahwa pengalihan kategorisasi atas penokohan subyek-obyek koperasi menjadi penting untuk direposisi kembali. Dimana selama ini Koperasi terkesan menjadi objek. Dan secara tidak langsung mempertegas pemerintah sebagai subyek yang berhak atas apa saja terhadap koperasi. Sehingga yang nampak, gerakan koperasi seperti gerakan air terjun dari atas ke bawah - "top down", terutama hal ini terlihat dalam koperasi unit desa (KUD), dimana sang subyek menentukan citra makna-nya kepada sang obyek. Jadi tidaklah aneh jika terkesan bahwa gerakan koperasi menjadi semacam ideologi yang represif ditengah dinamika masyarakat. Intinya kedepan koperasi tidak lagi organisasi yang ditinggalkan anggotanya malah dengan harapan menjadi pelopor sikap kemandirian ekonomi anggotanya. Karena anggota tidak lagi dianggap obyek namum subyek yang menentukan kinerja koperasinya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa cikal bakal koperasi masih terlihat, seperti sifat gotong royong yang terdapat di masyarakat, namun kondisi hari ini memperlihatkan bahwa modal sosial tersebut telah tergerus oleh situasi dan beban ekonomi yang melanda Indonesia.

Kedua. Koperasi sebagai badan usaha harus menjadi teladan dalam budaya kerja organisasi. Konsep bekerja yang mampu untuk meninggalkan paham paternalisme dan mengintroduksi sistem demokrasi harus menjadi jatidiri koperasi yang dipupuk oleh anggota dan pengurusnya. Terlebih di era reformasi ini yang antara pemberantasan  serta praktek KKN sendiri masih diarea abu-abu. Bahkan masih sulit terjangkau hukum. Sekaranglah Koperasi harus meneladani dan mengerakkan reformasi terhadap sistem-sistem dan struktur lama dan secara bersamaan  memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Perubahan dunia dengan globalisasinya harus dihadapi dengan kepercayaan diri yang kuat dan pemikiran yang positif progresif. Gerakan koperasi hendaknya mampu melakukan pemurnian koperasi secara optimistis dengan melihat perubahan paradigma yang ada.  Untuk itu koperasiawan Indonesia harus bangkit dan maju kedepan dengan mengibarkan bendera profesionalisme dan kemandirian. 

Nah, akhirnya jika masyarakat Indonesia beberapa waktu lalu diharu biru oleh kemenangan film garapan ‘Pasir Berbisik’ di kancah kontes film manca negara. Mungkin berharap cemas  juga suatu saat nanti, Koperasi kita juga akan mampu menjadi pemenang atau minimal mengimbangi peran badan usaha lain di kontes era global yang sarat dengan  semangat liberalismenya itu  tanpa mengerus nilai-nilai Koperasi itu sendiri dan bahkan menampilkan keunggulan jati dirinya.  Marilah kita menunggu dengan seksama, Koperasi Indonesia bersuara lantang, tidak berbisik ataupun menjadi bisik-bisik orang. Dirgahayu Koperasi Indonesia! 

Marburg, 8 Juli 2002

 

 

 

 

€konomika adalah halaman yang memuat artikel-artikel mengenai analisis dan problema ekonomi dan bisnis yang sedang aktual terjadi.  Peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi menjadi menarik untuk didiskusikan tidak saja dalam wacana verbal tapi juga dalam wa- cana tulisan. 

 

Tulisan yang ada dalam halaman Ekonomika ini tidak terfokus pada satu tema ekonomi melainkan dalam detail-detail yang luas,  baik yang kami tulis sendiri maupun bersama kolega.  Beberapa tulisan ada berupa ringkasan penelitian,makalah,seminar maupun artikel lepas yang telah terbit di koran maupun koleksi pribadi.

 

Dipersilahkan mengutip isi tulisan dengan menyebut sumber aslinya.

 

 
   

 

 
     
     
 





 

 

Adhitya Wardhono  and Ciplis Gema Qori'ah
Hermann Rein Str. 13/102  37075 Göttingen  - Germany
+49 551 3893471