Home
About Us
Our Inspirations
Gallery
Ekonomika
Gravity


 Gravity......

 

 

 
   
 
 

 

 

Radar Jember, Minggu, 09 Juli 2006
Semua karena Bola
 

Oleh : Adhitya Wardhono*
Pesta sepak bola sejagat karya arsitek bola Jules Rimet dan Hendry Delaunay telah dimulai. Merekalah pioner kompetisi tingkat dunia yang dikenal dengan nama World Cup atau Piala Dunia. Pagelaran empat tahunan ini menimbulkan demam hebat tidak saja pada masyarakat gibol (gila bola) tetapi hampir semua manusia di jagat ini. Sepakbola kini memang telah menjadi sebuah "industri" yang mondial, yang menggerakkan secara cepat naluri ekonomi pelaku bisnis lokal maupun transnasional, menjadi pengikat keeratan tali persahabatan, membangun fondasi sportivitas. Namun di sisi lain, ia juga melahirkan ketakutan bayang-bayang berkeliarannya suatu komunitas mafioso, serta munculnya efek sporadis-negatif. Tak pelak piala dunia sepak bola adalah momentum penting nan misterius dalam sejarah dunia olahraga modern.

Semua karena Bola
Semua orang terfokus dan sibuk menyimak perhelatan akbar sepok bola kali ini. Semua orang membicarakan hal ini, mulai dari pekerja kantoran, penjual roti, mahasiswa hingga profesorpun tidak kuasa untuk "mendiamkan" pesta bola ini. Bahkan dengan antusias istri saya selepas pulang kuliah menceritakan bagaimana profesornya tadi di kelas memprediksi kemungkinan-kemungkinan tim yang akan lolos ke babak-babak selanjutnya. Piala dunia memang sihir olah raga. Juga banyak sekali mobil-mobil di hiasi dengan bendera Jerman di mana-mana persis kalau kita memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus, meski pada hari kemerdekaannya orang-orang Jerman malah tidak terlihat seheroik dibanding memeriah piala dunia kali ini. Di tiap-tiap rumah juga tidak ketinggalam mulai menghias yel-yel menyemangati tim favoritnya dari hanya sederhana hingga memasang beberapa bendera Jerman dengan tulisan tahun ketika Jerman menjuara piala dunia.

Bienvinido Mexico
Masyarakat kota Goettingen, tempat saya tinggal selama di Jerman, tak kalah serunya dalam menyambut piala dunia. Atribut piala dunia sudah jauh-jauh hari menghiasi kota ini. Terlebih kota ini dipercaya menjadi markas Tim Meksiko asuhan Ricardo La Volpe. Meski menjadi tim terakhir yang tiba di Jerman (2/6) tidak menjadikan tim Meksiko ini sulit menyesuaikan diri dengan cuaca Jerman, yang kebetulan pada bulan ini cuaca sudah mulai hangat meski kadang-kadang hujan. Di kota inilah, tim Meksiko melakukan persiapan akhir untuk menghadapi Portugal, Iran dan Angola di Grup D. Keterbukaan menerima tim Meksiko sudah jauh-jauh dipersiapkan oleh jajaran pemerintahan kota Goettingen. Paling tidak terlihat dari satu "site" di website resmi Kota Goettingen (www.goettingen.de) yang menyuguhkan informasi seputar sepak bola dan kota Goettigen dan Jerman pada umumnya dalam bahasa Spanyol. Goettingen sedikit berbenah, di mana-mana nuasa Meksiko terlihat kentara, dari beberapa hotel yang mengkibarkan bendera Meksiko hingga spandu
k-spanduk tertulis Bienvinido Mexico. Juga baliho-baliho menyambut piala dunia "Die Welt zu Gast bei Freunden" terpampang di sudut-sudut jalan, atau di halte-halte bus. Bahkan sebelum pesta sepak bola sejagat itu digelar, Meksiko menyuguhkan kebolehannya dengan melakukan pertandingan persabahatan dengan tim Goettingen Selection di Jahnstadion-Goettingen dengan berakhir 3-0 untuk Meksiko pada 3 Juni lalu. Bahkan antuas warga Goettingen juga terlihat ketika tim Meksiko melakukan latihan-latihan kecil.

Nonton Bareng, Melampiaskan Emosi
Meski diadakan di Jerman tidak setiap masyarakat gibol yang berada di Jerman berkesempatan untuk menonton langsung di stadion. Namun harga tiket yang cukup tinggi dan sempitnya kesempatan untuk langsung melihat di stadion, tidak menyurutkan masyarakat Goettingen untuk menikmati suguhan piala dunia kali ini. Misalnya saja satu tempat luas semacam hangar kereta api di belakang Bahnhof (Stasiun Kereta) yang terkenal dengan nama Lokhalle yaitu hall seluas 8.400 kuadrat meter itu dimanfaatkan untuk menonton bareng dengan layar lebar. Lokhalle menjadi vanue of the Theatersport World Cup. Dengan dua video proyektor berkapasitas 10.000 ANSI-lumen dengan ukuran screen 80 kuadrat meter menghadirkan atmosfir pertandingan mendekati sebenarnya. Mereka dapat ikut berteriak melampiaskan kegirangan atau kekesalan terhadap penampilan tim kesayangannya. Tentu nonton bareng ini tidak gratis. Paling tidak harus merogoh kocek untuk dapat menikmatinya.

Meski demikian nonton bareng tidak saja di Lokhalle, beberapa tempat menyediakan acara nonton bareng yang semuanya bermuara pada melampiaskan hura-hura kompetesi bergengsi ini.

Tak kalah menariknya juga dilakukan pelaku bisnis, kesempatan menjadi tuan rumah perhelatan sepak bola kali ini tidak disia-siakan oleh kalangan bisnis di Jerman untuk mendongkrak omzet penjualannya. Berbagai cara dilakukan oleh pelaku bisnis memanfaatkan momentum empat tahunan ini. Misalkan saja bisnis elektronik, dengan memasang penawaran yang cukup menggiurkan. Beberapa waktu sebelum piala dunia dimulai, Media Markt, sebuah supermarket elektronik besar di Jerman menawarkan beraneka ragam merk televisi yang umumnya adalah televisi layar datar dan plasma TV dalam berbagai ukuran dengan harga yang miring. Juga dengan penjualan produk beamer berbagai merk menjadi produk yang disuguhkan oleh toko elektronik dengan berbagai diskon. Beberapa toko pakaian juga menjual pernak-pernik atribut piala dunia mulai dari kaos, topi, bendera, bola dan aneka ragam macam lainnya. Sebagai markas tim Meksiko, di sejumlah toko di Goettingen menyediakan Sambrero topi khas orang Meksiko.

Akhirnya permenungan terhadap slogan Piala Dunia 2006 pilihan FIFA kali ini sungguh tepat kiranya dilakukan terlebih merujuk situasi dunia dewasa sekarang ini, dimana berserakan motto sejauh mata memandang di jalan-jalan kota Jerman akan terlihat tulisan "Die Welt zu Gast bei Freunden" - "A time to make friends" - "Saatnya untuk Bersahabat" - dapat membuat kita tersadar akan dimulainya pesta yang tak kalah seru, yaitu pesta persaudaraan dan kebersamaan dalam perdamaian di tengah kehidupan kita, meski layar pesta pagelaran Piala Dunia nanti sudah ditutup. Semoga.

*
Penulis adalah penggemar bola, kini sedang studi di Georg-August University Goettingen, Jerman
 

 

Kika (1)


Iklan hari ini mengusikku tidak saja melihat harganya yang miring tapi fasilitas yang ditawarkan. QVision sebuah merk DVD Recording, tidak terkenal memang, tapi merk ini menawarkan harga yang begitu miring ditengah ratusan euro DVD recording dengan Merk terkenal membanjiri pasar elektronik. Harganya dibawah seratus euro, ok-lah. begitu pikirku selepas membandingkan harga di beberapa situs
elektronik dan tester barang elektronik.

Meski bukan maniak acara TV aku menikmati benar sajian acara-acara TV Jerman. Dari yang layak dikonsumsi anak-anak hingga yang layak dikonsumsi orang dewasa. Paling tidak ada Kika (Kinder Kanal) yang menyajikan acara anak-anak sedari dini hingga petang. Bervariasinya acara kadang nikmat juga berlama-lama di depan tv. Ada film dokomenter, flora fauna dan Galileo yang bikin aku harus menipu petugas TV yang datang kerumah untuk memajak TV, kali ini maaf- ini harus saya lakukan, TV buntut saya seharga iuran TV dua bulan. Lha, wong belinya ya second hand, je!

Aku tidak bisa melupakan ekspresi mimik anakku yang begitu dahsyat, sambil menunjuk ke TV; papa, da..da! Naturlich!, tidak dapat aku gambarkan dengan kata-kata, ketika melihat serombolan gajah berduyun-duyun menuju sungai, ataupun gerak cepat seekor ular melilit mangsanya. Itulah sekelumit kebiasaan kami setelah menjemput si kecil dari Kinderkrippe (red: TPA) jam 4 sore, manakala ibunya ada kuliah sore hari. Kami selalu sempatkan untuk melihat acara flora dan fauna di TV dengan sedikit tambahan cerita.

DVD recording dan acara TV. Pagi-pagi hari senin kemarin aku ikutan antri dengan belasan orang sebelum toko di buka. Persis 09:30 pagi begitu toko dibuka, puluhan orang berlari menuju outlet penjualan DVD tersebut. Ya, aku sengaja berburu DVD recording, meski setelah terlihat dilabel belakang tertulis -made in PRC-, tak apalah kita bukan golongan pemburu merk, kita cenderung golongan 'proletar- utilitarian', begitu aku memberi keyakinan pada diriku-sekedar merelaksasi cupetnya daya beli.

Nun jauh dari sini, dengan maraknya dunia sinematographi di tanah air, bergeliat pula karya anak bangsa dengan ekspresi yang luar biasa. Namun konon,TV kita sering dijejali oleh banyak acara-acara yang bikin pusing, genre acara yang amburadul sebagai tanda bergemuruhnya pusingan bisnis tv, yang konon penuh kreativitas meski pula mengabaikan aspek edukasi dan identitas bangsa.

Itulah yang menyemangati aku untuk berburu DVD recording. Singkat cerita aku hanya ingin mengkoleksi acara 'baik-baik' untuk konsumsi tontonan kelak kalau pulang, sambil menanti 'beresnya' bisnis saluran TV yang masih belum beres hingga hari ini, itupun kalau punya daya beli :(--bersambung--).

 

 

 


Pengalaman studi di LN:
Fenomena Terkini Perguruan Tinggi Jerman (1)


Model pembelajaran di PT menarik untuk disimak. Plus minus adalah kewajaran sejurus dengan terendapnya cara pandang kita terhadap dunia pendidikan tinggi (sistem, model dan outcome) selama ini.

Pada galibnya banyak orang membedakan pendidikan yang ada di dunia´ ini menjadi dua model ekstrem yaitu antara sistem pendidikan Eropa daratan dan Anglo-saxon. Entah diadopsi dengan bulat-bulat ataupun dengan muatan-muatan khusus dari kedua sistem tersebut. Namun demikian 'sepertinya' sekarang ini sistem eropa dalam 'kegamangan'. Beberapa tahun belakangan hingga sekarang ada dua model yang diterapkan bersamaan di negara2 eropa daratan, tentu dengan segala - pro and con-, misalnya saja, Belanda yang sudah mengenal Master (MSc dan sebangsanya, padahal dulunya gelar 'drs' adalah gelar 'sakral' dan setara master serta 'berhak' untuk lanjut Doktor; juga Perancis ada DEA atau DES yang setingkat master; Jerman punya Dipl.Ing atau Dipl. lainnya (untuk mencapai Dipl. seorang mahasiswa harus lulus Vordiplom dan berhak untuk mencapai Haupdiplom...biasanya pelajarnya disebut sebagai student.rer.nat atau student.rer.pol..sejurus dengn bidang keahlianya dan sebangsanya yang siap Doktor.rer.nat.... dll). Dan hampir semua 'master' (pendidikan sejajar S2) di Eropa daratan adalah 'by research' atau paling tidak kombinasi dari 'by course and research'. Jarang ditemui hanya by course saja. Program yang bermunculan tersebut bisa bertajuk, Bachelor, Master baik dalam bahasa Jerman maupun bahasa Internasional Inggris.

Tanggung jawab kompetensi lulusan tidak saja menjadi tanggung jawab Univ. bersangkutan tetapi juga negara bagian. Di Jerman, untuk mendirikan program pendidikan tertentu harus melalui persetujuan dari Menteri Negara Bagian, karena juga terkait dengan masalah pendanaan
dan kelayakannya. Biasanya universitas akan berkolaborasi dengan negara bagian bahkan pemerintah kota dalam hal penyediaan fasilitas bagi mahasiwa, mulai dari Kantin (red. Menza), appartemen, angkutan (Bus, KA), diskon beli buku atau barang elektronik bahkan untuk menikmati konser musik klasik, hingga perpustakaan kota yang sering terintegrasi dengan universitas bersangkutan. Tidak heran status student adalah status yang diinginkan banyak warga negara karena berbagai fasilitas yang didapat dan merekan dapat berlama-lama di dengan status student ini.

Seorang mahasiswa, diberi kebebasan untuk menentukan 'masa depannya'. Keahlian mereka gali sendiri sampai 'kedalaman kepuasan' yang mereka inginkan. Mereka diberi kebebasan untuk memilih mayor dan minor studi. Tidak mengherankan kalau ada yang mengambil Fach. Ekonomi di mayor dan Matematik di minor. Atau sebaliknya. Inilah kadang kala yang menghantarkan mereka mencapai puncak karier, seorang ekonom mampu membuat software ekonometrika atau statistik ekonomi terapan dengan 'cita rasa' masalah ekonomi yang memadai. Contoh lagi, masalah 'skripsi' dan sebangsanya, tidak pernah ada kasus plagiat dan sebangsanya, karena keinginantahuan mereka yang begitu tinggi tidak jarang yang hanya untuk menulis 'Skripsi saja', mereka rela mengambil data langsung negara tujuan (untuk kasus tertentu). Mengapa ini bisa terjadi, karena dukungan lembaga privat, industri, partai politik, gereja, negara bagian dan universitas cukup tinggi tidak saja informasi tetapi juga dukungan dana. Disamping itu kendala bahasa asing jarang ditemui oleh mahasiswa disini. Mereka paling tidak paham dengan baik satu bahasa asing, biasanya Inggris, Perancis, atau Spanyol (yang didapat dibangku SMA dengan baik). Berangkatlah mereka ke Afrika Barat untuk yang fasih bahasa Perancis, atau ke Amerika Latin untuk yang fasih bahas Spanyol. Untuk ke Asia tak jarang mereka bersedia untuk berjibaku 2-4 bulan belajar bahasa asing di negara tujuan secara inten dengan modal bahasa Inggris yang bagus. Cermati menjamurnya kursus bahasa Indonesia di Yogyakarta misalnya, di bilangan 'njero benteng alun-alun selatan'.

'Kegamangan' dan Demokrasi
Sejalan dengan perubahan 'jaman' dan seretnya perekonomian, serta pergeseran politik yang terjadi di Eropa dan Jerman pada khususnya telah terjadi penurunan 'kenikmatan' status student di Jerman. Masa keemasan 'kebebasan' status student berangsur-angsur berkurang. Uang sekolah (SPP) sudah mulai diberlakukan di beberapa Universitas di hampir semua negara bagian. Demo besar-besaran mulai tahun 2003 lalu tidak kunjung membuahkan hasil. Konon masalah kriminal yang tinggi mengharusnya pemerintah negara bagian Nieder-Sachen Jerman, misalnya,
harus mengkonsentrasikan budget untuk pendanaan kepolisiannya. Sehingga dana banyak dialihkan dari sektor pendidikan ke sektor keamanan. Walhasil adalah subsidi yang berkurang untuk lembaga riset dan pendidikan tinggi. Juga kategorikal strata pendidikan 'Eropa daratan' yang kurang umum seperti tersebut diatas banyak mengakibatkan 'kesulitan' dlm mencari pekerjaan karena 'gara-gara' gelar 'Diplom' yang katanya sering ditaruh di level pekerjaan kurang memadai jika bekerja di luar Jerman. Entah alasan mana yang benar, konon kabarnya pula tahun 2009 nanti secara serempak akan diberlakukan penstandarisasian level pendidikan; yaitu Bachelor,Master dan Doktor. 'Mirip' sistem anglo-saxon ataupun pen-aglo-saxon-an barangkali. Dan lambat laun ditiadakanlah gelar Diplom (Dipl.) gelar kebanggaan alumni Jerman yang selevel dengan Master tersebut.

Terlepas 'kegamangan' standardisasi tersebut tapi bisa jadi hal ini merupakan realita yang sebenarnya, meski kadang standar pendidikan memang sulit diseragamkan. Kegamangan itu seperti menuntut banyak keterbukaan yang lebih. Jika melonggok kebelakang belasan abad lalu, konon ceritanya di abad 11-12 lalu di Eropa ini universitas diorganisir dengan dua cara yaitu pertama, dikelola oleh mahasiswa dan kedua, oleh dosen. Dalam hal yang pertama, mahasiswa memilih rektor dari kalangannya sendiri. Mahasiswa, jadinya, menikmati hak khusus: demokrasi, kebebasan, self administration. Ini adalah kemewahan yang luar biasa di jaman monarkhie dan absolutisme waktu itu. Mahasiswa yang datang dari rantau memiliki perkumpulan sendiri, yang disebut "nationes". Kira-kira bisa bayangkan kerumulan kelompok Mahasiswa Ambon, Jawa, Kalimantan, Papua membuat organisasi Univeristas sendiri. Ini banyak dipraktikkan dulu oleh univeritas Italia.

Sedangkan kedua adalah, jika dosen yang menjadi penentu banyak dipraktekkan oleh Universitas di Perancis. Selain rektor, jabatan lainnya adalah dekan, senat dan kanselir (kepala administrasi). Kanselir adalah wakil Paus, misalnya Bischoff. Dana universitas diperoleh dari gereja atau kloster, negara (kerajaan) maupun perusahaan. Tanah biasanya merupakan hadiah gereja atau kerajaan. Model dan gaya pasti tidak berjalan linier namun perubahan adalah
suatu kepastian sejurus dengan pemuthahiran pemikiran civitas akademika dan lingkungan masyarakatnya. Universitas Jerman adalah mungkin universitas modern yang kian sengsara. Meski penyumbang banyak peraih hadiah nobel dan pioner pengetahuan, misalnya saja Universitas Goettingen yang 'baru' berdiri 1737 sudah menghasilkan 43 Nobel prize winner, namun nyatanya outcome dan outputnya harus tertatih dalam komodifikasi pendidikan pada jaman modern ini. Globalisasi menyeret sistem pendidikan murah pada logika komersialisasi yang ditentang habis oleh kaum mudanya (bersambung).
 


 


Kenangan Pertama Terbang Ke Eropa

Sehabis mengurus tiket dan menyodorkan kertas ijin belajar dari Sekkab beserta paspor biru-ku, agar aku bebas membayar fiskal serta pajak di loket penerbangan internasional bandara Ngurah Rai Denpasar, aku tengok lagi orang-orang dekatku yang turut mengantar. Mereka masih berdiri dengan setia di depan pintu. Ku ayunkan lambaian tanganku yang terakhir kali. Mereka membalas mengangkat
tangannya tinggi-tinggi. Lantas semua lenyap ditelan tembok-tembok tebal. Itu yang masih kuingat benar peristiwa dikisaran 6 tahun lalu diawal tahun 2000, tatkala pertama kali terbang dari tanah air ke Eropa.

Aku sendiri menuju Kualalumpur dari Denpasar siang itu. Ya, MAS, maskapai Malaysia yang aku pilih disamping ada ego serumpun Asia juga sedikit ada perasaan ‚save' dari sisi makanan dan kebiasaan, meski aku tahu ada pelayan internasional yang standard terhadap konsumen penerbangan internasional. Kartu Boarding aku tunjukkan pramugari manis itu. Dengan ramah encik pramugari itu menunjukkan tempat dudukku yang ternyata di dekat jendela. Duh, senyum manis encik manis pramugari diatas pesawat tidak dapat menghilangkan `stress'-ku, pikiranku goyang. Apa benar aku berangkat ke Eropa. Bagaimana dengan kelengkapan dokument-suratku. Tanpa sanak saudara dan nihil pengalaman. Bagaimana kalau aku sakit. Semua menghiasi isi kepalaku. Sambil sesekali kulonggok tas pinggang berisi dokument penting dan sedikit uang Deutsch Mark dan Dollar. Meski pendingin ruangan cukup dingin namun perasaanku malah kepanasan-sumuk.

Dengan ramah pramugari menyuruh semua penumpang untuk menegakkan kursi dan memeriksa pengingat pinggang. Dan tak lama kemudian pesawat mulai bergerak mundur. Di susul deru mesin dan baling- balingnya berputar keras, memekakkan telinga. Kemudian maju berjalan kencang, akhirnya tegak berdiri meninggalkan bumi. Sepintas kulihat keluar sangat mempesona liukan putih ombak menuju pantai Kuta. Memang indah sempurna negeriku ini. Sejurus kemudian mataku terus menatap layar televisi lebar didepan. Menyiarkan ketinggian, suhu udara, kecepatan serta tempat tujuan. Peta dunia warna kehijauan di tayangkan. Dilengkapi sebuah gambar pesawat kecil warna putih yang bergerak merayap.

Cukup melelahkan, hampir 12 jam melintas pulau-negara-dan benua akhirnya pesawat Boing 747 berkapasitas 400 orang itu terbang berputar-putar tak kunjung mendarat, meski sudah 30 menit persis ditengah kota Frankfurt. Rupanya cuaca kurang mendukung di pagi itu pukul 6 CET, begitu sekilas info dari kapten pilot. Hatiku mulai dag- dig-dug juga. Tanpa bekal bahasa Jerman sepotongpun kecuali -Ich liebe dich- yang tidak mungkin aku ucapkan untuk merespon orang, bisa-bisa kena gampar mukaku dan tanpa teman membuat aku lumayan gamang. Membayangkan gegar budaya, suatu tabrakan peradaban yang mengaduk-aduk suasana hatiku. Peradaban di Eropa dengan di Asia, bagaikan minyak dan air yang tak pernah bertemu, begitu banyak orang bilang.

Muncul kembali bayangan wajah orang-orang tercinta yang aku tinggalkan. Ayah-bundaku, eyang putri, kakak adikku, pacarku dan sobat-sobatku Membayangkan ketika doa bersama, sungkeman sebelum berangkat, prosesi langkahan yang dilakukan eyang putri dan dan ayah- bundaku. Maklum, meski sebagai orang modern aku tetap ‚nguri-nguri' budaya lokal Jawa. Tentu sikap easy going tidak muncul begitu saja. Tautan lain membayangkan bagaimana harus ke toilet yang tak tersedia air, melainkan hanya ada kertas gulung toilet saja, itu salah satu cerita kolegaku yang alumnus Jerman. Padahal kertas itu dibuat mengelap mulut di warung-warung Bakso, disana untuk mengelap pantat", tegas rekanku lagi sambil terkekeh. Belum lagi bayangan ‚kekakuan' orang Jerman, membayangkan gedung tua kotak- kotak kaku bisu, pisau baja tebal kuat tajam dari Rurh Gebiet, membayangkan patung Beruang Berlin, membayangkan orang-orang botak yang tidak ramah dengan auslander.

"Suhu udara plus tiga derajat", kata pramugari di mikrophone, membuyarkan lamunanku. Meski katanya musim winter telah berlalu rupanya cuaca masih dingin juga diluar. Akhirnya aku menapakkan kaki juga di Eropa. Ich bin in Deutschland. Sambil aku cubit sendiri tanganku, pertanda aku tidak dalam mimpi. Setelah ambil kopor, antri lapor aku keluar dari terminal 2 menuju terminal 1 bandara yang harus naik skyline di Frankfurt Flughaven. Aku mencoba melakukan scaning ruangan luas itu mencari rekanku yang katanya akan menjemputku. Ternyata nihil. 10 menitpun berlalu. Usahaku mencari teman yang menjeput tak kunjung tiba. Stress mulai menghinggapi kepalaku. Dengan bersikap tenang aku menuju Deutsch Bank untuk mengambil uang. 200 DM waktu itu untuk alokasi uang pertama, untuk hospitality awal.

Marburg an der Lahn (Marburg yang dilalui sungai Lahn). Kota itu yang akan aku tuju. Sambil membayangkan kenapa Jember tidak tertulis Jember dilalui Bedadung (Jember dl Bedadung). Sebagai suatu kebangaan kecil atas citra diri kota. Entahlah aku tidak mau berpusing-pusing dengan itu. Marburg an Lahn, kota itu yang rencananya akan aku singgahi kurang lebih 3 tahun untuk studi bahasa plus S2 di Philipp Uni-Marburg. Kota kecil ini 1 jam dari Frankfurt am Main arah atas-arah utara. Aku menuju informasi untuk menanyakan kemungkinan ke Marburg. Disuruhnya aku ke stasiun di lantai bawah. Bandara Frankfrut yang luas itu memang 5 tingkat. Karena Marburg kota kecil maka tidak dilewati oleh ICE (Inter City Express) kereta cepat eksekutif yang letak stasiunnya dilantai atas di Long Distance Station. Aku harus naik kereta antar kota aja, RE (Regional Express) atau RB (Regional Banh). Akupun mamandangi lama karcis kereta plus selembar informasi keberangkatan kereta itu, selepas dari loket karcis. Beda banget dengan di Indonesia. Jelas ada waktunya, ada jenis keretanya, kapan harus transit dan pindah ke gleis (jalur) berapa. Detail sekali orang Jerman ini, itu kesan yang aku tangkap. Akupun turun ke gleis. Sejurus kemudian kebinggungan, kok sepi banget mana orang-orang yang akan berangkat. Akupun tanya ke petugas kebersihan. Kelihatannya bukan orang jerman tapi wajah mirip orang Turki. Komunikasi mulai tidak berjalan karena dia tidak bisa bahasa Inggris. Keringat mulai mengucur. Aku coba cari muka-muka asia yang terlihat disitu. Rupanya ada wanita 40 tahunan. Bisa berbahasa Inggris lancar, rupanya dia sedang studi doktor di Jerman sini. Aku agak lega. Kereta meluncur dari Frankfurt Flughaven menuju Frankfurt (M) Hbf. Rupanya kereta berhenti di stasiun bawah tanah. Dalam hitungan 3 menit aku harus menuju gleis 14 dimana kereta RE yang akan membawaku ke marburg. Dengan bantuan ibu tersebut akupun akhir naik kereta itu dalam hitungan last minute. Gerbong yang aku naiki rupanya kelas 1 padahal karcisku kelas 2. Tapi rupanya kondekturnya mempersilahkan aku disitu, dengan sedikit greeting dalam bahasa Inggris dia maklum ini adalah kali pertama aku ke Jerman.

Satu jam kemudian tibalah aku di Marburg dengan selamat dan tertatih- tatih. Pengalaman pertama yang melelahkan dan berkesan. Jauh memang dari kesan berlibur ke rumah nenek waktu kecil dulu, indah manis layaknya gula-gula. Sepenggal episode hidupku di medio awal tahun
2000 (bersambung).



 

Catatan Akhir Tahun: Selamat Tahun Baru 2006

2005 akan berlalu. Bagi bangsa Indonesia, tepat kiranya kalau kita sebut sebagai 'Jahr der Katastrophen'. Bencana silih berganti singgah di singgasana Indonesia. Mulai dari Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh dan Nias dengan 8,9 skala Ricthernya pun diikuti dengan gelombang raksasa memulai awal nestapanya bangsa Indonesia. Flu burung telah menjadi ketakutan nasional, 11 nyawapun melayang karenanya. Fenomena berdiasporanya kemiskinan di dalam spektrum yang luas dan lebih jelas makin terlihat. Yang sungguh memilukan kemiskinan purba masih saja terjadi di Indonesia, kelaparan berujung kematian di belahan bumi nan indah di Papua sangat patut kita sayangkan. Juga tunas bangsa yang terpaksa hidup menderita kerena kurang gizi, busung lapar dan penyakit endemik lainnya.

2005, regim pemerintah yang mendapat legitimasi rakyatpun belum mampu membawa amanat rakyat secara sempurna, belum hadap masalah. Kebijakan demi kebijakan belum terasa benar manfaatnya. Terlebih memilukan adalah wakil rakyatpun seakan-akan melupakan konstituennya. Kebijakan pencabutan subsidi BBM menjadi titik balik kepercayaan rakyat kepada tuannya. Walhasil kemiskinanpun bertambah seiring dengan merosotnya daya beli rakyat. Kebijakan yang patut kita telaah ulang ke depan, karena terlihat eksplanasi argumentatif pemerintah masih saja bercelah. Meski demikian berharap ’rumah reformasi’ kita tidak roboh oleh tikus-tikus yang mengkorupsi bangunan rumah kita. Berharap banyak pemerintah mampu memperbaiki dan merenovasi sebagai sikap yang lebih tepat dari pada merobohkan, sebelum tergerus oleh wabah ’korupsi’ yang sudah menuju daerah fondasi ’rumah reformasi’ kita.

2005 bencanapun masih belum berakhir. Trust, saling percaya diantara elemen bangsapun sebagai modal sosial untuk bangkit dari keterpuruakn ekonomi rupanya juga meluncur pada titik terendah. Cermati tragedi bom Tentena, penembakan misterius di Palu, tragedi kelompok Mahdi dan jemaah Ahmadiyah, kelompok Lia Eden. Masih juga ditambah dengan aksi teroris Bom Bali 2005 dimana nyasar ke sejumlah kafe-yakni Cafe Nyoman, Cafe Menega itu. Berharap banyak dengan kematian biang terorist Dr Azahari semangat memperbaiki modal sosial yang terberai- terlantakkan dapat kembali disusun rapi.

2005, proyek Indonesia Bangkit ternyata tidak bisa jadi pengungkit yang kuat. Olahragawan kita ikut-ikutan tidak berkutik laksana orang yang berpenyakit, terkapar di peringkat lima perolehan medali pada SEA Games XXIII Manila, November-Desember lalu.

Kiranya benar kalau Indonesia 2005 adalah laksana acara TV di premium time, semua orang ingin melihat, semua orang ingin menonton, dan semua orang berharap atas akhir cerita. Meski ternyata jalannya cerita jauh meleset dari 'resensi cerita yang dibuat'. Cermati APBN yang harus direvisi. Bak film Ghost cinta itu tercerai. Bulan madupun berlalu. Bulan madu antara pemerintah dan rakyatnya. Akankah bulan madu kedua terencanakan?

2005, bagi kita di Jerman adalah masa 'perjuangan', masa bertapa, masa sengsara, masa meniti kedewasaan. Meski bagi orang Jerman  mungkin adalah tahun 'Vom Kanzler zur Kanzlerin' yang ditunggu dengan segala kejutan-kejutan di era kepemimpinan baru ini. Meski masa yang pendek, semoga kita mampu belajar banyak dari negeri dimana sekarang kita tinggal. ‘Memilih dan Memilah’ adalah laku kita yang bijak, dengan membuang yang kita pandang tidak baik, tidak cocok bagi nilai-nilai kepatutan kita dan mengadopsi nilai-nilai yang baik, positif, modern sebagai penyelaras dalam bergaulan berbangsa dan bernegara juga dalam pergaulan global. Semoga kita mampu menjadi insan akademia yang asketis yang militan dibidangnya dan melek realitas.

Beberapa saat lagi kita menyambut datangnya sinar mentari baru - Matahari 2006. Happy New Year! Frohes neues Jahr! Selamat Tahun Baru 2006, Semoga rejeki, kesehatan dan keberhasilan selalu menyertai kita semua. Berpanjat syukur kepadaNya lebih khusuk, bergandeng tangan mesra menjalin silaturahmi lebih tulus, berempati lebih ikhlas, berpikir positif nan konkrit mungkin yang harus kita usahakan untuk menuju asa kita semua. Indonesia menjovial, Indonesia mondial, Indonesia yang bangkit tak pelak adalah tugas yang menjadi beban kita kedepan.

Insyaallah kita akan bertemu di tahun yang baru dengan spirit dan nuansa yang lebih ceria. Semoga! Goettingen, 31 Desember 2005

 

 

Mudik dan Ketupat: secuil pernik lebaran

   

Ekspresi kegirangan atas lelaku puasa sebulan penuh di bulan Ramadan biasanya diakhiri dengan melantukankan Takbir di malam akhir Ramadan. Gema Takbir membahana menyebut asma Allah tiada henti membelah pergantian waktu. Takbiran yang mengumandangkan kalimat takbir, tahmid dan tahlil, dihayati atau tidak setidaknya ketiga kalimat tersebut bermakna dalam yaitu peluruhan terhadap pengakuan kecilnya manusia dihadapan Allah. Ketiga kalimat thayibah tersebut memancarkan  penghayatan sejati atas kebesaran dan juga pancaran kasih-Nya yang tiada terhenti.

 

Berbarengan dengan takbiran itupula, ratusan moda tranportasi berbagai jenis mengangkut kaum pemudik menuju tujuan masing-masing, biasanya adalah dari kota ke desa, dari urban ke rural. Fenomena mudik yang unik.  Juga malam hari akan masih terlihat kegiatan persiapan lebaran di dapur-dapur  rumah. Ibu-ibu mempersiapkan lebaran dengan jajanan dan masakan khas lebaran Idul Fitri. Biasanya yang tidak terlupa adalah ketupat yang merupakan simbolisasi wong Jawa ‘ngaku lepat’ (red: mengaku salah).

 

 

Mudik

Kegembiraan dan suka cita menyambut lebaran adalah manakala dapat berkumpul dengan keluarga, dengan handai taulan, dengan kawan dan karib yang lama tidak bersua. Intinya adalah bersilaturahmi.  Dalam ajaran Islam ditandaskan bahwa manfaat silaturahmi di antaranya dapat memanjangkan umur dan menambah rejeki. Maka tak  khayal mengusahakan untuk mudik adalah satu-satunya cara untuk mewujudkan amalan hablum minannas. Fenomena yang  tidak dapat dihindarkan tiap tahunnya. Inilah ritual lebaran yang selalu terjadi. Paling tidak menjadi konsumsi besar media massa akan hinggar bingarnya mudik. Lebih jauh kondisi ini disokong oleh kuatnya penghayatan bahwa silaturahmi tidak membedakan derajat, pangkat, semat, yang  diyakini dari sinilah kebersamaan dan kerukunan tetap langgeng abadi. Aja lali marang asal-usule ‘jangan lupa terhadap asal kita’ begitulah sering kali kita dengar ujar-ujar dalam bahasa Jawa dari orang tua kita. Nilai-nilai inilah yang nampaknya menjadi magnet yang begitu dahsyat bersemayam kuat di lubuk  hati umat Islam untuk mudik.  Bahkan nilai-nilai mudik telah berkombinasi dengan tradisi dan budaya setempat, baik dari sudut pandang religi maupun kebersamaan sosial sebagai manifestasi hasrat manusiawi dari fitrah manusia sebagai mahluk sosial. Dalam wacana kekinian mudik adalah fenomena unik dan klasik. Mudik tak hanya untuk bermaaf-maafan, tapi lebih dalam adalah suatu reunifikasi dengan keluarga, kawan sepermainan dengan berurai pernik-pernik didalamnya.  Mudik adalah kearifan lokal yang membawa nilai-nilai nurani hasil olah budi pekerti yang sesaat mampu menenggelamkan ambisi duniawi semata dan meredupnya pancaran hedonis sesaat. Bisa jadi hal ini adalah  hasil ‚perjuangan’ sebulan penuh merenung arti hidup di Ramadan suci yang mampu melupakan sesaat budaya urban yang ‚pragmatis’. Mudik membawa ritual untuk saling berempati, untuk saling bertemu dan menyapa secara langsung melepas rindu, untuk berbagi cerita dan pengalaman hidup.

 

Pun tak kalah menariknya adalah dengan mudik semua menjadi instropeksi. Ikuti saja bagaimana semua sistem berjalan disaat waktu-waktu mudik. Biasanya H-7 hingga H+7. Satuhal yang gampang diingat adalah sistem lalu lintas dan transportasi. Disini  akan terkoreksi dengan fenomena mudik ini. Masih lemahnya sistem lalu lintas kita terkontrol dan terlaporkan penuh melalui selayang pandang media massa. Begitu juga dengan lemahnya disiplin manusia akan terdengar miris dengan banyaknya kecelakaan dan warna-warni ketidakpatuhan terhadap aturan yang ada. Fenomana mudik seharunya menjadikan fenomena aktual tahunan untuk mengkoreksi dan berbenah atas lemahnya sistem yang ada.  Ikutan negatif dari mudik sering kali juga menjadi 'keluhan' masyarakat dan pemerintah.  Fenomena urbanisasi masih saja terjadi menjadi daya tarik tersendiri dari 'pamer sesaat' pemudik atas 'terbawanya barang-barang pemikat' dari kota ke desa.

 

 

Ketupat

Menjelang hari lebaran biasanya ibu-ibu mempersiapkan lebaran dengan jajanan dan masakan khas lebaran Idul Fitri. Biasanya yang tidak terlupa adalah ketupat, tanpa kupat terasa lebaran kurang nikmat. Membuat ketupat adalah ketrampilan tersendiri, tidak semua orang bisa dan tidak jamak diajarkan di sekolah. Bagi yang belum bisa membuat sendiri, biasanya dihari-hari menjelang lebaran pasar akan dipenuhi penjual ketupat baik sudah jadi maupun  yang masih bungkus kulitnya saja (kupat luar).  Ketupat merupakan simbolisasi wong Jawa yaitu ‘ngaku lepat’ (red: mengaku salah). Berketupat adalah berlebaran (riyayan). Ketupat tidak dapat dilepaskan dari peringatan riyayan begitu pula sebaliknya. Hal inilah menjadikan kelangengan ketrampilan ketupat membuat tidak terelakan, ketupat adalah tradisi turun temurun. Riyayan yang khusus diperingati biasanya adalah hari raya Idul Fitri. Dalam perspektif budaya Jawa, ketupat menyimbolkan banyak  banyak nilai-nilai religi. Kupat sendiri adalah adalah sejenis lontong, nasi yang dipadatkan yang terbungkus kupat luar yang berbentuk jajaran genjang yang dibuat dari daun kelapa yang masih muda berwarna kuning emas (janur),  sebagai pengambaran akan simbolisasi kemenangan atau sifat agung. Kata janur berasal dari kata ja datang lahir dan nur cahaya. Kupat dibuat dari dua janur, sebagai lambang dua cahaya, yaitu nur cahaya Allah Swt dan cahaya Rasul (nur Muhammad). Jamaknya tradisi kupatan sendiri pelaksanaannya dapat berbeda-beda tiap daerah. Ada kupatan yang dilakukan sesaat sesudah sholat Ied, atau kupatan dilakukan pula pada  7 hari sesudah salat Ied.

 

Simbolisasi ketupat oleh orang Jawa terasa tidak mengada-ngada. Ketupat sering diartikan ketelu papat, ketiga empat. Hal ini merujuk pada konsepsi rukun Islam bahwa  selama beribadah di  bulan ramadan konsentrasi pengamalan nyata pada rukun Islam ketiga dan keempat, yaitu puasa dan zakat (fitrah). Dimana pada kedua rukun Islam menyiratkan proses pembersihan kesalahan (dosa) batin. Biasanya akan dilanjutkan dengan halal bil halal antarsesama sebagai pembersihan kesalahan (dosa) lahir, mengingat dosa manusia ada dua, yakni dosa lahir dan batin. Maka jamaklah permohonanan maaf tidak saja lahir tapi juga batin  (mohon maaf lahir batin).  Tata cara makan ketupatpun menjadi unik dicermati, jikalau seseorang hendak makan ketupat sebisanya jangan sampai janurnya dilepasi, namun dibelah dengan pisau menjadi empat. Maksudnya (1) kita telah lebaran selesai dalam melawan hawa nafsu, insyaallah berhasil mengendalikan dan membakar 4 nafsu yang berada dalam diri sendiri (amarah, luamah, sufiah, mutmainah).  (2) Dosa-dosa kita telah terampuni dan dimaafkan, baik dosa kepada Allah Swt maupun sesama (hablum minallah dan hablum minannas). (3) Hati kita menjadi suci kembali, kembali ke fitrah, dan semoga tersedia jaminan masuk janah. (4) Hidup dan sikap kita harus semakin luwih (lebih), semakin baik dalam berbagai hal (la’alakum tattaqun), sehingga ibadah kita semakin meningkat. Mengingat setelah bulan Puasa/Ramadan adalah bulan Syawal, yang artinya bulan peningkatan ( lihat Imam Sutardjo, 2005).

 

Dua kearifan lokal yaitu mudik dan ketupat tersebut adalah suatu tradisi yang menyokong proses pemantapan keimanan, untuk bersungguh-sungguh pulang kembali kepada fitrah kita sebagai umat Islam. Oleh karenanya sepatutnyalah menjadi perenungan batin kita lebih mendalam. Mudik adalah memperlihatkan kepada kita semangat hidup manusia yang selalu mendedikasikan hidupnya untuk keluarga dan kerabat dengan penuh cinta. Ketupat mengambarkan kita semangat untuk saling memaafkan dan berlapang dada memberi maaf senyampang masih diberi umur panjang sebelum sekarat (dari berbagai sumber).

 

Semoga lebaran kali ini tak kalah ‘unik’ mesti tanpa mudik dan  terasa ‘nikmat’ meski tanpa ketupat. Akhirnya ‘kupat duduhe santen, kawula lepat nyuwun ngapunten’ -- Kupat kuahnya santan, saya punya kesalahan mohon dimaafkan.

 

 Goettingen , 1 Syawal 1426 H/3 November 2005  (02:06 CET)

 

 

 

Memandang Beda Pandangan                                                                                                  http://www.kalam.de/kalam-magazine-home.htm

Meskipun kita setuju bahwa perbedaan cara pandang tidak saja antar individu, namun lebih besar dapat dalam bentuk kelompok ataupun bangsa dalam memaknai sesuatu. Ini laksana sebuah  dinamika kebudayaan tidak pernah berjalan linier. Setiap perkembangan kebudayaan memiliki varian-varian yang kaya dan bernuansa. Karena itu, kebudayaan dalam bentuk dan isi bagaimanapun, telah dipahami sebagai "jaringan-jaringan makna" hidup yang dikembangkan dan mengisi batin kehidupan sosial umat manusia. Maka tak dapat dipungkiri perbedaan cara pandang atas suatu masalah dunia ataupun agama sekalipun tidak lepas dari budaya seseorang atau bangsa yang melatarbelakanginya. Meski mungkin tidak dalam esensinya tapi paling tidak muncul dalam penafsirannya.

Berangkat dari cara pandang ataupun cara menafsirkan inilah terkadang menyeruak pertikaian beda opini dalam komunitas Islam. Jika kita maknai lebih dalam maka sesungguhnya ialah lebih pada perbedaan dalam masalah interpretasi. Adalah bentuk pencarian dalam bingkai kontruksi proses yang mendekati bentuk pengamalan agama dengan kontek budaya dan sosial setempat adalah yang paling sering kita konsumsi dalam hidangan kehidupan sosial manusia. Contoh jamak adalah penilaian terhadap problem relasi politik dan agama yang dicantolkan dalam pergantian kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia. Ia lebih bermakna sebagai proses interpretasi masalah dengan menggunakan agama dan simbol-simbolnya untuk kepentingan kehidupan manusia. Disini paling tidak kita bisa melihat peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya. Posisi manusianyalah yang sangat penting disini. Dan manusia Islam sangat potensial sebagai kadar penentu suatu arah budaya.

Dalam pandangan Islam, manusia menempati posisi sentral yang juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusianya. Berbagai persoalan kehidupan yang dilakoni manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergulatan hidup seseorang pada intinya adalah pergulatan keagamaannya. Berangkat dari itu kearifan akan hadir tatkala memandang kehidupan yang teratur tidak dalam hal fisik semata, ia lebih pada penghormatan terhadap perbedaaan sebagai hal yang luar biasa. Amuk massa yang sering terjadi di bumi pertiwi lebih dikarenakan tidak mampu untuk memahami betapa nikmatnya perbedaan itu. Singkatnya perbedaan mempunyai satu unsur yaitu keteraturan. Pandanglah perbedaan itu sebagai suatu kekayaan yang alami dalam kehidupan ini. Apabila perbedaan ini dapat dimanfaatkan dengan baik, maka kemajuanlah yang akan dicapai dalam kehidupan ini. Ibarat sebuah lukisan yang sedap dipandang mata karena sangat menawan, sebenarnya  merupakan kumpulan dari warna-warna yang berbeda dan membentuk suatu perpaduan dan kesatuan. Akhirnya  muncullah keharmonisan dalam sebuah lukisan. Seperti halnya kehidupan kita, perbedaan yang kita punyai merupakan kekuatan yang saling melengkapi, dan kekuatan inilah yang mendorong kita untuk bisa hidup saling mencintai, saling menghargai dan menghormati, saling tolong menolong,  menjaga kerukunan membentuk kehidupan yang harmonis. Terlebih ditengah, masalah yang sedang menimpa kita semua adalah bagian dari karunia Allah SWT. Dan sepanjang kita sikapi dengan cara yang benar-- dapat membuat kita menjadi semakin maju, beradab, dan semakin kuat dalam menghadapi masa yang akan datang ditengah perbedaan yang tidak dapat kita elakkan. Terakhir semoga kita mampu memaknai lebih dalam sebagaimana  sabda Rasulullah saw.,"...Perbedaan merupakan sebuah rahmat."     /Goettingen-April 2005/

 

Catatan singkat : Singapura dan Malaysia, dimana bedanya?

Semangat "ganyang Malaysia" kini sedang menggema kembali, sebagai cermin nasionalisme kebangsaan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa jujur saja ingatan akan seruan Sukarno puluhan tahun lalu relevan dengan kasus ‘penyrobotan’ Ambalat oleh Malaysia kali ini. Ingat pula Ligitan dan Simpadan. Muka kita sempat merah padam dibuatnya dan hasilnya langsung lesu karena kalah telak di meja diplomasi. Kasus Ambalat ini, sepertinya benar-benar menjadi puncak naiknya darah ke otak yang mengerakkan secara reflek syaraf-syaraf motorik kita. Terlebih sebelumnya telah digebukinya TKI kita disana yang dilansir media cetak dan elektronik. Inilah kasus kita dengan Malaysia. Bukan pertama kali, dan mungkin akan terulang kembali.

 

Namun, bagaimana dengan kasus dengan Singapura? Kembali kebelakang ingatlah kasus reklamasi pantai Singapure yang membawa ber-ton-ton pasir dari kepulauan Indonesia. Kasusnya lumayan ramai waktu itu, tapi selayang pandang  sayup-sayup hilang dari peredaran. Entah tidur nyenyak diranjang yang mana.

 

Jelas sepintas terlihat bahwa sikap lebih lunak terhadap Singapura dibanding Malaysia didalam kasus ‘pencurian’ kedaulautan negara ini. Yang jelas keduanya ada muatan ‘nilai harga diri’ yang kental dikandunganya. Paling tidak tatapan kita mengarah pada apa yang terjadi kini. Semua mengarah pada ‘nilai-nilai ekonomi’ yang ada. Konon trilyunan rupiah ada di Ambalat dari SDA minyak dan gas bumi yang tertanam jauh entah di dasar laut atau diam manis di bumi Ambalat. Nilai-nilai ekonomi inilah yang membawa kapal-kapal perang kita berlayar hingga kesana dan hilir mudik pesawat pengintai menembus angkasa lautan Sulawesi. Sangat  hiruk pikuk jika kita bandingkan urusan menyisir letak koruptor di rambut Singapura. Ataupun bergesernya daratan Singapura menantang pingiran batas Indonesia. Tak apalah dak ada harganya?.......Hitungan dagang memang akan mengarah pada pemikiran bahwa untuk apa mati-matian membela barang tak bernilai (ekonomi). Seperti mengurus reklamasi pantainya Singapura. Kalaupun ada ngak banyak kita kecurian. Malah habisin uang banyak, belum tentu menang di sidang Mahkamah Internasional. Toh ada banyak pejabat Indonesia yang malah makin 'senang' dibuatnya.  Dalam dunia dimana intensif ekonomi telah menjadi raja, maka hukum ekonomilah yang berlaku. Jelas tak apalah kita membawa puluhan armada perang ke sana. Persoalan insentif ekonomi  ini sedikit banyak mewarnai konflik-konflik batas kelautan di wilayah Asia Tenggara, seperti konflik di Laut China Selatan, termasuk Ambalat.

 

Minyak bumi…minyak bumi..itu adalah jawaban dari ketersinggungan harga diri kita. Dengan keterpurukan ekonomi yang tak kunjung berakhir, mengharap komoditas masa depan ini akan menjadi obat mujarab menyembuhkan kemiskinan, meski kita belum dapat mengolahnya sendiri. Masih minta bantuan dan ngak bisa menghargai barang kita sendiri. Semua harus ikut aturan internasional katanya.

 

Meski sebenarnya kalau kita pikir lebih jernih, Singapura tidak lebih arogan dibanding Malaysia. lihat saja bagaimana mereka  merusak kedaulatan dan kehormatan Indonesia melalui kasus Indosat, kasus pasir laut, illegal logging, persembunyian koruptor, tidak mau ekstradisi, judi gelap hingga beromzet milyaran.....dan entah apalagi. Ngak ada data akurat untuk urusan ini.

 

Nah, masih perlukah sikap elegan dan bermartabat menghadapi ini semua? Diplomasi atau perang. Perang atau diplomasi. dengan mengusung tinggi-tinggi slogan Ganyang Malaysia sebagai bentuk ketersinggungan harga diri bangsa? Silahkan kembali ke hati nurani masing-masing. Yang jelas Malaysia lebih rapi dan forward looking mengkoridori cita-cita rakyatnya. Indonesia, entah pusing aku mengagas ini!???

 

 

 

40th FE Universitas Jember


Tak terasa November ini (2004) fakultas kita menginjak usia ke 40 tahun. Usia yang harusnya dipenuhi dengan semarak kegirangan dan juga
mawas diri.

40 tahun sudah, beribu-ribu lembar kertas tertoreh tinta mesin tik, tinta printer bertulis segudang ide keilmuan yang tertulis manis kata
skripsi yang tidak lupa tertulis 'kupersembahkan untuk ayah-ibu atau my love', juga dokumen tertulis nama-nama alumni tertulis kata penuh
bangga 'Ijasah' dengan gelar keren drs/SE yang tidak mudah meraihnya.

40 tahun sudah, tangis dan tawa beraduk di luar ruangan ujian. disertai maki-maki ketidakpuasan atas hasil yang dicapai, pun juga senyum puas atas prestasi teraih.

40 tahun sudah, beribu-ribu remaja yang baru menanggalkan seragam sekolah menengahnya merasakan indahnya kampus penuh cita dan cinta
bak galih dan ratna. penuh warni gaun dan harus parfum.

40 tahun sudah, guru-guru kita yang mengantarkan menapaki cita itu telah usur, memutih rambutnya dan bahkan tertanam di tanah makam
tanpa ada kenangan yang berarti.

40 tahun sudah, staf fakultas yang pagi hari dengan setia mendahului membersihkan ruangan kuliah dan menyiapkan kapur, spidol atau OHP yang hingga kini tak kunjung jadi PNS golongan II atau I.

40 tahun sudah, Fakultas yang seharusnya marak dihiasi oleh pernik-pernik kegiatan mengolah rasa, emosi dan karya nyata pada level
lokal, nasional, regional dan internasional masih dipusingkan dengan 'orientasi' dapur rumah yang harus ngebul bagi civitas akademikanya.

40 tahun sudah, mahasiswa jengkel dengan kuliah yang sering ganti jadwal, pun dosen yang mengumpat atas coretan tanpa arti di lembar
jawaban ujian.

40 tahun sudah, cantiknya ruangan kuliah semakin terasa. kursi baru, lantai keramik, dan semakin lega dengan volume ruagan yang semakin
luas.

40 tahun sudah...suka itu beraduk dengan duka..antara tangis dan tawa dan antara masa lalu, kini dan masa depan yang tidak harus kita
lupakan begitu saja....

masihkah ada yang penuh Cinta dan Cita melihat 'pasang surutnya' fakultas kita? entahlah...dunia toh terus berputar..yang pusing silahkan cari obat sendiri, yang suka ngak usah ingat yang duka, yang
menangis silahkan menangis dengan keras...toh sekarang dunia sudah
berubah...yang berpesta puaskanlah sampai pagi hari.....bukan begitu?


Adhitya/FE-IESP 90-alumni 94

Ibu

Tiap kali aku kayuhkan sepedaku untuk berangkat 'kerja' ke Institut pagi-pagi pasti melewati Kindergarten (taman kanak-kanak) yang terletak bersebelahan dengan taman dan sekalian kuburan kono, karena itu jarak terpendek untuk menuju ke Institut, dari pada memutar melewati Innenstad Goettingen (tengah kota). Kuburan plus taman itu namanya Albanifriedhof. Memang tampak bukan seperti kuburan di Indonesia layaknya. Entah dulu mana antara kuburan kuno dan taman itu. Tapi jelasnya taman kota dan kuburan menyatu. Berdampingan pula dengan taman mungil untuk anak-anak. Tidak ada rasa takut atau angker. Meski nisan besar itu mensyaratkan pesan bahwa suatu saat kita pasti kembali. Sekarang disebelahku sedang tumbuh berkembangnya kehidupan, namun jelas nan pasti terkubur suatu saat nanti. Begitu kira-kira isyarat nisan itu berdialog dengan celoteh anak balita bermain ayunan. Itulah rahasia Tuhan: lahir, tumbuh dan mati.

Dulu sulit aku bisa menerima ajaran surga ada ditapak kaki ibu. Pernah bahkan suatu hari aku angkat kaki ibuku untuk aku amati telapak kakinya. Kiasan itu sulit aku pahami waktu kecil dulu. Tumbuh dewasapun kadang masih sulit untuk bisa menerima kiasan itu. Di media massa aku baca seorang ibu yang mantan Ibu Negera seperti Imelda Marcos suka membalut telapak kakinya dengan fancy shoes yang jumlahnya konon ribuan pasang itu sementara diluar istananya banyak rakyat Filipina yang sulit makan. Mana mungkin surga ada ditelapak kakinya, apa tidak mungkin malah neraka yang diciptakannya. Aku coba kritisi kiasan itu lagi.

Lanjut pikir yang dimaksud surga adalah bukan ibu sebagai jabatan melainkan ibu sebagai peran, yaitu totalitas seorang wanita yang  tulus ikhlas dan welas asih mengayomi kehidupan sesama manusia dari mungil dan tak berdaya hingga dewasa. Sepertinya baru jelas makna kiasan itu. Memang surga menampakkan bentuknya. Minimal mudah teraba dan terlihat perbuatan-perbuatan surgawi, yakni suatu tindakan total unselfishness, senantiasa memberi tanpa mengharap kembali. Seringkali pula aku lihat ibu-ibu muda mendorong Kinderwagen (gerobak bayi) dengan tas dipunggung penuh belanjaan menuju Haltestelle menunggu Bus Kota. Dengan keikhlasan menerima ‘rewelan’ balitanya yang tidak puas dengan es creamnya. Melihat adegan itu, teringat betapa  kekagumanku pada ibuku, meski capai dengan segala rutinitas seharian baik di kantor dan di rumah, masih bersedia mengurai cerita dan diimbuhi dendang segala untuk mengantarkan tidurku, kenangku waktu kecil dulu.

Apa yang dicari oleh ibu yang susah payah berdendang kepada seorang balita yang papa dan tidak bisa apa-apa. Ibu juga senantiasa hanya menjadi keranjang sampah. Tapi ibu sejati tidak pernah mengeluh. Karena dia tidak dalam kapasitas ibu pejabat. Tapi ‘peran’ ibu sangat penuh makna dan cita. Bak sinetron tidak saja sebagai pemain bahkan sekaligus merangkap sebagai sutradara dan kameramen. Yang meneropong adegan panjang buah hatinya dari yang papa hingga mungkin telah dijuluki ‘Papa’.

Pamrih apa yang ibunda inginkan? Sudut pandang kaum sinis pasti akan menjawab, itu kan sudah biasa, lumrah. Mereka kan hanya berinvestasi. Ingin ‘asuransi’ dihari tua. Ingin memutar waktu, bahwa balitanya kelak yang akan melindunginya. Ini tidak benar. Das ist total falsch. Ingatku, mesti aku sudah sudah bekerja, melanglang ke egeri orang dan punya duit. Ibuku selalu bertanya, apakah kamu perlu uang, nak? Jelas aku malu. Tapi itulah ibu. Penampakan jelas ciri ibu adalah senantiasa ingin memberi tanpa mengharap kembali, tak perduli seberapapun yang beliau punya.

Misteri terdalam kehidupan paling tidak tercitrakan dari peran seorang ibu yang didalam setiap gerak dan langkahnya teraba dan tercium aspek-aspek surgawi yang sulit dikalkulasi dengan metodologi empiris duniawi. Bisa jadi para ibu adalah representasi dari malaikat yang diturunkan ke bumi hanya untuk ‘mampir ngombe’ dan setelah perannya selesai bergegas terbang kembali ke sorga. Bahkan ucapan ibu adalah doa yang mustajabah. Sungguh tak terkira peran seorang ibu. Entah apapun julukannya, mama, umi, muti, ibu, bunda, embok. Ibu tetap tidak peduli dengan pro kontra  tentang stereotipe perempuan yang terus didengung-dengungkan dan dilanggengkan dengan perayaan Hari Ibu. Dia pasti berjalan dengan ‘perannya’ yang tulus.

...kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali bagaikan surya menyinari dunia....

Adhitya Wardhono

Kagem ‘Ibuku’ yang untuk kali pertama dan selamanya pada lebaran 2003 ini aku tidak bisa sungkem dan menciummu, karena kau telah kembali ke sang Khalik.

 

Pemimpim dan Profesionalisme
Menjadi pemimpin pasti menjadi idaman setiap orang. Bahkan memimpin doa atau mengali lubang kuburpun bisa menjadi kebanggaan orang. Tetapi bukan berarti mudah dan gampang mewujudkannya. Tuntuntan untuk profesional dari seorang pemimpin pasti ada. Pemimpin dan profesional kadang masih mengalamai trade off. Jelas bahwa dalam terminologi profesionalisme terkandung elemen progesivitas, keadilan, kejujuran, kemajuan dari kerja demi sesama karena Allah dan harusnya menjadi keyakinan dalam diri setiap pemimpin itu sendiri. Muslim yang sadar sebenarnya sudah berikrar untuk profesional minimal melalui sholat lima waktu dengan doanya = "bahwa sesungguhnya sholatku, ibadahku, bahkan hidup dan matiku hanya untuk Allah semata". Dengan begitu jadilah pemimpin diri Anda sendiri dengan profesional sebelum memimpin orang lain. (Adhit, 26.11.2001).

Muslim Kaffah
Stereotipe Muslim dalam peradaban modern masih selalu terpojok- termarjinalisasi dalam pergaulan internasional. Muslim selalu diidentikkan dengan orang keras, cinta terorisme, penggekang hak asasi manusia dsb. Tentu saja itu argumentasi yang tidak dapat begitu saja dibenarkan dan tidak begitu saja disalahkan. Suatu paradoksal bahwa manusia muslim Indonesia (katakanlah) yang masih homo religi masih saja terjebak perilaku yang jauh dari Islam. Perlombaan negara dengan praktek Korupsi tertinggi hampir kita yang menang. Sungguh suatu ironi. Muslim kaffah - muslim sejati, total dan utuh pasti jauh dari itu. Seorang muslim kaffah, setidaknya mengedepankan tiga elemen dasar, yaitu pola batin, pola pikir, dan pola perilaku. Semoga kita (muslim Indonesia terutama) mampu untuk sebagai khalifah fil'ard menjadi sesuai dengan amanah yang diembannya....(ya Allah peliharalah pola tingkah kita didalam jalanMu)

(adhit: - di tengah cantiknya bulan suci Ramadhan. 25.11.200)
 
 

Welfare Religius
Jika  dalam ilmu ekonomi sudah jelas bahwa menciptakan welfare state adalah dambaan setiap bangsa. Bangsa yang 'gemah ripah loh jinawi'. Semua serba tentram tiada kekurangan sandang, pangan dan papan. Namun tidak demikian dengan suatu Agama. Agama yang diturunkan lewat nabi-nabi jelas membawa bait-bait Illahiah yang dogmatis yang fair untuk para konstestan, pengikut, partisipan. Untuk itu pemahaman agama secara subtantif, nalar, produktif harus menjadi kerja besar semua umat untuk mewujudkan peradaban. Agama harus mampu menyadarkan umatnya yang terlalu teosentris menjadi antroposentris. Tidak saja ukrawi tapi juga duniawi. tanpa meninggalkan pesan-pesan Illahi. Agama masa depan adalah agama yang mampu menampilkan sosok agama dunia agama kemanusiaan. membawa peradaban kearah kesejahteraan umat manusia.(adhit, 25.11.2001).
 

 

Lingkungan dan Agama
Sungguh gelisah anak manusia menanggung derita bencana yang tiada henti. Bencana alam hampir terjadi di pelosok Nusantara. Keputusasaan dan derita badan serta mental menjadi manusia resah gelisah memandang masa depan. Menghadapi semua ini biasanya Tuhan Allah  s.w.t yang menguasai seluruh alam menjadi tempat mampir untuk ditanyai. Rasa religi manusia terusik dan sayangnya melibatkan Tuhan ikut bertanggung jawab atas bencana alam yang terjadi. Pemahaman bahwa bencana adalah murka Tuhan menjadi wacana teologis konvensional yang seharusnya didekonstruksi. Mengapa? Kerusakan lingkungan alam lebih cenderung pada pemahaman yang keliru atas petunjuk Illahi. Bukan karena murka Tuhan Allah s.w.t. Citra bahwa perusak lingkungan tidak lebih dari kafir ekologis lebih tepat untuk itu. Bukankah dunia masa depan adalah dunia yang ramah lingkungan? (adhit, 24 Nopember 2001)
 

 
 

Agama dan Politik
Tidak dapat dipungkiri ajaran agama dimaksudkan untuk membawa manusia mengenali batas-batas kemanusiaan dan mempunyai potensi menumbuhkan peradaban. Disatu sisi banyak sekali bermunculan partai politik yang mengatasnamakan agama. Problemnya menjadi komplek bahwa sering kali agama menjadi kendaraan politik belaka. Untuk itu sangatlah mendesak untuk memposisikan  agama yang diyakini sebagai ajaran Illahi haruslah kembali di tempatkan pada tempatnya yang menyejukkan dan membawa misi kemanusiaan dan dijadikan salah satu agenda pokok untuk segera diwujudkan. Keterlibatan agama dalam politik sebaiknya tidak lagi bersifat formalistis dan simbolis semata, melainkan lebih substantif. Satu kekhawatiran jika hal ini tidak segera di lakukan adalah hanya  akan menghasilkan kontes, adu jotos, perang, dan konflik dalam pemaknaan dan penguasaan simbol-simbol keagamaan di antara berbagai kelompok politik dan umat beragama. (adhit: 1/10/2001)
 
 

 
 

'Gerakkan nurani kita'.

                                                                        Apa yang harus kita lakukan menghadapi kemiskinan ditengah krisis ekonomi yang berkepanjangan, pula  tampak mata akan hilangnya generasi mendatang itu?
Haruskah diam seribu bahasa, menanti takdir Illahi tiba?
Haruskah bergaya pengemis dan menunggu ularan tangan tiba?
Salah siapa mereka hidup berimpit, sesak dan penggap?
Salah siapa mereka mengkais sampah-sampah kota?
Salah siapa mereka bahkan menjadi sampah itu?
Relakah masa depan kita kian hitam kelam?
Relakah kita menjadi pesakitan peradaban?
Relakan kita hidup tiada makna lagi pula tiada asa?
Masihkan kita harus menyalahkan generasi lalu yang lalai?
Masih perlukah kita berdebat cari selamat?
Masihkan perlukah kita serakah lagaknya orang penuh berkah?
Masih perlukah kita saling menyalahkan si Badu dan si Fulan?
Sementara mereka tumbang, gugur tergolek tak berdaya, sekarat, sakit, terhina dan ternista...

(adhit: 23/08/2001).
 
 

 

Floh Markt
Jika di Indonesia orang yang sering beli dipasar loak pasti kena stigma bahwa orang tersebut pasti orang miskin. Namun, lain halnya dengan di Jerman, Floh Markt atau pasar Loak, adalah tradisi unik masyarakat Eropa termasuk Jerman yang sering diselenggarakan tiap akhir minggu.Dalam bahasa Perancis lebih dikenal Marche aux puces atau  flea market dalam bahasa Inggris.  FM ini merupakan tempat favorit hampir masyarakat pelajar Indonesia untuk mendapat barang yang murah dalam kondisi masih bagus. Uniknya masih ada sistem pasar tradisional dengan tawar menawar.Asyik juga. 

(adhit: november 2000)
 
 

Gravity... corat-coret...terkadang keinginan untuk sekedar melampiaskan kegundahan, kejengkelan,,atau kegirangan..pun haru serta duka terasa penuh makna apabila tertoreh dalam sikap wacana tulis.

 

 
   

 
     
     
 





 

 

Adhitya Wardhono & family
Hermann Rein Str. 13/102  37075 Göttingen  - Germany
+49 551 3893471