|
Radar Jember, Minggu, 09 Juli 2006
Semua
karena Bola
Oleh :
Adhitya Wardhono*
Pesta sepak bola sejagat karya arsitek bola Jules
Rimet dan Hendry Delaunay telah dimulai. Merekalah
pioner kompetisi tingkat dunia yang dikenal dengan
nama World Cup atau Piala Dunia. Pagelaran empat
tahunan ini menimbulkan demam hebat tidak saja pada
masyarakat gibol (gila bola) tetapi hampir semua
manusia di jagat ini. Sepakbola kini memang telah
menjadi sebuah "industri" yang mondial, yang
menggerakkan secara cepat naluri ekonomi pelaku bisnis
lokal maupun transnasional, menjadi pengikat keeratan
tali persahabatan, membangun fondasi sportivitas.
Namun di sisi lain, ia juga melahirkan ketakutan
bayang-bayang berkeliarannya suatu komunitas mafioso,
serta munculnya efek sporadis-negatif. Tak pelak piala
dunia sepak bola adalah momentum penting nan misterius
dalam sejarah dunia olahraga modern.
Semua karena Bola
Semua orang terfokus dan sibuk menyimak perhelatan
akbar sepok bola kali ini. Semua orang membicarakan
hal ini, mulai dari pekerja kantoran, penjual roti,
mahasiswa hingga profesorpun tidak kuasa untuk "mendiamkan"
pesta bola ini. Bahkan dengan antusias istri saya
selepas pulang kuliah menceritakan bagaimana
profesornya tadi di kelas memprediksi
kemungkinan-kemungkinan tim yang akan lolos ke
babak-babak selanjutnya. Piala dunia memang sihir olah
raga. Juga banyak sekali mobil-mobil di hiasi dengan
bendera Jerman di mana-mana persis kalau kita
memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus, meski pada
hari kemerdekaannya orang-orang Jerman malah tidak
terlihat seheroik dibanding memeriah piala dunia kali
ini. Di tiap-tiap rumah juga tidak ketinggalam mulai
menghias yel-yel menyemangati tim favoritnya dari
hanya sederhana hingga memasang beberapa bendera
Jerman dengan tulisan tahun ketika Jerman menjuara
piala dunia.
Bienvinido Mexico
Masyarakat kota Goettingen, tempat saya tinggal selama
di Jerman, tak kalah serunya dalam menyambut piala
dunia. Atribut piala dunia sudah jauh-jauh hari
menghiasi kota ini. Terlebih kota ini dipercaya
menjadi markas Tim Meksiko asuhan Ricardo La Volpe.
Meski menjadi tim terakhir yang tiba di Jerman (2/6)
tidak menjadikan tim Meksiko ini sulit menyesuaikan
diri dengan cuaca Jerman, yang kebetulan pada bulan
ini cuaca sudah mulai hangat meski kadang-kadang hujan.
Di kota inilah, tim Meksiko melakukan persiapan akhir
untuk menghadapi Portugal, Iran dan Angola di Grup D.
Keterbukaan menerima tim Meksiko sudah jauh-jauh
dipersiapkan oleh jajaran pemerintahan kota Goettingen.
Paling tidak terlihat dari satu "site" di website
resmi Kota Goettingen (www.goettingen.de) yang
menyuguhkan informasi seputar sepak bola dan kota
Goettigen dan Jerman pada umumnya dalam bahasa Spanyol.
Goettingen sedikit berbenah, di mana-mana nuasa
Meksiko terlihat kentara, dari beberapa hotel yang
mengkibarkan bendera Meksiko hingga spandu
k-spanduk tertulis Bienvinido Mexico. Juga
baliho-baliho menyambut piala dunia "Die Welt zu Gast
bei Freunden" terpampang di sudut-sudut jalan, atau di
halte-halte bus. Bahkan sebelum pesta sepak bola
sejagat itu digelar, Meksiko menyuguhkan kebolehannya
dengan melakukan pertandingan persabahatan dengan tim
Goettingen Selection di Jahnstadion-Goettingen dengan
berakhir 3-0 untuk Meksiko pada 3 Juni lalu. Bahkan
antuas warga Goettingen juga terlihat ketika tim
Meksiko melakukan latihan-latihan kecil.
Nonton Bareng, Melampiaskan Emosi
Meski diadakan di Jerman tidak setiap masyarakat gibol
yang berada di Jerman berkesempatan untuk menonton
langsung di stadion. Namun harga tiket yang cukup
tinggi dan sempitnya kesempatan untuk langsung melihat
di stadion, tidak menyurutkan masyarakat Goettingen
untuk menikmati suguhan piala dunia kali ini. Misalnya
saja satu tempat luas semacam hangar kereta api di
belakang Bahnhof (Stasiun Kereta) yang terkenal dengan
nama Lokhalle yaitu hall seluas 8.400 kuadrat meter
itu dimanfaatkan untuk menonton bareng dengan layar
lebar. Lokhalle menjadi vanue of the Theatersport
World Cup. Dengan dua video proyektor berkapasitas
10.000 ANSI-lumen dengan ukuran screen 80 kuadrat
meter menghadirkan atmosfir pertandingan mendekati
sebenarnya. Mereka dapat ikut berteriak melampiaskan
kegirangan atau kekesalan terhadap penampilan tim
kesayangannya. Tentu nonton bareng ini tidak gratis.
Paling tidak harus merogoh kocek untuk dapat
menikmatinya.
Meski demikian nonton bareng tidak saja di Lokhalle,
beberapa tempat menyediakan acara nonton bareng yang
semuanya bermuara pada melampiaskan hura-hura
kompetesi bergengsi ini.
Tak kalah menariknya juga dilakukan pelaku bisnis,
kesempatan menjadi tuan rumah perhelatan sepak bola
kali ini tidak disia-siakan oleh kalangan bisnis di
Jerman untuk mendongkrak omzet penjualannya. Berbagai
cara dilakukan oleh pelaku bisnis memanfaatkan
momentum empat tahunan ini. Misalkan saja bisnis
elektronik, dengan memasang penawaran yang cukup
menggiurkan. Beberapa waktu sebelum piala dunia
dimulai, Media Markt, sebuah supermarket elektronik
besar di Jerman menawarkan beraneka ragam merk
televisi yang umumnya adalah televisi layar datar dan
plasma TV dalam berbagai ukuran dengan harga yang
miring. Juga dengan penjualan produk beamer berbagai
merk menjadi produk yang disuguhkan oleh toko
elektronik dengan berbagai diskon. Beberapa toko
pakaian juga menjual pernak-pernik atribut piala dunia
mulai dari kaos, topi, bendera, bola dan aneka ragam
macam lainnya. Sebagai markas tim Meksiko, di sejumlah
toko di Goettingen menyediakan Sambrero topi khas
orang Meksiko.
Akhirnya permenungan terhadap slogan Piala Dunia 2006
pilihan FIFA kali ini sungguh tepat kiranya dilakukan
terlebih merujuk situasi dunia dewasa sekarang ini,
dimana berserakan motto sejauh mata memandang di
jalan-jalan kota Jerman akan terlihat tulisan "Die
Welt zu Gast bei Freunden" - "A time to make friends"
- "Saatnya untuk Bersahabat" - dapat membuat kita
tersadar akan dimulainya pesta yang tak kalah seru,
yaitu pesta persaudaraan dan kebersamaan dalam
perdamaian di tengah kehidupan kita, meski layar pesta
pagelaran Piala Dunia nanti sudah ditutup. Semoga.
*Penulis
adalah penggemar bola, kini sedang studi di Georg-August
University Goettingen, Jerman
Kika
(1)
Iklan hari ini mengusikku tidak saja melihat harganya
yang miring tapi fasilitas yang ditawarkan. QVision
sebuah merk DVD Recording, tidak terkenal memang, tapi
merk ini menawarkan harga yang begitu miring ditengah
ratusan euro DVD recording dengan Merk terkenal
membanjiri pasar elektronik. Harganya dibawah seratus
euro, ok-lah. begitu pikirku selepas membandingkan harga
di beberapa situs
elektronik dan tester barang elektronik.
Meski bukan maniak acara TV aku menikmati benar sajian
acara-acara TV Jerman. Dari yang layak dikonsumsi
anak-anak hingga yang layak dikonsumsi orang dewasa.
Paling tidak ada Kika (Kinder Kanal) yang menyajikan
acara anak-anak sedari dini hingga petang. Bervariasinya
acara kadang nikmat juga berlama-lama di depan tv. Ada
film dokomenter, flora fauna dan Galileo yang bikin aku
harus menipu petugas TV yang datang kerumah untuk
memajak TV, kali ini maaf- ini harus saya lakukan, TV
buntut saya seharga iuran TV dua bulan. Lha, wong
belinya ya second hand, je!
Aku tidak bisa melupakan ekspresi mimik anakku yang
begitu dahsyat, sambil menunjuk ke TV; papa, da..da!
Naturlich!, tidak dapat aku gambarkan dengan kata-kata,
ketika melihat serombolan gajah berduyun-duyun menuju
sungai, ataupun gerak cepat seekor ular melilit
mangsanya. Itulah sekelumit kebiasaan kami setelah
menjemput si kecil dari Kinderkrippe (red: TPA) jam 4
sore, manakala ibunya ada kuliah sore hari. Kami selalu
sempatkan untuk melihat acara flora dan fauna di TV
dengan sedikit tambahan cerita.
DVD recording dan acara TV. Pagi-pagi hari senin kemarin
aku ikutan antri dengan belasan orang sebelum toko di
buka. Persis 09:30 pagi begitu toko dibuka, puluhan
orang berlari menuju outlet penjualan DVD tersebut. Ya,
aku sengaja berburu DVD recording, meski setelah
terlihat dilabel belakang tertulis -made in PRC-, tak
apalah kita bukan golongan pemburu merk, kita cenderung
golongan 'proletar- utilitarian', begitu aku memberi
keyakinan pada diriku-sekedar merelaksasi cupetnya daya
beli.
Nun jauh dari sini, dengan maraknya dunia sinematographi
di tanah air, bergeliat pula karya anak bangsa dengan
ekspresi yang luar biasa. Namun konon,TV kita sering
dijejali oleh banyak acara-acara yang bikin pusing,
genre acara yang amburadul sebagai tanda bergemuruhnya
pusingan bisnis tv, yang konon penuh kreativitas meski
pula mengabaikan aspek edukasi dan identitas bangsa.
Itulah yang menyemangati aku untuk berburu DVD
recording. Singkat cerita aku hanya ingin mengkoleksi
acara 'baik-baik' untuk konsumsi tontonan kelak kalau
pulang, sambil menanti 'beresnya' bisnis saluran TV yang
masih belum beres hingga hari ini, itupun kalau punya
daya beli :(--bersambung--).
Pengalaman studi di LN:
Fenomena Terkini Perguruan Tinggi Jerman (1)
Model pembelajaran di PT menarik untuk disimak. Plus
minus adalah kewajaran sejurus dengan terendapnya cara
pandang kita terhadap dunia pendidikan tinggi (sistem,
model dan outcome) selama ini.
Pada galibnya banyak orang membedakan pendidikan yang
ada di dunia´ ini menjadi dua model ekstrem yaitu antara
sistem pendidikan Eropa daratan dan Anglo-saxon. Entah
diadopsi dengan bulat-bulat ataupun dengan muatan-muatan
khusus dari kedua sistem tersebut. Namun demikian
'sepertinya' sekarang ini sistem eropa dalam
'kegamangan'. Beberapa tahun belakangan hingga sekarang
ada dua model yang diterapkan bersamaan di negara2 eropa
daratan, tentu dengan segala - pro and con-, misalnya
saja, Belanda yang sudah mengenal Master (MSc dan
sebangsanya, padahal dulunya gelar 'drs' adalah gelar
'sakral' dan setara master serta 'berhak' untuk lanjut
Doktor; juga Perancis ada DEA atau DES yang setingkat
master; Jerman punya Dipl.Ing atau Dipl. lainnya (untuk
mencapai Dipl. seorang mahasiswa harus lulus Vordiplom
dan berhak untuk mencapai Haupdiplom...biasanya
pelajarnya disebut sebagai student.rer.nat atau
student.rer.pol..sejurus dengn bidang keahlianya dan
sebangsanya yang siap Doktor.rer.nat.... dll). Dan
hampir semua 'master' (pendidikan sejajar S2) di Eropa
daratan adalah 'by research' atau paling tidak kombinasi
dari 'by course and research'. Jarang ditemui hanya by
course saja. Program yang bermunculan tersebut bisa
bertajuk, Bachelor, Master baik dalam bahasa Jerman
maupun bahasa Internasional Inggris.
Tanggung jawab kompetensi lulusan tidak saja menjadi
tanggung jawab Univ. bersangkutan tetapi juga negara
bagian. Di Jerman, untuk mendirikan program pendidikan
tertentu harus melalui persetujuan dari Menteri Negara
Bagian, karena juga terkait dengan masalah pendanaan
dan kelayakannya. Biasanya universitas akan
berkolaborasi dengan negara bagian bahkan pemerintah
kota dalam hal penyediaan fasilitas bagi mahasiwa, mulai
dari Kantin (red. Menza), appartemen, angkutan (Bus,
KA), diskon beli buku atau barang elektronik bahkan
untuk menikmati konser musik klasik, hingga perpustakaan
kota yang sering terintegrasi dengan universitas
bersangkutan. Tidak heran status student adalah status
yang diinginkan banyak warga negara karena berbagai
fasilitas yang didapat dan merekan dapat berlama-lama di
dengan status student ini.
Seorang mahasiswa, diberi kebebasan untuk menentukan
'masa depannya'. Keahlian mereka gali sendiri sampai
'kedalaman kepuasan' yang mereka inginkan. Mereka diberi
kebebasan untuk memilih mayor dan minor studi. Tidak
mengherankan kalau ada yang mengambil Fach. Ekonomi di
mayor dan Matematik di minor. Atau sebaliknya. Inilah
kadang kala yang menghantarkan mereka mencapai puncak
karier, seorang ekonom mampu membuat software
ekonometrika atau statistik ekonomi terapan dengan 'cita
rasa' masalah ekonomi yang memadai. Contoh lagi, masalah
'skripsi' dan sebangsanya, tidak pernah ada kasus
plagiat dan sebangsanya, karena keinginantahuan mereka
yang begitu tinggi tidak jarang yang hanya untuk menulis
'Skripsi saja', mereka rela mengambil data langsung
negara tujuan (untuk kasus tertentu). Mengapa ini bisa
terjadi, karena dukungan lembaga privat, industri,
partai politik, gereja, negara bagian dan universitas
cukup tinggi tidak saja informasi tetapi juga dukungan
dana. Disamping itu kendala bahasa asing jarang ditemui
oleh mahasiswa disini. Mereka paling tidak paham dengan
baik satu bahasa asing, biasanya Inggris, Perancis, atau
Spanyol (yang didapat dibangku SMA dengan baik).
Berangkatlah mereka ke Afrika Barat untuk yang fasih
bahasa Perancis, atau ke Amerika Latin untuk yang fasih
bahas Spanyol. Untuk ke Asia tak jarang mereka bersedia
untuk berjibaku 2-4 bulan belajar bahasa asing di negara
tujuan secara inten dengan modal bahasa Inggris yang
bagus. Cermati menjamurnya kursus bahasa Indonesia di
Yogyakarta misalnya, di bilangan 'njero benteng
alun-alun selatan'.
'Kegamangan' dan Demokrasi
Sejalan dengan perubahan 'jaman' dan seretnya
perekonomian, serta pergeseran politik yang terjadi di
Eropa dan Jerman pada khususnya telah terjadi penurunan
'kenikmatan' status student di Jerman. Masa keemasan
'kebebasan' status student berangsur-angsur berkurang.
Uang sekolah (SPP) sudah mulai diberlakukan di beberapa
Universitas di hampir semua negara bagian. Demo
besar-besaran mulai tahun 2003 lalu tidak kunjung
membuahkan hasil. Konon masalah kriminal yang tinggi
mengharusnya pemerintah negara bagian Nieder-Sachen
Jerman, misalnya,
harus mengkonsentrasikan budget untuk pendanaan
kepolisiannya. Sehingga dana banyak dialihkan dari
sektor pendidikan ke sektor keamanan. Walhasil adalah
subsidi yang berkurang untuk lembaga riset dan
pendidikan tinggi. Juga kategorikal strata pendidikan
'Eropa daratan' yang kurang umum seperti tersebut diatas
banyak mengakibatkan 'kesulitan' dlm mencari pekerjaan
karena 'gara-gara' gelar 'Diplom' yang katanya sering
ditaruh di level pekerjaan kurang memadai jika bekerja
di luar Jerman. Entah alasan mana yang benar, konon
kabarnya pula tahun 2009 nanti secara serempak akan
diberlakukan penstandarisasian level pendidikan; yaitu
Bachelor,Master dan Doktor. 'Mirip' sistem anglo-saxon
ataupun pen-aglo-saxon-an barangkali. Dan lambat laun
ditiadakanlah gelar Diplom (Dipl.) gelar kebanggaan
alumni Jerman yang selevel dengan Master tersebut.
Terlepas 'kegamangan' standardisasi tersebut tapi bisa
jadi hal ini merupakan realita yang sebenarnya, meski
kadang standar pendidikan memang sulit diseragamkan.
Kegamangan itu seperti menuntut banyak keterbukaan yang
lebih. Jika melonggok kebelakang belasan abad lalu,
konon ceritanya di abad 11-12 lalu di Eropa ini
universitas diorganisir dengan dua cara yaitu pertama,
dikelola oleh mahasiswa dan kedua, oleh dosen. Dalam hal
yang pertama, mahasiswa memilih rektor dari kalangannya
sendiri. Mahasiswa, jadinya, menikmati hak khusus:
demokrasi, kebebasan, self administration. Ini adalah
kemewahan yang luar biasa di jaman monarkhie dan
absolutisme waktu itu. Mahasiswa yang datang dari rantau
memiliki perkumpulan sendiri, yang disebut "nationes".
Kira-kira bisa bayangkan kerumulan kelompok Mahasiswa
Ambon, Jawa, Kalimantan, Papua membuat organisasi
Univeristas sendiri. Ini banyak dipraktikkan dulu oleh
univeritas Italia.
Sedangkan kedua adalah, jika dosen yang menjadi penentu
banyak dipraktekkan oleh Universitas di Perancis. Selain
rektor, jabatan lainnya adalah dekan, senat dan kanselir
(kepala administrasi). Kanselir adalah wakil Paus,
misalnya Bischoff. Dana universitas diperoleh dari
gereja atau kloster, negara (kerajaan) maupun
perusahaan. Tanah biasanya merupakan hadiah gereja atau
kerajaan. Model dan gaya pasti tidak berjalan linier
namun perubahan adalah
suatu kepastian sejurus dengan pemuthahiran pemikiran
civitas akademika dan lingkungan masyarakatnya.
Universitas Jerman adalah mungkin universitas modern
yang kian sengsara. Meski penyumbang banyak peraih
hadiah nobel dan pioner pengetahuan, misalnya saja
Universitas Goettingen yang 'baru' berdiri 1737 sudah
menghasilkan 43 Nobel prize winner, namun nyatanya
outcome dan outputnya harus tertatih dalam komodifikasi
pendidikan pada jaman modern ini. Globalisasi menyeret
sistem pendidikan murah pada logika komersialisasi yang
ditentang habis oleh kaum mudanya (bersambung).
Kenangan Pertama Terbang Ke Eropa
Sehabis mengurus tiket dan menyodorkan kertas ijin
belajar dari Sekkab beserta paspor biru-ku, agar aku
bebas membayar fiskal serta pajak di loket penerbangan
internasional bandara Ngurah Rai Denpasar, aku tengok
lagi orang-orang dekatku yang turut mengantar. Mereka
masih berdiri dengan setia di depan pintu. Ku ayunkan
lambaian tanganku yang terakhir kali. Mereka membalas
mengangkat
tangannya tinggi-tinggi. Lantas semua lenyap ditelan
tembok-tembok tebal. Itu yang masih kuingat benar
peristiwa dikisaran 6 tahun lalu diawal tahun 2000,
tatkala pertama kali terbang dari tanah air ke Eropa.
Aku sendiri menuju Kualalumpur dari Denpasar siang itu.
Ya, MAS, maskapai Malaysia yang aku pilih disamping ada
ego serumpun Asia juga sedikit ada perasaan ‚save' dari
sisi makanan dan kebiasaan, meski aku tahu ada pelayan
internasional yang standard terhadap konsumen
penerbangan internasional. Kartu Boarding aku tunjukkan
pramugari manis itu. Dengan ramah encik pramugari itu
menunjukkan tempat dudukku yang ternyata di dekat
jendela. Duh, senyum manis encik manis pramugari diatas
pesawat tidak dapat menghilangkan `stress'-ku, pikiranku
goyang. Apa benar aku berangkat ke Eropa. Bagaimana
dengan kelengkapan dokument-suratku. Tanpa sanak saudara
dan nihil pengalaman. Bagaimana kalau aku sakit. Semua
menghiasi isi kepalaku. Sambil sesekali kulonggok tas
pinggang berisi dokument penting dan sedikit uang
Deutsch Mark dan Dollar. Meski pendingin ruangan cukup
dingin namun perasaanku malah kepanasan-sumuk.
Dengan ramah pramugari menyuruh semua penumpang untuk
menegakkan kursi dan memeriksa pengingat pinggang. Dan
tak lama kemudian pesawat mulai bergerak mundur. Di
susul deru mesin dan baling- balingnya berputar keras,
memekakkan telinga. Kemudian maju berjalan kencang,
akhirnya tegak berdiri meninggalkan bumi. Sepintas
kulihat keluar sangat mempesona liukan putih ombak
menuju pantai Kuta. Memang indah sempurna negeriku ini.
Sejurus kemudian mataku terus menatap layar televisi
lebar didepan. Menyiarkan ketinggian, suhu udara,
kecepatan serta tempat tujuan. Peta dunia warna
kehijauan di tayangkan. Dilengkapi sebuah gambar pesawat
kecil warna putih yang bergerak merayap.
Cukup melelahkan, hampir 12 jam melintas
pulau-negara-dan benua akhirnya pesawat Boing 747
berkapasitas 400 orang itu terbang berputar-putar tak
kunjung mendarat, meski sudah 30 menit persis ditengah
kota Frankfurt. Rupanya cuaca kurang mendukung di pagi
itu pukul 6 CET, begitu sekilas info dari kapten pilot.
Hatiku mulai dag- dig-dug juga. Tanpa bekal bahasa
Jerman sepotongpun kecuali -Ich liebe dich- yang tidak
mungkin aku ucapkan untuk merespon orang, bisa-bisa kena
gampar mukaku dan tanpa teman membuat aku lumayan
gamang. Membayangkan gegar budaya, suatu tabrakan
peradaban yang mengaduk-aduk suasana hatiku. Peradaban
di Eropa dengan di Asia, bagaikan minyak dan air yang
tak pernah bertemu, begitu banyak orang bilang.
Muncul kembali bayangan wajah orang-orang tercinta yang
aku tinggalkan. Ayah-bundaku, eyang putri, kakak adikku,
pacarku dan sobat-sobatku Membayangkan ketika doa
bersama, sungkeman sebelum berangkat, prosesi langkahan
yang dilakukan eyang putri dan dan ayah- bundaku.
Maklum, meski sebagai orang modern aku tetap
‚nguri-nguri' budaya lokal Jawa. Tentu sikap easy going
tidak muncul begitu saja. Tautan lain membayangkan
bagaimana harus ke toilet yang tak tersedia air,
melainkan hanya ada kertas gulung toilet saja, itu salah
satu cerita kolegaku yang alumnus Jerman. Padahal kertas
itu dibuat mengelap mulut di warung-warung Bakso, disana
untuk mengelap pantat", tegas rekanku lagi sambil
terkekeh. Belum lagi bayangan ‚kekakuan' orang Jerman,
membayangkan gedung tua kotak- kotak kaku bisu, pisau
baja tebal kuat tajam dari Rurh Gebiet, membayangkan
patung Beruang Berlin, membayangkan orang-orang botak
yang tidak ramah dengan auslander.
"Suhu udara plus tiga derajat", kata pramugari di
mikrophone, membuyarkan lamunanku. Meski katanya musim
winter telah berlalu rupanya cuaca masih dingin juga
diluar. Akhirnya aku menapakkan kaki juga di Eropa. Ich
bin in Deutschland. Sambil aku cubit sendiri tanganku,
pertanda aku tidak dalam mimpi. Setelah ambil kopor,
antri lapor aku keluar dari terminal 2 menuju terminal 1
bandara yang harus naik skyline di Frankfurt Flughaven.
Aku mencoba melakukan scaning ruangan luas itu mencari
rekanku yang katanya akan menjemputku. Ternyata nihil.
10 menitpun berlalu. Usahaku mencari teman yang menjeput
tak kunjung tiba. Stress mulai menghinggapi kepalaku.
Dengan bersikap tenang aku menuju Deutsch Bank untuk
mengambil uang. 200 DM waktu itu untuk alokasi uang
pertama, untuk hospitality awal.
Marburg an der Lahn (Marburg yang dilalui sungai Lahn).
Kota itu yang akan aku tuju. Sambil membayangkan kenapa
Jember tidak tertulis Jember dilalui Bedadung (Jember dl
Bedadung). Sebagai suatu kebangaan kecil atas citra diri
kota. Entahlah aku tidak mau berpusing-pusing dengan
itu. Marburg an Lahn, kota itu yang rencananya akan aku
singgahi kurang lebih 3 tahun untuk studi bahasa plus S2
di Philipp Uni-Marburg. Kota kecil ini 1 jam dari
Frankfurt am Main arah atas-arah utara. Aku menuju
informasi untuk menanyakan kemungkinan ke Marburg.
Disuruhnya aku ke stasiun di lantai bawah. Bandara
Frankfrut yang luas itu memang 5 tingkat. Karena Marburg
kota kecil maka tidak dilewati oleh ICE (Inter City
Express) kereta cepat eksekutif yang letak stasiunnya
dilantai atas di Long Distance Station. Aku harus naik
kereta antar kota aja, RE (Regional Express) atau RB
(Regional Banh). Akupun mamandangi lama karcis kereta
plus selembar informasi keberangkatan kereta itu,
selepas dari loket karcis. Beda banget dengan di
Indonesia. Jelas ada waktunya, ada jenis keretanya,
kapan harus transit dan pindah ke gleis (jalur) berapa.
Detail sekali orang Jerman ini, itu kesan yang aku
tangkap. Akupun turun ke gleis. Sejurus kemudian
kebinggungan, kok sepi banget mana orang-orang yang akan
berangkat. Akupun tanya ke petugas kebersihan.
Kelihatannya bukan orang jerman tapi wajah mirip orang
Turki. Komunikasi mulai tidak berjalan karena dia tidak
bisa bahasa Inggris. Keringat mulai mengucur. Aku coba
cari muka-muka asia yang terlihat disitu. Rupanya ada
wanita 40 tahunan. Bisa berbahasa Inggris lancar,
rupanya dia sedang studi doktor di Jerman sini. Aku agak
lega. Kereta meluncur dari Frankfurt Flughaven menuju
Frankfurt (M) Hbf. Rupanya kereta berhenti di stasiun
bawah tanah. Dalam hitungan 3 menit aku harus menuju
gleis 14 dimana kereta RE yang akan membawaku ke
marburg. Dengan bantuan ibu tersebut akupun akhir naik
kereta itu dalam hitungan last minute. Gerbong yang aku
naiki rupanya kelas 1 padahal karcisku kelas 2. Tapi
rupanya kondekturnya mempersilahkan aku disitu, dengan
sedikit greeting dalam bahasa Inggris dia maklum ini
adalah kali pertama aku ke Jerman.
Satu jam kemudian tibalah aku di Marburg dengan selamat
dan tertatih- tatih. Pengalaman pertama yang melelahkan
dan berkesan. Jauh memang dari kesan berlibur ke rumah
nenek waktu kecil dulu, indah manis layaknya gula-gula.
Sepenggal episode hidupku di medio awal tahun
2000 (bersambung).
Catatan
Akhir Tahun: Selamat Tahun Baru 2006
2005 akan berlalu. Bagi bangsa
Indonesia, tepat kiranya kalau kita sebut sebagai 'Jahr
der Katastrophen'. Bencana silih berganti singgah di
singgasana Indonesia. Mulai dari Tsunami yang
meluluhlantakkan Aceh dan Nias dengan 8,9 skala
Ricthernya pun diikuti dengan gelombang raksasa memulai
awal nestapanya bangsa Indonesia. Flu burung telah
menjadi ketakutan nasional, 11 nyawapun melayang
karenanya. Fenomena berdiasporanya kemiskinan di dalam
spektrum yang luas dan lebih jelas makin terlihat. Yang
sungguh memilukan kemiskinan purba masih saja terjadi di
Indonesia, kelaparan berujung kematian di belahan bumi
nan indah di Papua sangat patut kita sayangkan. Juga
tunas bangsa yang terpaksa hidup menderita kerena kurang
gizi, busung lapar dan penyakit endemik lainnya.
2005, regim pemerintah yang mendapat
legitimasi rakyatpun belum mampu membawa amanat rakyat
secara sempurna, belum hadap masalah. Kebijakan demi
kebijakan belum terasa benar manfaatnya. Terlebih
memilukan adalah wakil rakyatpun seakan-akan melupakan
konstituennya. Kebijakan pencabutan subsidi BBM menjadi
titik balik kepercayaan rakyat kepada tuannya. Walhasil
kemiskinanpun bertambah seiring dengan merosotnya daya
beli rakyat. Kebijakan yang patut kita telaah ulang ke
depan, karena terlihat eksplanasi argumentatif
pemerintah masih saja bercelah. Meski demikian berharap
’rumah reformasi’ kita tidak roboh oleh tikus-tikus yang
mengkorupsi bangunan rumah kita. Berharap banyak
pemerintah mampu memperbaiki dan merenovasi sebagai
sikap yang lebih tepat dari pada merobohkan, sebelum
tergerus oleh wabah ’korupsi’ yang sudah menuju daerah
fondasi ’rumah reformasi’ kita.
2005 bencanapun masih belum berakhir.
Trust, saling percaya diantara elemen bangsapun sebagai
modal sosial untuk bangkit dari keterpuruakn ekonomi
rupanya juga meluncur pada titik terendah. Cermati
tragedi bom Tentena, penembakan misterius di Palu,
tragedi kelompok Mahdi dan jemaah Ahmadiyah, kelompok
Lia Eden. Masih juga ditambah dengan aksi teroris Bom
Bali 2005 dimana nyasar ke sejumlah kafe-yakni Cafe
Nyoman, Cafe Menega itu. Berharap banyak dengan kematian
biang terorist Dr Azahari semangat memperbaiki modal
sosial yang terberai- terlantakkan dapat kembali disusun
rapi.
2005, proyek Indonesia Bangkit ternyata
tidak bisa jadi pengungkit yang kuat. Olahragawan kita
ikut-ikutan tidak berkutik laksana orang yang
berpenyakit, terkapar di peringkat lima perolehan medali
pada SEA Games XXIII Manila, November-Desember lalu.
Kiranya benar kalau Indonesia 2005
adalah laksana acara TV di premium time, semua
orang ingin melihat, semua orang ingin menonton, dan
semua orang berharap atas akhir cerita. Meski ternyata
jalannya cerita jauh meleset dari 'resensi cerita yang
dibuat'. Cermati APBN yang harus direvisi. Bak film
Ghost cinta itu tercerai. Bulan madupun berlalu.
Bulan madu antara pemerintah dan rakyatnya. Akankah
bulan madu kedua terencanakan?
2005, bagi kita di Jerman adalah masa
'perjuangan', masa bertapa, masa sengsara, masa meniti
kedewasaan. Meski bagi orang Jerman mungkin adalah
tahun 'Vom Kanzler zur Kanzlerin' yang ditunggu dengan
segala kejutan-kejutan di era kepemimpinan baru ini.
Meski masa yang pendek, semoga kita mampu belajar banyak
dari negeri dimana sekarang kita tinggal. ‘Memilih dan
Memilah’ adalah laku kita yang bijak, dengan membuang
yang kita pandang tidak baik, tidak cocok bagi
nilai-nilai kepatutan kita dan mengadopsi nilai-nilai
yang baik, positif, modern sebagai penyelaras dalam
bergaulan berbangsa dan bernegara juga dalam pergaulan
global. Semoga kita mampu menjadi insan akademia yang
asketis yang militan dibidangnya dan melek realitas.
Beberapa saat lagi kita menyambut
datangnya sinar mentari baru - Matahari 2006. Happy New
Year! Frohes neues Jahr! Selamat Tahun Baru 2006, Semoga
rejeki, kesehatan dan keberhasilan selalu menyertai kita
semua. Berpanjat syukur kepadaNya lebih khusuk,
bergandeng tangan mesra menjalin silaturahmi lebih
tulus, berempati lebih ikhlas, berpikir positif nan
konkrit mungkin yang harus kita usahakan untuk menuju
asa kita semua. Indonesia menjovial, Indonesia mondial,
Indonesia yang bangkit tak pelak adalah tugas yang
menjadi beban kita kedepan.
Insyaallah kita akan bertemu di tahun
yang baru dengan spirit dan nuansa yang lebih ceria.
Semoga!
Goettingen, 31 Desember
2005
Mudik
dan Ketupat: secuil pernik lebaran
Ekspresi
kegirangan atas lelaku puasa sebulan penuh di
bulan Ramadan biasanya diakhiri dengan melantukankan
Takbir di malam akhir Ramadan. Gema Takbir membahana
menyebut asma Allah tiada henti membelah pergantian
waktu. Takbiran yang mengumandangkan kalimat takbir,
tahmid dan tahlil, dihayati atau tidak setidaknya ketiga
kalimat tersebut bermakna dalam yaitu peluruhan terhadap
pengakuan kecilnya manusia dihadapan Allah. Ketiga
kalimat thayibah tersebut memancarkan
penghayatan sejati atas kebesaran dan juga
pancaran kasih-Nya yang tiada terhenti.
Berbarengan
dengan takbiran itupula, ratusan moda tranportasi
berbagai jenis mengangkut kaum pemudik menuju tujuan
masing-masing, biasanya adalah dari kota ke desa, dari
urban ke rural. Fenomena mudik yang unik.
Juga malam hari akan masih terlihat kegiatan
persiapan lebaran di dapur-dapur
rumah. Ibu-ibu mempersiapkan lebaran dengan
jajanan dan masakan khas lebaran Idul Fitri. Biasanya
yang tidak terlupa adalah ketupat yang merupakan
simbolisasi wong Jawa ‘ngaku lepat’ (red:
mengaku salah).
Mudik
Kegembiraan
dan suka cita menyambut lebaran adalah manakala dapat
berkumpul dengan keluarga, dengan handai taulan, dengan
kawan dan karib yang lama tidak bersua. Intinya adalah
bersilaturahmi. Dalam
ajaran Islam ditandaskan bahwa manfaat silaturahmi di
antaranya dapat memanjangkan umur dan menambah rejeki.
Maka tak khayal
mengusahakan untuk mudik adalah satu-satunya cara untuk
mewujudkan amalan hablum minannas. Fenomena yang
tidak dapat dihindarkan tiap tahunnya. Inilah
ritual lebaran yang selalu terjadi. Paling tidak menjadi
konsumsi besar media massa akan hinggar bingarnya mudik.
Lebih jauh kondisi ini disokong oleh kuatnya penghayatan
bahwa silaturahmi tidak membedakan derajat, pangkat,
semat, yang diyakini
dari sinilah kebersamaan dan kerukunan tetap langgeng
abadi. Aja lali marang asal-usule ‘jangan lupa
terhadap asal kita’ begitulah sering kali kita dengar ujar-ujar
dalam bahasa Jawa dari orang tua kita. Nilai-nilai
inilah yang nampaknya menjadi magnet yang begitu dahsyat
bersemayam
kuat di lubuk hati
umat Islam untuk mudik.
Bahkan nilai-nilai mudik telah berkombinasi
dengan tradisi dan budaya setempat, baik dari sudut
pandang religi maupun kebersamaan sosial sebagai
manifestasi hasrat manusiawi dari fitrah manusia sebagai
mahluk sosial. Dalam wacana kekinian mudik adalah
fenomena unik dan klasik. Mudik tak hanya untuk
bermaaf-maafan, tapi lebih dalam adalah suatu
reunifikasi dengan keluarga, kawan sepermainan dengan
berurai pernik-pernik didalamnya.
Mudik adalah kearifan lokal yang membawa
nilai-nilai nurani hasil olah budi pekerti yang sesaat
mampu menenggelamkan ambisi duniawi semata dan
meredupnya pancaran hedonis sesaat. Bisa jadi hal ini
adalah hasil
‚perjuangan’ sebulan penuh merenung arti hidup di
Ramadan suci yang mampu melupakan sesaat budaya urban
yang ‚pragmatis’. Mudik membawa ritual untuk saling
berempati, untuk saling bertemu dan menyapa secara
langsung melepas rindu, untuk berbagi cerita dan
pengalaman hidup.
Pun
tak kalah menariknya adalah dengan mudik semua menjadi
instropeksi. Ikuti saja bagaimana semua sistem berjalan
disaat waktu-waktu mudik. Biasanya H-7 hingga H+7.
Satuhal yang gampang diingat adalah sistem lalu lintas
dan transportasi. Disini
akan terkoreksi dengan fenomena mudik ini. Masih
lemahnya sistem lalu lintas kita terkontrol dan
terlaporkan penuh melalui selayang pandang media massa.
Begitu juga dengan lemahnya disiplin manusia akan
terdengar miris dengan banyaknya kecelakaan dan
warna-warni ketidakpatuhan terhadap aturan yang ada.
Fenomana mudik seharunya menjadikan fenomena aktual
tahunan untuk mengkoreksi dan berbenah atas lemahnya
sistem yang ada. Ikutan negatif dari mudik sering
kali juga menjadi 'keluhan' masyarakat dan pemerintah.
Fenomena urbanisasi masih saja terjadi menjadi daya
tarik tersendiri dari 'pamer sesaat' pemudik atas
'terbawanya barang-barang pemikat' dari kota ke desa.
Ketupat
Menjelang
hari lebaran biasanya ibu-ibu mempersiapkan lebaran
dengan jajanan dan masakan khas lebaran Idul Fitri.
Biasanya yang tidak terlupa adalah ketupat, tanpa kupat
terasa lebaran kurang nikmat. Membuat ketupat adalah
ketrampilan tersendiri, tidak semua orang bisa dan tidak
jamak diajarkan di sekolah. Bagi yang belum bisa membuat
sendiri, biasanya dihari-hari menjelang lebaran pasar
akan dipenuhi penjual ketupat baik sudah jadi maupun
yang masih bungkus kulitnya saja (kupat luar).
Ketupat merupakan simbolisasi wong Jawa
yaitu ‘ngaku lepat’ (red: mengaku salah).
Berketupat adalah berlebaran (riyayan). Ketupat tidak
dapat dilepaskan dari peringatan riyayan begitu pula
sebaliknya. Hal inilah menjadikan kelangengan
ketrampilan ketupat membuat tidak terelakan, ketupat
adalah tradisi turun temurun. Riyayan yang khusus
diperingati biasanya adalah hari raya Idul Fitri. Dalam
perspektif budaya Jawa, ketupat menyimbolkan banyak
banyak nilai-nilai religi. Kupat sendiri adalah
adalah sejenis lontong, nasi yang dipadatkan yang
terbungkus kupat luar yang berbentuk jajaran genjang
yang dibuat dari daun kelapa yang masih muda berwarna
kuning emas (janur), sebagai pengambaran akan
simbolisasi kemenangan atau sifat agung. Kata janur
berasal dari kata ja datang lahir dan nur
cahaya. Kupat dibuat dari dua janur, sebagai lambang dua
cahaya, yaitu nur cahaya Allah Swt dan cahaya Rasul (nur
Muhammad). Jamaknya tradisi kupatan sendiri
pelaksanaannya dapat berbeda-beda tiap daerah. Ada
kupatan yang dilakukan sesaat sesudah sholat Ied, atau
kupatan dilakukan pula pada 7 hari sesudah salat
Ied.
Simbolisasi
ketupat oleh orang Jawa terasa tidak mengada-ngada.
Ketupat sering diartikan ketelu papat, ketiga
empat. Hal ini merujuk pada konsepsi rukun Islam bahwa
selama beribadah di bulan ramadan konsentrasi
pengamalan nyata pada rukun Islam ketiga dan
keempat, yaitu puasa dan zakat (fitrah). Dimana pada
kedua rukun Islam menyiratkan proses pembersihan
kesalahan (dosa) batin. Biasanya akan dilanjutkan dengan halal
bil halal antarsesama sebagai pembersihan kesalahan (dosa)
lahir, mengingat dosa manusia ada dua, yakni dosa lahir
dan batin. Maka jamaklah permohonanan maaf tidak
saja lahir tapi juga batin (mohon maaf lahir
batin). Tata cara makan ketupatpun menjadi
unik dicermati, jikalau seseorang hendak makan ketupat
sebisanya jangan sampai janurnya dilepasi, namun dibelah
dengan pisau menjadi empat. Maksudnya (1) kita telah
lebaran selesai dalam melawan hawa nafsu, insyaallah berhasil
mengendalikan dan membakar 4 nafsu yang berada dalam
diri sendiri (amarah, luamah, sufiah, mutmainah).
(2) Dosa-dosa kita telah terampuni dan dimaafkan, baik
dosa kepada Allah Swt maupun sesama (hablum minallah dan
hablum minannas). (3) Hati kita menjadi suci kembali,
kembali ke fitrah, dan semoga tersedia jaminan masuk
janah. (4) Hidup dan sikap kita harus semakin luwih
(lebih), semakin baik dalam berbagai hal (la’alakum
tattaqun), sehingga ibadah kita semakin meningkat.
Mengingat setelah bulan Puasa/Ramadan adalah bulan
Syawal, yang artinya bulan peningkatan ( lihat Imam
Sutardjo, 2005).
Dua
kearifan lokal yaitu mudik dan ketupat tersebut adalah
suatu tradisi yang menyokong proses pemantapan keimanan,
untuk bersungguh-sungguh pulang kembali kepada fitrah
kita sebagai umat Islam. Oleh karenanya sepatutnyalah
menjadi perenungan batin kita lebih mendalam. Mudik
adalah memperlihatkan kepada kita semangat hidup manusia
yang selalu mendedikasikan hidupnya untuk keluarga dan
kerabat dengan penuh cinta. Ketupat mengambarkan kita
semangat untuk saling memaafkan dan berlapang dada
memberi maaf senyampang masih diberi umur panjang sebelum
sekarat (dari berbagai sumber).
Semoga
lebaran kali ini tak kalah ‘unik’ mesti tanpa mudik
dan terasa
‘nikmat’ meski tanpa ketupat. Akhirnya ‘kupat
duduhe santen, kawula lepat nyuwun ngapunten’ -- Kupat
kuahnya santan, saya punya kesalahan mohon dimaafkan.
Goettingen , 1 Syawal 1426 H/3 November
2005 (02:06 CET)
Memandang
Beda Pandangan
http://www.kalam.de/kalam-magazine-home.htm
Meskipun
kita setuju bahwa perbedaan cara pandang tidak saja
antar individu, namun lebih besar dapat dalam bentuk
kelompok ataupun bangsa dalam memaknai sesuatu. Ini
laksana sebuah dinamika
kebudayaan tidak pernah berjalan linier. Setiap
perkembangan kebudayaan memiliki varian-varian yang
kaya dan bernuansa. Karena itu, kebudayaan dalam
bentuk dan isi bagaimanapun, telah dipahami sebagai
"jaringan-jaringan makna" hidup yang
dikembangkan dan mengisi batin kehidupan sosial umat
manusia. Maka tak dapat dipungkiri perbedaan cara
pandang atas suatu masalah dunia ataupun agama
sekalipun tidak lepas dari budaya seseorang atau
bangsa yang melatarbelakanginya. Meski mungkin tidak
dalam esensinya tapi paling tidak muncul dalam
penafsirannya.
Berangkat
dari cara pandang ataupun cara menafsirkan inilah
terkadang menyeruak pertikaian beda opini dalam
komunitas Islam. Jika kita maknai lebih dalam maka
sesungguhnya ialah lebih pada perbedaan dalam masalah
interpretasi. Adalah bentuk pencarian dalam bingkai
kontruksi proses yang mendekati bentuk pengamalan
agama dengan kontek budaya dan sosial setempat adalah
yang paling sering kita konsumsi dalam hidangan
kehidupan sosial manusia. Contoh jamak adalah
penilaian terhadap problem relasi politik dan agama
yang dicantolkan dalam pergantian kepemimpinan, adalah
persoalan keseharian manusia. Ia lebih bermakna
sebagai proses interpretasi masalah dengan menggunakan
agama dan simbol-simbolnya untuk kepentingan kehidupan
manusia. Disini paling tidak kita bisa melihat peran
dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman
masalah sosialnya. Posisi manusianyalah yang sangat
penting disini. Dan manusia Islam sangat potensial
sebagai kadar penentu suatu arah budaya.
Dalam
pandangan Islam, manusia menempati posisi sentral yang
juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan
utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana
memahami manusianya. Berbagai persoalan kehidupan yang
dilakoni manusia adalah sesungguhnya persoalan agama
yang sebenarnya. Pergulatan hidup seseorang pada
intinya adalah pergulatan keagamaannya. Berangkat dari
itu kearifan akan hadir tatkala memandang kehidupan
yang teratur tidak dalam hal fisik semata, ia lebih
pada penghormatan terhadap perbedaaan sebagai hal yang
luar biasa. Amuk massa yang sering terjadi di bumi
pertiwi lebih dikarenakan tidak mampu untuk memahami
betapa nikmatnya perbedaan itu. Singkatnya perbedaan
mempunyai satu unsur yaitu keteraturan. Pandanglah
perbedaan itu sebagai suatu kekayaan yang alami dalam
kehidupan ini. Apabila perbedaan ini dapat
dimanfaatkan dengan baik, maka kemajuanlah yang akan
dicapai dalam kehidupan ini. Ibarat sebuah lukisan
yang sedap dipandang mata karena sangat menawan,
sebenarnya merupakan
kumpulan dari warna-warna yang berbeda dan membentuk
suatu perpaduan dan kesatuan. Akhirnya muncullah
keharmonisan dalam sebuah lukisan. Seperti halnya
kehidupan kita, perbedaan yang kita punyai merupakan
kekuatan yang saling melengkapi, dan kekuatan inilah
yang mendorong kita untuk bisa hidup saling mencintai,
saling menghargai dan menghormati, saling tolong
menolong, menjaga kerukunan membentuk kehidupan
yang harmonis. Terlebih ditengah, masalah yang sedang
menimpa kita semua adalah bagian dari karunia Allah
SWT. Dan sepanjang kita sikapi dengan cara yang
benar-- dapat membuat kita menjadi semakin maju,
beradab, dan semakin kuat dalam menghadapi masa yang
akan datang ditengah perbedaan yang tidak dapat kita
elakkan. Terakhir semoga kita mampu memaknai lebih
dalam sebagaimana
sabda Rasulullah saw.,"...Perbedaan
merupakan sebuah rahmat."
/Goettingen-April 2005/
Catatan
singkat : Singapura dan Malaysia, dimana bedanya?
Semangat
"ganyang Malaysia" kini sedang menggema
kembali, sebagai cermin nasionalisme kebangsaan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa jujur saja ingatan
akan seruan Sukarno puluhan tahun lalu relevan dengan
kasus ‘penyrobotan’ Ambalat oleh Malaysia kali
ini. Ingat
pula Ligitan dan Simpadan. Muka kita sempat merah
padam dibuatnya dan hasilnya langsung lesu karena
kalah telak di meja diplomasi. Kasus Ambalat ini,
sepertinya benar-benar menjadi puncak naiknya darah ke
otak yang mengerakkan secara reflek syaraf-syaraf
motorik kita. Terlebih sebelumnya telah digebukinya
TKI kita disana yang dilansir media cetak dan
elektronik. Inilah kasus kita dengan Malaysia. Bukan
pertama kali, dan mungkin akan terulang kembali.
Namun,
bagaimana dengan kasus dengan Singapura?
Kembali kebelakang ingatlah
kasus reklamasi pantai Singapure yang membawa
ber-ton-ton pasir dari kepulauan Indonesia. Kasusnya
lumayan ramai waktu itu, tapi selayang pandang
sayup-sayup hilang dari peredaran. Entah tidur
nyenyak diranjang yang mana.
Jelas
sepintas terlihat bahwa sikap lebih lunak terhadap
Singapura dibanding Malaysia didalam kasus
‘pencurian’ kedaulautan negara ini. Yang jelas
keduanya ada muatan ‘nilai harga diri’ yang kental
dikandunganya. Paling tidak tatapan kita mengarah pada
apa yang terjadi kini. Semua mengarah pada
‘nilai-nilai ekonomi’ yang ada. Konon trilyunan
rupiah ada di Ambalat dari SDA minyak dan gas bumi
yang tertanam jauh entah di dasar laut atau diam manis
di bumi Ambalat. Nilai-nilai ekonomi inilah yang
membawa kapal-kapal perang kita berlayar hingga kesana
dan hilir mudik pesawat pengintai menembus angkasa
lautan Sulawesi. Sangat
hiruk pikuk jika kita bandingkan urusan
menyisir letak koruptor di rambut Singapura. Ataupun
bergesernya daratan Singapura menantang pingiran batas
Indonesia. Tak apalah dak ada harganya?.......Hitungan
dagang memang akan mengarah pada pemikiran bahwa untuk
apa mati-matian membela barang tak bernilai (ekonomi).
Seperti mengurus reklamasi pantainya Singapura.
Kalaupun ada ngak banyak kita kecurian. Malah habisin
uang banyak, belum tentu menang di sidang Mahkamah
Internasional. Toh ada banyak pejabat Indonesia yang
malah makin 'senang' dibuatnya. Dalam dunia dimana intensif ekonomi telah menjadi
raja, maka hukum ekonomilah yang berlaku. Jelas tak
apalah kita membawa puluhan armada perang ke sana.
Persoalan
insentif ekonomi
ini sedikit banyak mewarnai konflik-konflik
batas kelautan di wilayah Asia Tenggara, seperti
konflik di Laut China Selatan, termasuk Ambalat.
Minyak
bumi…minyak bumi..itu adalah jawaban dari
ketersinggungan harga diri kita. Dengan keterpurukan
ekonomi yang tak kunjung berakhir, mengharap komoditas
masa depan ini akan menjadi obat mujarab menyembuhkan
kemiskinan, meski kita belum dapat mengolahnya
sendiri. Masih minta bantuan dan ngak bisa menghargai
barang kita sendiri. Semua harus ikut aturan
internasional katanya.
Meski
sebenarnya kalau kita pikir lebih jernih, Singapura
tidak lebih arogan dibanding Malaysia. lihat saja
bagaimana mereka
merusak kedaulatan dan kehormatan Indonesia
melalui kasus Indosat, kasus pasir laut, illegal
logging, persembunyian koruptor, tidak mau ekstradisi,
judi gelap hingga beromzet milyaran.....dan entah
apalagi. Ngak ada data akurat untuk urusan ini.
Nah,
masih perlukah sikap elegan dan bermartabat menghadapi
ini semua? Diplomasi atau perang. Perang atau
diplomasi. dengan mengusung tinggi-tinggi slogan
Ganyang Malaysia sebagai bentuk ketersinggungan harga
diri bangsa? Silahkan kembali ke hati nurani
masing-masing. Yang jelas Malaysia lebih rapi dan forward
looking mengkoridori cita-cita rakyatnya.
Indonesia, entah pusing aku mengagas ini!???
40th FE Universitas Jember
Tak
terasa November ini (2004) fakultas kita menginjak
usia ke 40 tahun. Usia yang harusnya dipenuhi dengan semarak
kegirangan dan juga
mawas diri.
40 tahun sudah, beribu-ribu lembar kertas tertoreh
tinta mesin tik, tinta printer bertulis segudang ide keilmuan yang
tertulis manis kata
skripsi yang tidak lupa tertulis 'kupersembahkan untuk
ayah-ibu atau my love', juga dokumen tertulis nama-nama alumni
tertulis kata penuh
bangga 'Ijasah' dengan gelar keren drs/SE yang tidak
mudah meraihnya.
40 tahun sudah, tangis dan tawa beraduk di luar
ruangan ujian. disertai maki-maki ketidakpuasan atas hasil yang
dicapai, pun juga senyum puas atas prestasi teraih.
40 tahun sudah, beribu-ribu remaja yang baru
menanggalkan seragam sekolah menengahnya merasakan indahnya kampus penuh
cita dan cinta
bak galih dan ratna. penuh warni gaun dan harus
parfum.
40 tahun sudah, guru-guru kita yang mengantarkan
menapaki cita itu telah usur, memutih rambutnya dan bahkan tertanam di
tanah makam
tanpa ada kenangan yang berarti.
40 tahun sudah, staf fakultas yang pagi hari dengan
setia mendahului membersihkan ruangan kuliah dan menyiapkan kapur,
spidol atau OHP yang hingga kini tak kunjung jadi PNS golongan II atau
I.
40 tahun sudah, Fakultas yang seharusnya marak dihiasi
oleh pernik-pernik kegiatan mengolah rasa, emosi dan karya nyata
pada level
lokal, nasional, regional dan internasional masih
dipusingkan dengan 'orientasi' dapur rumah yang harus ngebul bagi
civitas akademikanya.
40 tahun sudah, mahasiswa jengkel dengan kuliah yang
sering ganti jadwal, pun dosen yang mengumpat atas coretan tanpa
arti di lembar
jawaban ujian.
40 tahun sudah, cantiknya ruangan kuliah semakin
terasa. kursi baru, lantai keramik, dan semakin lega dengan volume ruagan
yang semakin
luas.
40 tahun sudah...suka itu beraduk dengan duka..antara
tangis dan tawa dan antara masa lalu, kini dan masa depan yang tidak
harus kita
lupakan begitu saja....
masihkah ada yang penuh Cinta dan Cita melihat 'pasang
surutnya' fakultas kita? entahlah...dunia toh terus
berputar..yang pusing silahkan cari obat sendiri, yang suka ngak usah ingat
yang duka, yang
menangis silahkan menangis dengan keras...toh sekarang
dunia sudah
berubah...yang berpesta puaskanlah sampai pagi
hari.....bukan begitu?
Adhitya/FE-IESP 90-alumni 94
Ibu
Tiap
kali aku kayuhkan sepedaku untuk berangkat 'kerja' ke
Institut pagi-pagi pasti melewati Kindergarten (taman
kanak-kanak) yang terletak bersebelahan dengan taman dan
sekalian kuburan kono, karena itu jarak terpendek untuk
menuju ke Institut, dari pada memutar melewati Innenstad
Goettingen (tengah kota). Kuburan plus taman itu
namanya Albanifriedhof. Memang tampak bukan
seperti kuburan di Indonesia layaknya. Entah dulu mana
antara kuburan kuno dan taman itu. Tapi jelasnya taman
kota dan kuburan menyatu. Berdampingan pula dengan taman
mungil untuk anak-anak. Tidak ada rasa takut atau
angker. Meski nisan besar itu mensyaratkan pesan bahwa
suatu saat kita pasti kembali. Sekarang disebelahku
sedang tumbuh berkembangnya kehidupan, namun jelas nan
pasti terkubur suatu saat nanti. Begitu kira-kira
isyarat nisan itu berdialog dengan celoteh anak balita
bermain ayunan. Itulah rahasia Tuhan: lahir, tumbuh dan
mati.
Dulu
sulit aku bisa menerima ajaran surga ada ditapak kaki
ibu. Pernah bahkan suatu hari aku angkat kaki ibuku
untuk aku amati telapak kakinya. Kiasan itu sulit aku
pahami waktu kecil dulu. Tumbuh dewasapun kadang masih
sulit untuk bisa menerima kiasan itu. Di media massa aku
baca seorang ibu yang mantan Ibu Negera seperti Imelda
Marcos suka membalut telapak kakinya dengan fancy
shoes yang jumlahnya konon ribuan pasang itu
sementara diluar istananya banyak rakyat Filipina yang
sulit makan. Mana mungkin surga ada ditelapak kakinya,
apa tidak mungkin malah neraka yang diciptakannya. Aku
coba kritisi kiasan itu lagi.
Lanjut pikir yang dimaksud surga adalah
bukan ibu sebagai
jabatan melainkan ibu sebagai peran, yaitu totalitas
seorang wanita yang tulus ikhlas
dan welas asih mengayomi
kehidupan sesama manusia
dari mungil dan tak berdaya hingga dewasa.
Sepertinya baru jelas makna kiasan itu. Memang surga
menampakkan bentuknya. Minimal mudah teraba dan terlihat
perbuatan-perbuatan
surgawi, yakni suatu
tindakan total unselfishness, senantiasa memberi
tanpa mengharap kembali. Seringkali
pula aku lihat ibu-ibu muda mendorong Kinderwagen
(gerobak bayi) dengan tas dipunggung penuh belanjaan
menuju Haltestelle menunggu Bus Kota. Dengan
keikhlasan menerima ‘rewelan’ balitanya yang tidak
puas dengan es creamnya. Melihat adegan itu, teringat
betapa kekagumanku
pada ibuku, meski capai dengan segala rutinitas seharian
baik di kantor dan di rumah, masih bersedia mengurai
cerita dan diimbuhi dendang
segala untuk mengantarkan tidurku, kenangku waktu kecil
dulu.
Apa
yang dicari oleh ibu yang susah payah berdendang kepada
seorang balita yang papa dan tidak bisa apa-apa. Ibu
juga senantiasa hanya menjadi keranjang sampah. Tapi ibu sejati tidak pernah mengeluh. Karena
dia tidak dalam kapasitas ibu pejabat. Tapi ‘peran’
ibu sangat penuh makna dan cita. Bak sinetron tidak saja
sebagai pemain bahkan sekaligus merangkap sebagai
sutradara dan kameramen. Yang meneropong adegan panjang
buah hatinya dari yang papa hingga mungkin telah
dijuluki ‘Papa’.
Pamrih
apa yang ibunda inginkan? Sudut pandang kaum sinis pasti
akan menjawab, itu kan sudah biasa, lumrah. Mereka kan
hanya berinvestasi. Ingin ‘asuransi’ dihari tua.
Ingin memutar waktu, bahwa balitanya kelak yang akan
melindunginya. Ini tidak benar. Das ist total
falsch. Ingatku, mesti aku sudah sudah bekerja,
melanglang ke egeri orang dan punya duit. Ibuku selalu
bertanya, apakah kamu perlu uang, nak? Jelas aku malu.
Tapi itulah ibu. Penampakan jelas ciri ibu
adalah senantiasa ingin memberi tanpa mengharap kembali,
tak perduli seberapapun
yang beliau punya.
Misteri
terdalam kehidupan paling tidak tercitrakan dari peran
seorang ibu yang didalam setiap gerak dan langkahnya
teraba dan tercium aspek-aspek surgawi yang sulit
dikalkulasi dengan metodologi empiris duniawi. Bisa jadi
para ibu adalah representasi dari malaikat yang
diturunkan ke bumi hanya untuk ‘mampir ngombe’ dan
setelah perannya selesai bergegas terbang kembali ke
sorga. Bahkan ucapan ibu adalah doa yang mustajabah. Sungguh
tak terkira peran seorang ibu.
Entah apapun julukannya, mama, umi, muti, ibu,
bunda, embok. Ibu tetap tidak peduli dengan pro
kontra tentang stereotipe
perempuan yang terus didengung-dengungkan dan
dilanggengkan dengan perayaan Hari Ibu. Dia pasti
berjalan dengan ‘perannya’ yang tulus.
...kasih
ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya
memberi tak harap kembali bagaikan surya menyinari
dunia....
Adhitya
Wardhono
Kagem
‘Ibuku’ yang untuk kali pertama dan selamanya pada
lebaran 2003 ini aku tidak bisa sungkem dan menciummu,
karena kau telah kembali ke sang Khalik.
Pemimpim
dan Profesionalisme
Menjadi pemimpin pasti menjadi idaman setiap orang.
Bahkan memimpin doa atau mengali lubang kuburpun bisa
menjadi kebanggaan orang. Tetapi bukan berarti mudah dan
gampang mewujudkannya. Tuntuntan untuk profesional dari
seorang pemimpin pasti ada. Pemimpin dan profesional
kadang masih mengalamai trade off. Jelas bahwa dalam
terminologi profesionalisme terkandung elemen
progesivitas, keadilan, kejujuran, kemajuan dari kerja
demi sesama karena Allah dan harusnya menjadi keyakinan
dalam diri setiap pemimpin itu sendiri. Muslim yang
sadar sebenarnya sudah berikrar untuk profesional
minimal melalui sholat lima waktu dengan doanya =
"bahwa sesungguhnya sholatku, ibadahku, bahkan
hidup dan matiku hanya untuk Allah semata". Dengan
begitu jadilah pemimpin diri Anda sendiri dengan
profesional sebelum memimpin orang lain. (Adhit,
26.11.2001).
Muslim
Kaffah
Stereotipe Muslim dalam peradaban modern masih selalu
terpojok- termarjinalisasi dalam pergaulan internasional.
Muslim selalu diidentikkan dengan orang keras,
cinta terorisme, penggekang hak asasi manusia dsb. Tentu
saja itu argumentasi yang tidak dapat begitu saja
dibenarkan dan tidak begitu saja disalahkan. Suatu
paradoksal bahwa manusia muslim Indonesia (katakanlah)
yang masih homo religi masih saja terjebak perilaku yang
jauh dari Islam. Perlombaan negara dengan praktek
Korupsi tertinggi hampir kita yang menang. Sungguh suatu
ironi. Muslim kaffah - muslim sejati, total dan utuh pasti jauh
dari itu. Seorang muslim kaffah, setidaknya
mengedepankan tiga elemen dasar, yaitu pola batin, pola
pikir, dan pola perilaku. Semoga kita (muslim Indonesia
terutama) mampu untuk sebagai khalifah fil'ard menjadi
sesuai dengan amanah yang diembannya....(ya Allah
peliharalah pola tingkah kita didalam jalanMu)
(adhit:
-
di tengah cantiknya bulan suci Ramadhan. 25.11.200)
Welfare
Religius
Jika dalam ilmu ekonomi sudah jelas bahwa menciptakan
welfare state adalah dambaan setiap bangsa. Bangsa yang
'gemah ripah loh jinawi'. Semua serba tentram tiada
kekurangan sandang, pangan dan papan. Namun tidak
demikian dengan suatu Agama. Agama yang diturunkan lewat
nabi-nabi jelas membawa bait-bait Illahiah yang dogmatis
yang fair untuk para konstestan, pengikut, partisipan.
Untuk itu pemahaman agama secara subtantif, nalar,
produktif harus menjadi kerja besar semua umat untuk
mewujudkan peradaban. Agama harus mampu menyadarkan
umatnya yang terlalu teosentris menjadi antroposentris.
Tidak saja ukrawi tapi juga duniawi. tanpa meninggalkan
pesan-pesan Illahi. Agama masa depan adalah agama yang
mampu menampilkan sosok agama dunia agama kemanusiaan.
membawa peradaban kearah kesejahteraan umat
manusia.(adhit, 25.11.2001).
Lingkungan
dan Agama
Sungguh gelisah anak manusia menanggung derita bencana
yang tiada henti. Bencana alam hampir terjadi di pelosok
Nusantara. Keputusasaan dan derita badan serta mental
menjadi manusia resah gelisah memandang masa depan.
Menghadapi semua ini biasanya Tuhan Allah s.w.t
yang menguasai seluruh alam menjadi tempat mampir untuk
ditanyai. Rasa religi manusia terusik dan sayangnya
melibatkan Tuhan ikut bertanggung jawab atas bencana
alam yang terjadi. Pemahaman bahwa bencana adalah murka
Tuhan menjadi wacana teologis konvensional yang
seharusnya didekonstruksi. Mengapa? Kerusakan lingkungan
alam lebih cenderung pada pemahaman yang keliru atas
petunjuk Illahi. Bukan karena murka Tuhan Allah s.w.t.
Citra bahwa perusak lingkungan tidak lebih dari kafir
ekologis lebih tepat untuk itu. Bukankah dunia masa
depan adalah dunia yang ramah lingkungan? (adhit, 24
Nopember 2001)
Agama
dan Politik
Tidak dapat dipungkiri ajaran agama dimaksudkan untuk
membawa manusia mengenali batas-batas kemanusiaan dan
mempunyai potensi menumbuhkan peradaban. Disatu sisi
banyak sekali bermunculan partai politik yang
mengatasnamakan agama. Problemnya menjadi komplek bahwa
sering kali agama menjadi kendaraan politik belaka.
Untuk itu sangatlah mendesak untuk memposisikan
agama yang diyakini sebagai ajaran Illahi haruslah
kembali di tempatkan pada tempatnya yang menyejukkan dan
membawa misi kemanusiaan dan dijadikan salah satu agenda
pokok untuk segera diwujudkan. Keterlibatan agama dalam
politik sebaiknya tidak lagi bersifat formalistis dan
simbolis semata, melainkan lebih substantif. Satu
kekhawatiran jika hal ini tidak segera di lakukan adalah
hanya akan menghasilkan kontes, adu jotos, perang,
dan konflik dalam pemaknaan dan penguasaan simbol-simbol
keagamaan di antara berbagai kelompok politik dan umat
beragama. (adhit: 1/10/2001)
'Gerakkan nurani
kita'.
Apa
yang harus kita lakukan menghadapi kemiskinan ditengah
krisis ekonomi yang berkepanjangan, pula tampak mata akan hilangnya generasi mendatang
itu?
Haruskah diam seribu bahasa, menanti takdir Illahi tiba?
Haruskah bergaya pengemis dan menunggu ularan tangan
tiba?
Salah siapa mereka hidup berimpit, sesak dan penggap?
Salah siapa mereka mengkais sampah-sampah kota?
Salah siapa mereka bahkan menjadi sampah itu?
Relakah masa depan kita kian hitam kelam?
Relakah kita menjadi pesakitan peradaban?
Relakan kita hidup tiada makna lagi pula tiada asa?
Masihkan kita harus menyalahkan generasi lalu yang
lalai?
Masih perlukah kita berdebat cari selamat?
Masihkan perlukah kita serakah lagaknya orang penuh
berkah?
Masih perlukah kita saling menyalahkan si Badu dan si
Fulan?
Sementara mereka tumbang, gugur tergolek tak berdaya, sekarat, sakit, terhina dan
ternista...
(adhit:
23/08/2001).
Floh
Markt
Jika di Indonesia orang yang sering beli dipasar loak
pasti kena stigma bahwa orang tersebut pasti orang
miskin. Namun, lain halnya dengan di Jerman, Floh Markt atau
pasar Loak, adalah tradisi unik masyarakat Eropa
termasuk Jerman yang sering diselenggarakan tiap akhir
minggu.Dalam bahasa Perancis lebih dikenal Marche aux
puces atau flea market dalam bahasa Inggris.
FM ini merupakan tempat favorit hampir masyarakat
pelajar Indonesia untuk mendapat barang yang murah dalam
kondisi masih bagus. Uniknya masih ada sistem pasar
tradisional dengan tawar menawar.Asyik juga.
(adhit:
november 2000)

|
 |
|